Minggu, 20 Maret 2011

PENINGKATAN ESQ (Emotional Spiritual Quotien) MELALUI PENGAMALAN THORIQOH (Qodiriyah wa Naqsabandiyah)


oleh Mohamad Yasin Yusuf
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGAJUAN………………………………………………………………i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………………..ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………..iii
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………………...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………………v
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...viii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………….xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………...xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………...xiii
ABSTRAK……………………………………………………………………………...xiv

BAB (I). PENDAHULUAN
A. Latar Belakan Masalah……………………………………………………1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..13
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...14
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………….14
E. Batasan Masalah…………………………………………………………15
F. Sistematika Pembahasan…………………………………………………19

BAB (II). KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritis tentang Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah………….21
1. Pengertian Tarekat…………………………………………………...21
2. Dasar dan Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah…………...22
3. Sejarah Berdirinya Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah………….27
4. Sejarah Perkembangan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Indonesia…………………………………………………………..30
5. Ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah……………………...33
B. Kajian Teoritis tentang ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)……………42
1. Pengertian ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)……………….……42
2. Unsur-Unsur ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)…………………..46
C. Kajian Teoritis tentang Peran Tarekat Qodoriyah Wa Naqsabandiyah dalam Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern…………………………………………………..51
1. ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) dalam Perspektif Ajaran Tarekat……………………………………………………….52
2. Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dalam Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern……………………………………………………………….59

BAB (III). METODE PENELITIAN
A. Pendekatannya dan Jenis Penelitian……………………………………...69
B. Kehadiran Peneliti………………………………………………………..72
C. Lokasi Penelitian…………………………………………………………74
D. Sumber Data……………………………………………………………...75
E. Metode Pengumpulan Data……………………………………………....76
F. Analisis Data……………………………………………………………..80
G. Pengecekan Validitas Data………………………………………………83

BAB (IV). LAPORAN HASIL PENELITIAN.
A. Sejarah Umum Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang………………85
B. Masyarakat Penganut Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang………………………………………..90
C. Pengajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang…………………………………………………...95
D. Peran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang dalam Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)………………………………………………………………..109
BAB (V). PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………..131
B. Saran……………………………………………………………………133
DAFTAR KEPUSTAKAAN………………………………………………………….134
LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………………………137


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, ia tidak akan pernah dapat hidup dalam keadaan sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, ia harus melakukan hubungan dengan orang lain, oleh karena itu secara naluri manusia akan selalu ingin membentuk kelompok-kelompok social, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka tersebut. Yang hal ini pada akhirnya terbentuklah apa yang di sebut dengan masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut system adat istiadat yang bersifat kontiniu dan yang terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjoro Ningrat, 1990: 164). Kumpulan manusia tersebut bisa di sebut mayarakat, apabila memiliki syarat-syarat antara lain: kesatuan dalam hidup, adanya interaksi antara sesama warga komunitas tersebut, adanya keterikatan satu identitas bersama. Seiring dengan perkembangan pola pikir manusia dan kemajuan peradaban maka kondisi masyarakatpun juga selalu mengalami perubahan dan perkembangan menuju arah yang lebih baik.
Saat ini mayarakat telah berada di zaman modern, kehidupan, tingkah laku, dan segala aktivitas menunjukkan kearah modernitas. Zaman modern ini di tandai oleh beberapa indikasi, antara lain :

1. penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia.
2. perkembangan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual umat manusia.
Masyarakat yang modern identik dengan pemisahan dirinya dari kehidupan irrasional bahkan hal-hal yang di kategorikan sebagai non rasionalitas. Mereka hanya mengakui eksistensi dari hal-hal yang bersifat materiil dan yang dapat di raba, di rasa, di teliti dan ilmiyah (Hikmat Budiman, 1996: 38). Oleh karena itu nilai-nilai, norma dan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat modern semakin memudar, dan diganti oleh pola hidup materialis yang menghambakan diri kepada kebendaan untuk mencapai kepuasan keduniaanya.
Manusia modern yang seperti itu sebenarnya adalah manusia yang sudah kehilangan makna kehidupan yang sesungguhnya, ia pasti akan resah setiap kali akan mengambil keputusan, ia tidak tahu apa yang di inginkan, untuk apa langkah kehidupanya, bahkan iapun kadang tidak tahu siapa dirinya, bagaikan orang yang terkurung dalam kerangkeng. Manusia modern akhirnya banyak yang frustasi dan berada ke dalam ketidak berdayaan, power lessness.
Sebagai akibat dari sikap hipokrit yang berkepanjangan maka masusia modern mengidap gangguan kejiwaan antara lain berupa: kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang, psikosomatis. Secara alamiyah manusia menginginkan dan merindukan kehidupan yang bahagia dan tenang, baik jasmani maupun rohani.


Sebenarnya mengejar masalah keduniaan dan kebendaan bukanlah merupakan jalan yang salah, karena memang secara kodrati manusia membutuhkan hal tersebut untuk melangsungkan kehidupanya di muka bumi ini. Akan tetapi janganlah di lupakan bahwa manusia juga mempunyai potensi atau fitrah Ketuhanan. Sehingga hendaknya antara kedua kebutuhan tersebut harus mampu berjalan bersama-sama guna mencapai tujuan hidup yang hakiki bagi manusia.
Selama ini, masih ada dikotomi pemikiran. Sejarahpun banyak menunjukkan bahwa hampir seluruh lapisan peradaban manusia terbagi menjadi dua kelompok besar, cenderung ke akherat dan yang cenderung ke dunia saja. Sebut saja Aristokrsasi Cina kuno yang pada mulanya condong keduniaan dan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan yang lainya, kemudian datanglah Lao-Tse yang menjadi pelopor spiritual, sehingga banyak melahirkan para pendeta, kaum sufi dan gnostik yang selalu menentang dan menjauhi dunia, begitu juga di negara-negara yang lainya. Demikianlah terus menerus fenomena tersebut berubah silih berganti seperti nilai mata uang yang terus-menerus mengalami fluktuasi. Bayangkan jika hal ini terjadi dan berlanjut terus fenomena dikotomisassi antara akherat dan dunia. Bisa di pastikan erosi pada masyarakat akan terjadi, oleh karena itu perlu adanya singkronisasi dan berjalanya kebutuhan akan dunia dan akherat ini secara bersama-sama.
Meminjam istilah Dr. Ali Shariati, dalam buku ESQ karangan Ary ginanjar Agutian, bahwa manusia adalah mahluk dua dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akherat. Oleh karena itu manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik(EQ plus IQ), dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (Ary ginanjar Agustian, 2001: XX). Dalam buku yang lain, karangan Dr. H.M Idris Abu Shomad, MA (2005: 14), mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia dari dua unsure yaitu tanah dan ruh, sebagaimana yang terkandung dalam Al Qur'an Surah Al Hijr: 28-29. Kemahabijaksanaan Allah juga di buktikan dengan adanya keragaman fungsi pada setiap unsur tersebut. Jasad manusia yang merupakan unsur tanah yang terdiri dari tulang, daging, kulit, dan sebagainya berfungsi melaksanakan dan mengemban tugas-tugas hidup fisikal, pemenuhan kebutuhan keduniaan ada pada unsur ini. Selain itu unsur ruh yang ada pada diri manusia melingkupi unsur rohani, syu'ur (perasaan), dan potensi Ketuhanan, juga membutuhkan terpenuhinya kebutuhan dari ruh tersebut. Oleh karena itu manusia harus bisa menyepadankan antara kebutuhan jamani dan ruhani, kebutuhan duniawi dan ukhrowi.
Dalam kehidupan modern dan kondisi mayarakat yang semakin tertata inilah hendakya antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi bisa berjalan bersama-sama. Oleh karena itu dengan adanya konsep ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) atau kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual, di harapkan antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi tidaklah bertentangan namun mampu untuk berjalan bersama-sama dalam menghantarkan tujuan daan haakikat manusia yang sesunggguhnya.
Dalam agama islam sebenarnya terdapat cara untuk menyepadankan dua kebutuhan tersebut, menumbuhkan keceerdasan emosional (EQ) dan tetap menjaga dan mengembangkan potensi ruhiyah Ketuhanan atau Spiritual Quetient (SQ), cara inilah yang di sebut dengan jalan tarekat atau biasa di sebut dengan pola hidup bertasawuf. Selama ini ada pandangan keliru, yang menganggap bahwa kehidupan tasawuf berarti meninggalkan kepentingan dan kehidupan duniawi guna menuju pada kehidupan akhirat semata. Pandangan ini sudah lama berkembang dalam dunia islam, sehingga banyak kalangan umat islam yang takut dan enggan masuk dalam ranah dunia tasawuf, hanya karena takut dengan rumor yang berkembang itu. Sebenarnya kehidupan tasawuf yang benar tidaklah meninggalkan kehidupan dunia demi akherat semata, naamun mampu menyepadankaan dan memenej antara keduanya, karena memang Allah menciptakan keduanya tidak lain juga untuk manusia.
Adanya anggapan bahwa tasawuf meninggalkan kehidupan duniawi sebenarnya karena faktor lahirnya tasawuf itu sendiri, yang tidak lepas dari perkembangan potitik pada awal sejarah islam. Setelah berakhirnya pemerintahan Khulafaurrasyidin, pemerintahan dalam islam jatuh menjadi otoriter, bergelimang dengan kemewahan harta benda dan kehidupan raja-raja muslim yang tidak islami. Sehingga mendorong sebagian orang untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi para pemerintah dan raja-raja untuk menempuh jalan sufistik dengan hanya berdzikir dan beribadah dan semakin menjauh dari kehidupan pemerintahan yang di anggap dholim tersebut. Itulah sebabnya timbul kesan seolah-olah sufi meninggalkan kepentingan hidup duniawi. Padahal sebenarnya mereka hanya ingin menjauh dari pemerintahan yang korup, otoriter dan mengabaikan nilai-nilai islami itu.
Sebenarnya pemerintahan yang otoriter dan yang telah berbuat dholim janganlah di jauhi. Kalau semakin di jauhi, maka pemerintahan itu belum tentu menjadi baik, tetapi mungkin akan malah menjadi buruk karena tidak ada yang mengingatkan kesalahanya tersebut (Sudirman Tebba, 2003: 7-8). Oleh karena itu konsep kehidupan tasawuf yang benar adalah bagaimana dapat menyesuaikan antara kebutuhan dunia dan akherat, karena sebenarnya dunialah yang menjadi jembatan menuju akherat.
Saat ini ada istilah Tasawuf Modern atau Tasawuf positif yang menghendaki manusia taat beribadah kepada Allah, tetapi aktif pula dalam berbagai kegiatan duniawi, seperti bisnis, pemerintahan, sosial dan lain-lain. Ini berarti bahwa kehidupan tasawuf tetap mementingkan kehidupan ukhrowi, tetapi tidak menolak kehidupan duniawi (Sudirman Tebba, 2003: 1-2).
Tarekat sebenarnya merupakan satu jalan dalam pola hidup tasawuf. Ada banyak macam tarekat yang telah berkembang antara lain Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Sadziliyah, Tarekat Rifa'iyah, Tarekat Tijaniyah dan lain-lain. Secara umum tarekat merupakan suatu jalan untuk mengenal Allah atau Ma'rifatullah melalui dzikir dan amalan-amalan yang lainya, sesuai dengan cara-cara yang telah di ajarkan oleh Rasulullah SAW yang kemudian di amalkan oleh generasi setelah beliau sampai sekarang.
Dalam ajaran tarekat ternyata ada kesamaan dengan konsep yang baru-baru ini berkembang yaitu cara menumbuhkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ternyata tarekat bisa di gunakan sebagai cara menumbuhkan emosional dan spiritual, sehingga aspek yang ada dalam tarekat tidak hanya mengurusi masalah kehidupan ukhrawi tetapi juga mampu menumbuhkan emosional seseorang untuk mau berusaha mencapai kehidupan duniawi yanglebih baik.
Kecerdasan emosional atau yang sering di sebut dengan istilah Emotional Quotient (SQ), menurut Daniel Goleman adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivi diri sendiri, dan kemampuaan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orag lain. Kesadaran diri berarti mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakanya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengaturan diri berarti menangani emosi sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Motivasi berarti menggunakan hasrat yang paling dalam untuk dapat manggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif. Empeti adalah mampu merasakan sebagaimana yang di rasakan oleh orang lain, menyesuaikan dan mampu bersadaptasi dengan mereka. Kemudian ketrampilan sosial adalah menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial, bekerjasama dan mampu hidup dalam lingkunganya dengan baik (Sudirman Tebba, 2003: 11-12).
Di lihat dari perspektif sufistik, unsur-unsur kecerdasan emosional itu juga ada dalam ajaran tarekat. Hal ini berarti tarekat juga mampu mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan emosional (EQ) seseorang. Hal ini berarti dalam ajaran tarekat tidak hanya terfokus masalah ibadah untuk mengejar akherat, namun juga di ajarkan bagaimana melakukan hubungan yang baik dengan orang lain, memotifasi dirinya, mencari duniawi dengan jalan yang benar, dan lain-lain. Misalnya ajaran dalam tarekat yang sesuai dengan konsep peningkatan EQ yaitu muhasabah (melakukan perhitungan atau intropeksi diri), sabar dalam pengaturan diri dan hubungan dengan orang lain, raja' (optimisme), itsar (mendahulukan kepentingan orang lain), syaja'ah ( ketrampilan sosial dan beraninya dalam menjalani kehidupan untuk berjuang bersama orang lain), dermawan berarti ada konsep untuk mempunyai harta terlebih dahulu. Dari sini berarti ajaran tarekat sebenarnya juga mengajarkan tentang bagaimana membangun kecerdasan emosional atau Emotional Quetient (EQ).
Pada pihak yang lain muncullah konsep Kecerdasan Spiritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secara ilmiyah, yang pertama kali di gagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University, melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiyah tentang kecerdasan spiritual yang di paparkan oleh kedua ahli ini antara lain adalah: pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michel Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia, ini sebagai pusat spiritual yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak (Ary Ginanjar Agustian, 2001: xxxix).
Hal ini menunjukkan bahwa secara kodrati alamiyah manusia telah memiliki potensi spiritual atau Ketuhanan, namun karena kadang-kadang manusia suka lalai dan terjerumus pada pemenuhan kebutuhan dari hawanafsu keduniaan, maka potensi ketuhanan tersebut tertutupi. Ketika mereka sudah dalam keadaan yang sangat membutuhkan dan berada pada jurang kehancuran dirinya maka potensi ketuhanan itu akan muncul kembali (Abdurrahman As Sanjari, 2004: 63).
Oleh karena itu tidak heran jika saat ini ada kebutuhan yang besar akan spiritualisme dan tumbuhnya kembali nilai religi dari masyarakat yang semakin memudar tersebut, baik di dunia secara umum maupun di kalangan para muslimin. Hal tersebut mungkin karena kebosanan manusia terhadap kehidupannya yang malah semakin menghitam dan ketidak mampuan manusia dalam menjawab permasalahan mereka yang semakin kompleks.
Kebutuhan spiritualisme di Negara-negara maju sudah lama terasa di bandingkan dengan di Negara-Negara berkembang. Di Amerika Serikat misalnya kebutuhan akan spiritualisme itu sudah kuat terasa sejak tahun 1960-an. Menurut laporan dari TV CNN, 10 Mei 2000, bahwa mulai tahun itu mulai tumbuh kembali spiritualitas masyarakat, para pelancong spiritual (the year of the spiritual traveler) mulai memenuhi panggilan mistik dan mistis.
Kejenuhan masyarakat modern terhadap kehidupanya, inilah yang menimbulkan tumbuhnya kembali spiritualitas pada dirinya. Sehingga memang benar jika solusi yang di tawarkan untuk mengatasi problem kehidupan dan masalah kejiwaan pada masyarakat modern cenderung lebih bersifat spiritual religius.
Oleh karena itu kecerdasan spiritual (SQ) perlu di bimbing dan di tingkatkan. Menurut Marsha Sinetar, SQ adalah pikiran yang mendapat inspirasi , dorongan, dan efektifitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian (Sudirman Tebba, 2003: 19). Sedangkan dalam pandangan islam SQ sebenarnya adalah sifat, sikap, dan perilaku takwa kepada Allah SWT, yang di buktikan dengan amal sholeh, yang di landaskan pada iman kepada Allah SWT (M. Idris Abdul Shomad, 2005: 22).
Dalam agama islam di tawarkan suatu jalan yang dapat di lakukan untuk menumbuh kembangkan kembali kecerdasan spiritual yang semakin memudar dalam linngkungan kehidupan masyarakat muslim modern,cara tersebut, yaitu tarekat. Maka saat ini banyak masyarakat modern yang melarikan diri pada ajaran thariqoh. Hal ini sesuai dengan pendapat Abu Bakar Aceh (1992:65) bahwa:
"Thariqah itu biasanya timbul dalam situasi di suatu zaman dikala dalam kehidupan manusia terdapat banyak kerusakan yang mengayomi kehidupan jasmani ataupun kehidupan rohani yang biasanya pada masa-masa tersebut kurang kesesuaian pada agama dan pada Tuhan yang biasanya diiringi oleh kerusakan moral dan akhlak".
Tarekat pada dasarnya merupakan suatu jalan yang ditempuh oleh ulama sufi untuk mencapai tujuan dari tasawuf yaitu, mencapai ma’rifat pada Allah dan mengungkap rahasia-rahasia alam, karena menurut kaum sufi kehidupan di alam ini penuh dengan rahasia yang tertutup oleh dinding, diantara dinding ada hawa nafsu kita sendiri dan kehidupan duniawi yang mewah-mewah serta kenikmatannya, sedangkan kenikmatan yang tidak dapat disusupi dari segala kenikmatan adalah kesenangan dan kegembiraan hati dalam mendekatkan diri pada Allah, tidak diragukan lagi kesenangan ini membangkitkan jiwa untuk senantiasa melanggengkan perjalanan menuju kepada-Nya.
Barang siapa yang belum mendapatkan kenikmatan ini, maka ia mengarahkan tuduhannya pada qolbun dan amalnya sebagai penyebab, yang keduanya (qolbun dan amal) merupakan manifestasi dan nilai keimanan. Oleh karena itu hendaknya mengevaluasi kembali dan mengambil cahayanya untuk memperoleh rahasia-rahasia alam. Jika mendekatkan diri pada Sang Pemberi kenikmatan, yaitu Allah Robbul ‘Alamin, dan jika ia memulai jalan yang menuju ke arah itu maka akan selamatlah jiwanya, dan jalan itu tidak lain adalah Thariqah. Dengan peningkatan nilai dan kecerdasan spiritualitas religius umat islam dengan jalan pengamalan tarekat ini, maka kehidupan akan semakin tertata, bahagia, tenang dan sejahtera, walaupun mereka berada dalam lingkungan modernitas yang semakin rusak.
Melalui pengajaran tarekat maka kecerdasan spiritual mayarakat modern khususnya umat islam akan semakin meningkat, sehingga bisa melindungi mereka dari bahaya kemajuan zaman yang semakin membabi buta ini, serta mereka akan semakin menemukan hakikat kehidupan yang sesungguhnya.
Beberapa faktor yang mendorong penulis skripsi ini, untuk mengkaji masalah Thariqah bagi masyarakat modern guna meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ), dan yang dijadikan basis-nya adalah Thariqah Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda, di karenakan:
Pertama, judul skripsi tersebut terkait erat dengan tempat penulis. Dimana penulis sekarang masuk salah satu santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, dengan begitu penelitian mengenai objek skripsi ini dapat di lakukan secara cermat dan teliti serta datanya lebih valid sebab penulis telah lama bergelut dan hidup bersama obyek penelitian tersebut.
Kedua, nilai keilmuan secara ilmiah ataupun moral mendorong penulis untuk mendalami dengan mengangkat pendidikan Thariqah Qadiriyah dan Naqsyabandiyah dalam menigkatkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) bagi masyarakat muslim di era modern, sehingga di harapkan nantinya tulisan dan penelitian ini akan bisa memberikan manfaat.
Ketiga, sesuai yang dikatakan Thobroni dan Syamsul Arifin (1985: 72).
Pendidikan hendaknya tidak dijadikan acuan untuk mendapatkan kenikmatan dunia semata untuk memperoleh peluang kerja, melainkan sistem pendidikan itu harus sesuai dan bernuansa pada peningkatan iman, sehingga proses pendidikan tidak sekedar mengembangkan kecerdasan dan ketrampilan melalui pengajaran ilmu pengetahuan dan tekhnologi melainkan juga membentuk pribadi melalui hati.
Keempat, pemahaman bahwa materialistik sebagai anak kandung modernisme ternyata telah menyeret manusia jatuh ke lubang nestapa yang amat kedalam. karena seluruh referensi kebenaran telah di sahkan dalam ukuran materialistik, seolah-olah manusia dianggap bahagia hanya dengan sepotong roti, padahal hidup manusia sesungguhnya kemulnyaan manusia di tentukan oleh iman dan bagus akhlaqnya, oleh karena itu kondisi inilah yang harus di rubah, yaitu dengan mengembalikan nilai spiritual religi masyarakat muslim sehingga mereka dapat kembali kepada jalan yang benar.
Kelima, turut serta berbagai peran dalam menyelamatkan manusia dari kondisi kerapuhan jati diri disebabkan hilangnya nilai-nilai keagamaan. Sebab menurut Harun Nasution sebagaimana pemikir kontemporer islam, dalam menghadapi materialisme yang melanda dunia sekarang perlu dihidupkan kembali spiritualisme (Thariqah).
Keenam, ajaran Tarekat merupakan dimensi kedalam dari kerohanian dalam islam, sebagai masyarakat yang berakal pada Al-qur’an dan sunnah. Ini menjadi risalah islam seperti hati dalam tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Beberapa ketetapan merupakan jalan kehidupan yang paling dalam yang mengatur organisasi keyakinan dalam islam.
Ketujuh, pondok pesantren merupakan pendidikan tertua di indonesia rupanya sangat tergerak dengan fenomena tersebut dengan tradisi kehidupan sufistik dalam aktifitas pendidikannya tetap di perhatikan.
Kesembilan, Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang adalah diantara Pondok Pesantren yang agresif terdapat pendidikan tasawuf lewat tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Upaya ini untuk membangun kembali nilai moral dan spiritual (SQ) masyarakat modern, namun selain itu juga tidak melupakan masalah kebutuha kehidupan manusia, sehingga dalam penerapan tarekat sebenarnya juga menumbuhkan adanya kecerdasan emosional (EQ).
Dari beberapa hal di atas yang menarik penulis untuk dijadikan pertimbangan, guna menyelesaikan skripsi ini. Penelitian ini diharapkan memberikan nilai tambah terhadap khasanah keilmuan islam khususnya yang menyangkut masalah pendidikan emosional dan spiritual bagi masyarakat modern yang telah kehilangan jati dirinya, mengingat masalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang sangat penting bagi umat manusia. Dengan demikian penulis sangat berkeinginan untuk mengangkat judul TAREKAT BAGI MASYARAKAT MUSLIM DI ERA MODERN ( Study Kasus Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah dalam Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ).

B. Rumusan masalah
Walaupun nampaknya masalah sudah di tuangkan dalam bentuk judul, namun kadang pembaca dapat menafsirkan dengan arti yang berbeda dengan maksud peneliti (Suharsimi Arikunto, 1998:43). Oleh karena itu perlu di rumuskan lagi permasalahan yang akan di teliti dengan kalimat pertanyaan yaitu yang menyangkut tentang pengamalan Ttarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengamalan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang?
2. Bagaimanakah Keberadaan masyarakat yang mengamalkan Tarekat Qodoriyah Wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang?
3. Bagaimanakah upaya peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masyarakat muslim era modern melalui pengamalan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang?

C. Tujuan penelitian
Agar hasil penelitian tidak keluar dari peraturan yang telah ditentukan dan tidak keluar dari pembahasan maka, maka perlu adanya tujuan penelitian:
1. Untuk mendiskripsikan dan mengetahui secara lebih mendalam tentang pengamalan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang.
2. Untuk mengetahui keberadaan masyarakat yang mengamalkan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah pengamalan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masyarakat muslim di era modern, sehingga nantinya dapat di jadikan sebagai referensi bagi pesantren maupun lembaga pendidikan yang lainya, serta masyarakat muslim dalam menyikapi kemajuan zaman.

D. Manfaat Penelitian
1. Agar kita mengetahui hakekat dari pengamalan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah, dasar pengajaranya, tujuan yang ingin di capai dan amalan serta ajaran yang ada di dalamnya.
2. Untuk mengetahui secara dalam keberadaan masyarakat yang mengamalkan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, guna memberikan masukan apa yang sebaiknya di lakukan oleh masyarakat muslim di era modern ini, sehingga hal ini akan bisa memberikan manfaat kepada mereka.
3. Untuk menambah khasanah keilmuan kita khususnya menyangkut peningkatkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masyarakat muslim di era modern melalui pengamalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah khususnya yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang .
E. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak terlalu meluas dan bisa menimbulkan kekeliruan, maka perlu adanya pembatasan masalah. Dalam hal ini penulis membatasi masalah yang akan dibahas, yaitu :
pengamalan Tarikat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah khususnya yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang .
1. Pengamalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah khususnya yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang .
2. Masyarakat yang mengamalkan Tarekat Qodoriyah Wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang.
3. Pendidikan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masyarakat muslim di era modern khususnya yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang.

F. Metodologi Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kwalitatif naturalistic, yaitu menyajikan data secara alamiyah tanpa melakukan suatu manipulasi atau penipuan ( Bogdan dan Taylor, 1975: 13). Desain penelitian adalah study kasus yaitu peneliti akan berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subyek yang di teliti, sesuai dengan pengertian study kasusu itu sendiri, yaitu uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai macam aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi, suatu program atau situasi social (Deddy Mulyana, 2000: 201). Sifat study kasus penelitian ini bertujuan untuk memahami secara menyeluruh mengenai Pendidikan Tarikat Qodoriyah Wa Naqsabandiyah di Pon Pes Miftahul Huda Malang dalam dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern . Adapun rincian metodologi penelitian yang akan di gunakan peneliti akan di paparkan di bawah ini.

1. Kehadiran Peneliti
Peneliti bertindak sebagai intrumen. Dalam metode penelitian ini, peneliti merupakan alat pada waktu menggunakan suatu metode yang dibutuhkan untuk penelitian sehingga diperoleh suatu gambaran utuh tentang obyek penelitian. Oleh karena itu peneliti harus benar-benar meluangkan waktu yang banyak dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini yang menjadi sasaran obyek adalah Pendidikan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern.
2. Lokasi Penelitian
Sebagai lokasi penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang (PPMH Malang) yang tepatnya terletak di jalan Gading Pesantren no:38 Klojen Malang.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data yang relevan dengan permasalahan yang telah ditentukan, maka data yang diambil adalah meliputi data primer dan data sekunder. Dalam pengumpulan data-data digunakan beberapa metode yang antara lain sebagai berikut :
3.1. Metode Observasi
Metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan melalui pengamatan terhadap obyek penelitian, mencatat dengan sistematis hasil dari pengamatan tersebut dan sesuai dengan penelitian. Mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam skala bertingkat (Suharsimi Arikunto, 1998: 234). Dengan metode ini, peneliti akan terjun langsung ke wilayah penelitian. Sutrisno Hadi mengatakan ;“Sebagai metode ilmiyah, observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam arti luas observasi sebenarnya tidak terbatas pada pengamatan yang dilakukan dan baik secara langsung maupun tidak langsung” (Sutrisno Hadi, tanpa tahun :136).
3.2. Metode Interview / Wawancara
Wawancara merupakan suatu tehnik pengumpulan data dengan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Metode interview adalah metode pengambilan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian (Sutrisno Hadi, 139).
3.3. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah suatu cara yang digunakan untuk memperoleh -data data yang bersumberkan pada dokumen-dokumen atau arsip-arsip yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang
Suharsini Arikunto (1989 :188). dalam buku “Prosedur penelitian suatu penelitian praktis” mengatakan : Mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan-catatan, transkrip, buku-buku, majalah, prasasti, notulen rapat, order dan sebagainya” Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data tentang sejarah berdirinya PPMH, Pengamalan Thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang
4. Tehnik Analis Data
Adapun tehnik analisa data dalam penelitian sekripsi ini, oleh penulis gunakan analisis deskriptif kualitatif tanpa prosentase, yaitu analisa data dengan cara memberikan predikat kepada variabel-variabel yang diteliti sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Predikat yang diberikan tersebut dalam bentuk peringkat yang sebanding dengan atau atas dasar kondisi yang diingini oleh peneliti (Suharsini, 1989 :196).

G. Sistematika Pembahasan.
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “TAREKAT BAGI MASYARAKAT MUSLIM DI ERA MODERN ( Study Kasus Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dalam Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ), penulis membagi skripsi ini dalam lima bab, dimana lima bab tersebut menjadi kerangka pembahasan dari keseluruhan skripsi ini berdasarkan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama (I) PENDAHULUAN, merupakan pendahuluan skripsi yang mengemukakan: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Batasan Masalah, Manfaat Penelitian, dan dirangkai dengan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua (II) KAJIAN TEORITIS, pada bab dua ini berisikan tentang kajian teoritis yang mengkaji empat hal yang sangat penting sebagai acuan pada bab berikutnya, yaitu:
2. Kajian Teoritis Tentang Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, yang terdiri dari sub pokok bahasan: Pengertian Tarekat, Dasar dan Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, Sejarah Berdirinya Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, Sejarah berkembangnya Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Indonesia, Amalan dan Ajaran dalam Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah.
3. Kajian Teoritis tentang ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang meliputi sub bab antara lain: Pengertian ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) dan Unsur-Unsur ESQ (Emotional-Spiritual Quotient).
3. Pembahasan tentang Pengamalan Terekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah dalam Meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern yang meliputi sub bab: ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) dalam Perspektif Ajaran Tarekat, dan Pengamalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern.
Bab ketiga (III) METODE PENELITIAN, yang mencakup: Pendekatannya dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Metode Pengumpulan Data, Analisis Data, dan Pengecekan Validitas Data.
Bab kempat (IV) HASIL PENELITIAN, merupakan hasil penelitian yang meliputi: Sejarah Umum Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, Masyarakat yang mengamalkan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, Metode Pengajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, dan Upaya Meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern melalui mengamalkan Tarekat Qodoriyah wa Naqsabandiyah yang ada di Pon-Pes Miftahul Huda Malang.
Bab kelima (V) PENUTUP yang berisikan Kesimpulan dan Saran .








BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. KAJIAN TEORITIS TENTANG TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH

1. Pengertian Tarekat
Istilah Tarekat berasal dari bahasa Arab yaitu kalimat Thariq atau Thariqah (الطريقة ) atau (الطريق) dan jamaknya Thara’iq ( طرائق) yang berarti jalan, tempat lalu lintas, aliran mazhab, metode atau sistem. Dalam terminologi, tarekat adalah jalan atau metode khusus untuk mencapi tujuan spiritual. Hal tersebut sebagaimana di katakan oleh J.S Trimingham, bahwa tarekat adalah suatu metode praktis (bentuk-bentuk lainya mazhab dan suluk) untuk membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan (maqomat-maqomat, kesatuan yang utuh dari pengalaman jiwa yang di sebut states, ahwal) secara beruntun untuk merasakan dan mencapai hakikat (Ajid Thohir, 2002: 48).
Lebih lanjut Martin Van Bruinessen (1992: 15) mengatakan bahwa kata tarekat (secara harfiyah berarti "jalan") mengacu baik kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muroqobah, dzikir dan sebagainya) yang di hubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh dalam metode tasawuf yang khas itu.


Boleh juga di katakan bahwa tarekat itu sebenarnya mensistematiskan ajaran metode-metode tasawuf.
Sedangkan ahli tasawuf, yang memberikan pengertian tarekat adalah Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Mustofa al Fathoni (1990:13) dalam bukunya sufi dan wali Allah mengatakan bahwa :
“Thariqah adalah mengarahkan maksud (tujuan) kepada Allah SWT dengan ilmu dan amal dan Thariqah merupakan perbuatan nafsiyah yang tergantung pada sir (rahasia) dan ruh dengan melakukan taubat, wara’, muhasabah, muroqobah, tawakal, ridlo, tahsin, serta memperbaiki akhlaq , menyadari akan kekurangan dan celah yang ada pada dirinya dan sebagainya.

Dari beberapa pengertian yang penulis sebutkan diatas pada prinsipnya mempunyai pengertian yang sama. Oleh karena itu penulis akan menyimpulkan definisi-definisi tersebut secara keseluruhan. Menurut pendapat penulis, Tarekat merupakan suatu jalan atau cara yang dilakukan oleh orang-orang Islam yang sesuai dengan ajaran Nabi melalui sederetan amalan-amalan tertentu yang di bimbing oleh seorang guru atau mursyid sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT agar tercapai Ma’rifat billah.

2. Dasar dan Tujuan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
2.1. Dasar Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Islam merupakan agama yang membimbing dan mengajarkan berbagai prinsip kehidupan agar manusia bahagia secara jiwa dan raga, selamat di dunia dan akherat. Oleh karena itu ajaranya bersifat menyeluruh, baik yang bersifat ruhaniyah seperti yang di kaji oleh tasawuf maupun yang bersifat dhohiriyah sebagaimana yang di kaji oleh ilmu fiqih (syari’ah).
Mustofa Zahri (1996:29) mengatakan hidup kerohanian dalam Islam adalah dimulai dari kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang utama serta hal ini telah di lakukan dan terdapat pula dalam kehidupan Nabi yang terdahulu. Sebelum Nabi menyatakan dirinya sebagai Rosul Allah beliau bertahun-tahun pergi memisahkan diri, semedi atau berkhalwat, beliau duduk bertafakkur, berdzikir terus menerus mengingat kepada Allah, dengan ikhlas dan sempurna sehingga menjadikan Alloh sebagai satu tujuan, tidak ada yang lain selain Dia.
Kitapun tahu bagaimana cara beliau hidup dengan sederhananya, pakaiannya, makanannya, dengan sepotong roti, sebiji tamar, seteguk air, sebaliknya lidahnya banyak melantunkan kalimat Allah di malam hari, dan kadang-kadang menangis dalam melakukan sholat. Semua itu adalah kehidupan yang digambarkan oleh para ahli tasawuf yang meniru perbuatan Rasulullah SAW.
Setelah Nabi Muhammad SAW menjadi Rosul beliau sering mengasingkan diri di gua Hiro’. Ia sering melakukan latihan (riyadoh) dan berjuang (mujahaddah). Kemudian dengan usaha yang sungguh-sungguh beliau berlatih dzikir, syukur, riyadoh, ridhlo, qona’ah, dan zuhud, berlapang dada dalam menghadapi segala percobaan dan rintangan sewaktu menjalankan da’wah ke jalan Allah.
Perbuatan Rosullullah yang yang telah beliau contohkan tersebut pada hakekatnya adalah gambaran dari Al Qur’an itu yang membuat para ahli sufi dan ahli tarekat menggali rahasia dalamnya dan akhirnya menjadi sebuah tindakan dalam berkehidupan Tasawuf. Hal seperti itu tidaklah bertentangan dengan ajaran Agama Islam, karena telah terlihat jelas dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi. sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat As Syura’ ayat 52:
وَكًٌَََََُدلِكَ اَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ اَمْرِناَ مَا كُنْتَ تَدْرِى مَاالْكِتَبَ وَلاَ اْلاِئيْمَانَ وَلَكِنْ جَعَلْنَهُ نُوْرًا نَهْدِى بِهِ َمنْ َنشَاءِ مِنْ عِباَدِناَ وَإِنَّكَ لَتَهْدِى إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم )سورة السورة)
Artinya : Dan demikian kami lakukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kami tidak mengetahui apakah itu al kitab dan tidak pula kamu mengetahui apakah iman itu tetapi kami menjadikan al Qur’an itu sebagai cahaya, yang kami tunjuki dengan siapa yang kami kehendaki diantara hamba hamba kami. Dan sesungguhnya kami sangat benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (Surat Asyura: 52) ( Depag RI 78: 191).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hidup kerohanian Nabi Muhammad SAW, baik sebelum maupun sesudah beliau menjadi rasul adalah sumber utama kerohanian Islam, selain sumber utama yang dijelaskan dalam Al Qur’an diatas juga ada dasar -dasar pijakan yang utama baik dari firman Allah maupun hadits nabi, mengenai tarekat.
1. Sebuah Hadist Qudsi yang berbunyi:
كُنْتُ خَزِيْنَةًُ خَاَفِيَةًٌٌ أَحْبَبْتُ اَنْ أَعْرِفَ وَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فََََتعََرِفُتِ إِلَيْهِمْ فَعَرِفُوْنِى (حديث قد س(
Artinya: Adalah aku satu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah aku supaya diketahui siapa aku jadikan makhlukku maka dengan Allah mereka mengenal aku (Ajid Thohir, 2002: 11).
Menurut aliran tarekat ini, bahwa Allah itu adalah permulaan kejadian awalnya tidak ada permulaan. Allah saja telah ada dan tidak ada yang lain sertanya. Dan ingin supaya dzatnya dilihat pada sesuatu yang bukan dzatnya. Sebab itulah dijadikan segenap kejadian (alkhaliq). Maka adanya alam ini laksana kaca, yang terang benderang yang disana dapat dilihat zat Allah.
Inilah Dasar Wahdatul Wujud yang menjadi paham ahli-ahli tarekat. Selanjutnya mereka berpendapat; bahwa kehidupan dan alam penuh dengan rahasia-rahasia tersembunyi dan rahasia-rahasia itu tertutup oleh dinding. Diantara dinding-dinding itu adalah hawa nafsu sendiri. Tetapi rahasia itu akan terbuka dan dinding (hijab) akan tersimbah dan kita dapat melihat atau merasakan atau berhubungan langsung dengan rahasia itu, asal kuat dan sudi menempuh jalannya. Jalan itulah yang disebut tarekat.

2. Firman Allah dalam Alquran:
وَأَلَّوِسْتَقَمُوْاعَلىَ الطُّرِيْقَةِ ِلأَسْقَيْنَهُمْ مَاءً غَذَقَا )سورة الجن)
Artinya: Dan bahwasanya, jikalau mereka jalan lurus di atas jalan itu (agama islam) benar-benar kami akan memberi minuman kepada mereka air yang segar ( rizki yang banyak). (Qs.Jin: 85). (Depag RI.1978:329)
Jelaslah sudah tidak ada keraguan bahwa tasawuf atau tarekat itu bersumber dari Al-Qur’an dan hadist. Al-Qur'an menjadi sumber pokok dan sunnah atau hadist merupakan penjelasan yang penting, kemudian dari sana di galilah ajaran yang sebenarnya sebagaimana yang telah di contohkan oleh Rasulullah SAW dan pelaksanaan ajaran-ajaran itu ialah tasawuf atau tarekat.
Ajid Thohir (2002: 68) mengatakan bahwa Al Qur'an dan As Sunah seperti yang telah di jelaskan sebelumnya merupakan sumber dalam tradisi keagamaan di lingkungan tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah. Keduanya di olah untuk di jadikan nilai syariat dan tarekat ini berjalan di atas nilai-nilai tadi, keduanya saling menguatkan. Sebagaimana Syaikh Al Jailani selalu berpesan kepada murid-muridnya untuk selalu mentaati Allah dan berpegang teguh kepada syariat serta aturan-aturanya.
As Sya'roni, sebagaimana yang juga di kutip oleh Ajid Thohir (2002: 69) juga mengatakan bahwa hanya atas dasar Al Qur'an dan As Sunah perjalanan seorang salik bisa mencapai hakikat Ketuhanan, karena keduanya merupakan petunjuk jalan yang paling tepat dalam menuju Allah SWT.

2.2. Tujuan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Setiap Tarekat memiliki perbedaan dalam menentukan metode dan prinsip-prisip pembinaanya, meskipun demikian tujuan utama setiap tarekat akan tetap sama, yakni mengharapkan Hakikat yang mutlak yaitu Allah SWT (Ajid Thohir, 2002: 55).
Adapun tujuan tarekat sebagaimana dirumuskan para ahli tasawuf adalah:
1. Menurut Amin Kurdi, sebagaimana yang di kutip oleh Ajid Thohir (2002: 55), mengatakan bahwa minimal ada tiga tujuan bagi seseorang yang memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan ibadahnya. Pertama, supaya terbuka terhadap sesuatu yang di imaninya yakni Allah. Kedua, untuk membersihkan jiwa dari sifat dan ahlak yang tercela, kemuadian menghiasinya dengan ahlak yang terpuji. Ketiga, untuk menyempurnakan amal-amal syariat, yaitu memudahkan beramal sholeh dan berbuat kebajikan tanpa menentukan kesulitan dan kesusahan dalam melaksanakanya.
2. KH Muhammad Yahya (1970:12), dalam sebuah risalahnya kitab Miftahul Jannah mengatakan bahwa tujuan menjalani tarekat adalah untuk mendekatkan diri pada Allah dan mencari Ridho Allah.
Sebenarnya tujuan yang telah digariskan tadi sesuai dengan doa yang selalu di baca sesudah melakukan dzikir. Artinya “ Ya Allah! Engkau yang aku tuju dan ridhomu, Ya Allah yang aku cari, semoga engkau beri kepadaku kecintaan dan kema’rifatan kepadamu ya Allah".
Perlu ditambahkan disini bahwa pelaksanaan agama Islam tidak sempurna jika tidak mengerjakan syariat, tarekat, hakikat, ma’rifat. Karena keempat-empatnya merupakan sesuatu yang tunggal bagi Islam. Makna kebersatuan dari keempat hal tersebut diterangkan oleh Imam Malik, yang mengatakan bahwa orang yang mempelajari syariat tetapi menolak hakikat, maka ia termasuk orang yang fasik. Begitupula bila seseorang mempelajari hakikat tetapi menolak syariat maka ia termasuk orang yang mungkar (zindiq) dan orang yang mempelajari kedua-duanya maka pasti akan mendaptkan kebenaran (Moh. Shohibul Kahfi, 2003: 82).

3. Sejarah Berdirinya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

3.1. Sejarah Berdirinya Tarekat Qadiriyah
Istilah Qadiriyah diambil dari nama orang yang mengajarkan amalan yang ada pada tarekat itu sendiri, yaitu Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Sholeh Zangi Dost Al Jilani (wafat 1166 M) yang mengacu kepada tradisi mazhab Iraqi yang di kembangkan oleh Al Junaid serta lebih mengutamakan penggunaan cara-cara dzikir keras dan jelas (dzikir jahr) dalam menyebutkan kalimat nafyi wa al itsbat, yakni kalimat laa ilaaha illallah (Ajid Thohir, 2002: 50).
Pada ajaran tarekat Qodiriyah bacaanya di suarakan keras. Hal ini sebenarnya adalah karena amalan tarekat Qodiriyah ini nasab atau silsilahnya dari sahabat Ali bin Abi Tholib, Di lihat dari psikologinya beliau adalah seorang yang periang, terbuka, serta suka menantang orang-orang kafir dengan mengucapkan syahadat dengan ucapan keras, sehingga Rasulullah SAW mengijazahkan amalan dengan suara yang keras kepada beliau (Martin Van Bruinessen, 1996:48).
Amalan dzikir yang berasal dari sahabat Ali r.a tersebut di turunkan kepada generasi setelah beliau, dan akhirnya sampailah ajaran itu kepada Syaikh Abdul Qodir Al Jailani. Kemudian ajaran ini oleh beliau semakin di sistematiskan dan di organisasikan, sehingga ajaran ini selanjutnya lebih popular di sebut sebagai ajaran tarekat Qodiriyah.
Sebagai Mujahid pemeliharaan ruh Islam yang bertanggung jawab. Beliau merasa berkewajiban dan terpanggil untuk merombak kebiasaan masyarakat Islam yang kian merosot dari nilai-nilai keimanannya. Beliau merayu umatnya agar tidak ceroboh dalam menghadapi setiap tantangan perjalanan hidup. Beliau bangkitkan orang yang berjiwa kerdil, beliau menganjurkan agar mereka kembali kejalan Allah dengan ikhlas, tanpa dikendalikan oleh hawa nafsunya, dan sombong atau ujub. Syaikh Abdul Qadir Jaelani dikenal sebagai seorang sufi yang telah mencapai derajat waliyullah di samping beliau juga seorang fuqaha’.
Ajaran tarekat yang di sebarkan Syaikh Abdul Qadir Jaelani berkembang pesat. Hal tersebut karena selain beliau sendiri sangat kuat dalam melakukan da’wahnya, sejak semasa hidupnya juga sudah ada orang membantu dalam menyiarkan ajarannya itu kepada orang lain. Orang tersebut adalah Ali bin Al-Hadah yang kemudian dikenal di Yaman dengan gerakan tarekatnya. Seorang lagi yang bernama Muhammad Bitha’ yang bertempat tinggal di Balbek, kemudian beliau mengembangkan tarekat di Syiria. Dari murid-murid itu, kemudian menyebarlah aliran tarekat yang di dirikan oleh Syaikh Abdul Qodir Jailani ini, dengan cepat ke seluruh penjuru negeri Islam karena selain ajaranya memang benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW juga terorganisasi secara rapi. Hal inilah yang menyebabkan aliran tarekat ini tetap eksis dan berkembang sampai saat ini.

3.2. Sejarah Berdirinya Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat yang mu'tabaroh (sudah diakui keabsahannya dan di hormati di kalangan penganut tarekat yang lainya). Di dirikan oleh Syaikh Muhammad ibn Muhammad Baha’udin al Luwaisi al Bukhari an Naqsabandi (wafat 1389) yang di dasarkan atas tradisi Al Khurasani yang di pelopori oleh Al Bisthami, yang dzikir dengan cara yang lembut dan samar (dzikir Khafiy) pada pelafalan ism adz-Dzat, yakni Allah, Allah, Allah (Ajid Thohir, 2002: 50).
Sering timbul pertanyaan dari para pengikut tarekat ini, bahwa dari manakah istilah Naqsyabandiyah ini berasal, yang selama ini mereka ikuti, padahal pada riwayat penciptanya tidak disebutkan tentang nama tersebut. Abu bakar Aceh menyebutkan bahwa tarekat ini disebut Naqsyabandiyah diambil dari kata Naqsaband yang artinya “lukisan” menurut riwayat Syaikh Baha’uddin adalah seorang ahli pelukis kehidupan.
Sebenarnya amalan tarekat yang di dirikan oleh Syaikh Baha’uddin ini adalah amalan yang berasal dari Abu Bakar r.a, beliau menerima pelajaran spiritualnya pada malam hijrah, ketika ia dan Rasulullah SAW sedang bersembunyi di sebuah gua tak jauh dari Makkah. Karena di seputar tempat itu banyak musuh, mereka tidak dapat berbicara keras-keras, maka Rasulullah SAW mengajarinya untuk berdzikir dalam hati. Dzikir diam inilah dan sikap-sikap spiritual yang lainya, di percayainya kaum Naqsabandy telah di turunkan oleh Abu Bakar kepada murid-muridnya, dan akhirnya di jadikan sebuah sistem oleh Syaikh Baha’ Al Din An Naqsabandy. Hal itu tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Syaikh Baha’ Al Din An Naqsobandy dan beberapa orang lainya melakukan inovasi dalam tarekat itu dan memperkenalkan tekhnik-tekhnik baru. Orang-orang Naqsabandiyah yakin bahwa inovasi tersebut semua berdasarkan dari apa yang di ajarkan oleh Abu Bakar Al Shiddiq, dan oleh karena itu tidak terjadi perubahan yang mendasar (Martin Van Bruinessen, 1996:48).

5. Sejarah Perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia
Sebenarnya aliran tarekat yang ada di Indonesia telah berkembang sejak berlangsungnya penyiaran Islam pertama kali oleh pedagang Gujarat. Namum baru pada abat ke 13 organisasi-organisasi tarekat mulai dikenal masyarakat bersamaan dikenalnya kelompok-kelompok Islam.
Demikian pula tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang berkembang di Indonesia. Sebenarnya istilah Qodiriyah wa Naqsabandiyah mengacu kepada sebuah nama tarekat yang merupakan hasil rumusan atau formulasi Syeikh Ahmad Khatib Sambasi dari dua sistem tarekat yang berbeda (Qodiriyah dan Naqsabandiyah) menjadi satu metode tersendiri yang praktis untuk menempuh jalan spiritual. Beliau adalah putra bangsa Indonesia asli yang pernah menuntut ilmu di berbagi Negara Arab. Sehingga tidak aneh kalau kegiatan dakwahnya ini pertama kali di lakukannya sekitar abad ke-19 di Makkah.
Seharusnya tarekat yang beliau dirikan ini di namai "Tarekat Sambasiyah", karena sebagaimana kebiasaan pendiri tarekat yang lainya, selalu menamakan tarekat yang di dirikanya dengan namanya sendiri. Namun Syaikh Ahmad Khotib Sambasi tampaknya tidak tertarik dengan hal itu, tetapi lebih suka menamai tarekatnya dengan sebutan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Akhirnya istilah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah oleh pengikutnya dijadikan semacam aliran yang sekarang kita kenal dengan nama “Tarekat Qadiriyah wa Nasyabandiyah”.
Syaikh Ahamad Khotib Sambasi tidak mengajarkan Tarekat Qodiriyah dan Naqsabandiyah secara terpisah, tetapi dalam satu kesatuan yang harus di amalkan secara utuh. Sekalipun masing-masing tarekat tersebut memiliki metode sendiri-sendiri yang sangat berbeda, baik dalam aturan-aturan kegiatan, prinsip-prinsip maupun cara-cara pembinaanya. Sehingga bentuk tarekat ini adalah tarekat baru yang memiliki perbedaan dengan kedua tarekat dasar itu (Ajid Thohir, 2002: 48-49).
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia, selanjutnya di kembangkan secara lebih intens di pondok pesantren, karena pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan keagamaan yang bercirikan Islam pertama yang ada di Indonesia. Melalui pondok pesantren inilah ajaran-ajaran Agama Islam dapat di ajarkan secara lebih mendalam, baik kajian Aqidah, Fiqih, Ilmu Nahwu, maupun Ajaran Tasawuf yang termasuk tarekat ada di dalamnya.
Menurut Departemen Agama RI (2003: 10-11), pondok pesantren berdasarkan sejarah akar berdirinya di Indonesia ditemukan dua versi pendapat:
Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pondok pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai dengan terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat disebut Mursyid atau Kyai, yang mewajibkan pengikutnya melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kyai atu mursyid. Untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat di kiri-kanan masjid. Di samping mengajarkan amalan tarekat para pengikut itu juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pondok pesantren.
Kedua, pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pondok pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pondok pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta yang lain menunjukkan bahwa pondok pesantren bukan berasal dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pondok pesantren di negara-negara Islam lainnya.
Sebagaimana yang di sebutkan dalam versi pertama, bahwa pondok pesantren pada awal munculnya mempunyai keterkaitan yang erat dengan pengajaran tarekat. Dalam lingkungan pesantren yang ada di Indonesia, istilah tarekat diberi makna sebagai suatu kepatuhan-kepatuhan kepada peraturan-peraturan Syari’at Islam dan pengamalannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun yang bersifat sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek wira’i, mengerjakan amalan-amalan yang sunnah baik sebelum sholat maupun sesudah sholat wajib dan memperaktekkan riyadhah. Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa istilah tarekat merupakan ajaran yang menyatu dalam teradisi pesantren tanpa harus di bentuk organisasi tarekat tersebut.

6. Ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Pengajaran mengenai amalan dzikir dalam tarekat Qodiriyah dilakukan dengan keras (yakni bersuarakeras). Dzikir utama dalam tarekat ini adalah La Ilaha illallah, yang di baca secara istiqomah setiap selesai sholat maktubah sebanyak 165 kali. Sedangkan amalan dzikir dalam tarekat Naqsabandiyyah merupakan dzikir tahap kedua setelah tarekat Qadiriyah. Dzikir ini di sebutkan sebagai dzikir itsmu dzat, yaitu lafad Allah di dalam hati atau di sebut dzikrul qalbi ( Shohibul kahfi, 2002:83).
Selain amalan dzikir sebagaimana yang di sebutkan di atas dalam tarekat ini dan tarekat manapun juga, salah satu dari pada persoalan yang terpenting dalam mencapai tujuan ma’rifat billah bagi seorang salik ialah pengajaranya dalam memperbaiki akhlak dan dalam menuntunnya mencapai maqam yang tertinggi. Dengan kata lain dalam tarekat ini di ajarkan bagaimana memperbaiki akhlak dan budi pakerti, selain terus-menerus melakukan dzikir.
Dan perlu diketahui dalam tarekat, perbaikan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan utama guna mencapai tujuan akhir yaitu ma’rifat billah. Ahlak- akhlak yang harus di miliki oleh seorang salik tersebut antara lain:
1. Takhalli ( تخلئ)
Istilah Takhalli mempunyai arti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat As Sam ayat 9-10:
قدافلح من ذكاها وقد خاب من دساها ) الشمس)
Artinya Sesungguhnya bahagialah orangyang mensucikan jiwanya dan sungguh merugilah orang-orang yang mengaotori jiwanya (Depag RI, 1978:1064).
Adapun sifat yang tercela yang harus di hilangkan adalah riya (memamerkan kelebihan), sama’ (cari nama atau kemasyhuran), bakhil (kikir), hubbul mal (cinta harta yang berlebihan), namimah (berbicara dibelakang orang) dan lain sebagainya. Sedangkan yang merupakan maksiat lahir, ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang merusak orang lain atau diri sendiri, sehingga membawa pengorbanan benda, pikiran perasaan. Maksiat lahir, melahirkan kejahatan-kejahatan yang merusak dan mengacaukan masyarakat. (Musthofa Zahri, 1996:74-75)
2. Tahalli (تحلئ )
Tahalli mempunyai pengertian, menghiasi atau mengisi diri dengan sipat-sifat terpuji. Dalam hal ini, apabila manusia dapat menghiasi dirinya dengan sifat terpuji, maka mereka akan menjelma menjadi manuasia yang suci dan mampu melakukan hubungan baik dengan siapapun. Senang hati dalam mengabdi kepada masyarakat, senang bekerja untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara, senang memberikan pertolongan dan bantuan, senag memelihara anak, istri, yang kesemuanya tersebut selalu di sandarkan kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam An Nahl 90:
ان الله يأمر بالعدل والاحسان وإيتائ القرب وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون (النحل)
Artinya “Bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil, berbuat kebajikan, hidup kekeluargaan. Dan melarang kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Bahkan Tuhan mengajarkan kepada kanu sekalian (pokok-pokok akhlaq) agar kamu sekalian menjadi perhatian. (Surat An Nahl 90). (Depag RI 1978:414)
3. Tajalli (تجلئ)
Usaha terakhir dalam perbaikan akhlak ini ialah Tajalli, setelah kita menempuh dua jalan yakni Takhalli dan Tahalli. Memang sudah menjadi cita-cita utama para penganut tarekat dapat melepaskan diri dari sifat-sifat yang tercela dan dapat mengisi diri dalam jiwanya dengan sifat-sifat yang terpuji. Kata orang-orang sufi sifat-sifat terpuji adalah tingkah laku yang membawa manusia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan, yang pada gilirannya kalau sifat-sifat semacam itu tetap bekerja dalam diri manusia, maka tidak mustahil tingkatan terakhir ini (Tajalli) dapat digapai, yakni: ilmu mukasyafah, ma’rifat dan hakekat. Dan inilah tujuan yang sebenarnya dari pada penganut tarekat dalam menanamkan nilai-nilai luhur ajarannya melalui pendidikan akhlak terhadap para murid atau pengikutnya.

6.1. Ajaran Tarekat Qodiriyah
Secara khusus dan pandangan umum masyarakat menganggap bahwa yang menjadi orientasi dalam ajaran tarekat Qodiriyah adalah dzikir lafadz laa ilaaha illallah secara istiqomah setiap selesai sholat sebanyak 165 kali. Namun sebenarnya ajaran yang sesungguhnya lebih dari itu. Alwi shihab (2004: 210), mengatakan bahwa dimensi tasawuf lebih luas dari sekedar bahasa dan kosa kata yang tersedia untuk menyampaikan baik yang tersurat maupun yang tersirat (amalan lafadznya). Dengan demikian mungkin kurang tepat apabila bidang tasawuf hanya di kategorikan sebagai teori atau dogma, melainkan lebih tepat jika di kategorikan sebagai jalan hidup sikap dan perilaku, bahkan terkadang juga di gunakan sebagai sarana menciptakan kedamaian dalam memahami realitas dunia.
Dalam kitab Risalah Qusyairiyah karangan Syaikh Abdul Qosim (2002: Viii), menyebutkan bahwa maqomat-maqomat atau jalan pendakian para salik haruslah melalui pengalaman ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu melalui taubat, mujahadah, khalwah dan uzlah, taqwa, wara’, zuhud, diam, takut, raja’, itsar, qonaah, syukur, tawakal, yakin, sabar, ridho, muroqobah, istiqomah, sidiq, dzikir, mahabah, dan lain-lain. Ini berarti ajaran yang sesungguhnya dari pengamalan ajaran tarekat atau kehidupan sufi tidak hanya terbatas pada pengajaran dan pengamalan dzikir saja.
Sedangkan secara lebih khusus pengajaran mengenai dzikir dalam tarekat Qodiriyah ini dilakukan dengan keras (yakni bersuara). Dzikir utama dalam tarekat adalah La Ilaha illallah. Cara melakukan ialah sebagai berikut:
Sang Dzakir (orang yang melantunkan dzikir) meski duduk seperti dalam shalat sambil menghadap kiblat dan harus menutup matanya. Meski mengucapkan kata La sembari menarik bunyi seperti dari pusar, mengangkatnya kebahunya, kemudian mengucapkan Ilaha sambil menarik bunyi dari otaknya. Sesudah itu, ia mestilah mengetukkannya, yakni mencamkan kata-kata Illa Allah dengan kuat dalam hatinya, seraya memikirkan bahwasanya Allah sajalah Sang kekasih, dan bahwa nama Allah sajalah wujud hakiki dan tujuan hakiki dalam kehidupan (Mir Valiuddin, 1979:122)

Lafad dzikir Tarekat Qadiriyah adalah kalimat toyyibah “Laa ilaaha illallah”, di baca 165 kali. Jumlah tersebut didasarkan pada keterangan sebagian ulama, barang siapa berwirid sejumlah bilangan hurufnya maka wiridnya mustajab.
Adapun jumlah kalimat Laa Ilaaha Illallah menurut abjadnya berjumlah 165. Dzikir ini adalah dzikir lisan yang merupakan dzikir nafyul itsbat, artinya menafikan selain Allah sambil menghadirkan makna dzikir itu di dalam hati (Shohibul Kahfi, 2002: 82-83).
Selain dzikir menggunakan lafadz Laa Ilaha lllalah dalam tarekat Qadiriyah juga menggunakan dzikir dengan ismu zat Allah, yakni Allah, juga diucapkan dengan keras dengan salah satu cara yang dikemukakan Mir Valiuddin (1979:123-124) sebagai berikut ini:
1. Dzikir dengan satu dharb (satu ketukan): sang dzakir mestinya mengucapkan nama maha pengasih Allah dengan kekuatan hati dan tenggorokan dengan menggunakan cara keras, tegas, serta memanjangkannya. Kemudian ia boleh berhenti untuk mengambil nafas, dan kemudian melanjutkan dzikir selama mungkin. inilah dzikir yang sangat sederhana, tetapi efektif dan indah.
2. Dzikir dengan dua dharb: yang dzikir duduk dalam posisi shalat (Vajrasan dalam istilah yoga), menghadap kiblat, sambil mengucapkan nama Allah, sambil menoleh kekiri sekali, dan kedua kalinya mencamkannya pada hatinya. Ia mesti terus menerus mengulanginya tanpa henti. Ketukan mestilah dilakukan dengan sekuat-kuatnya agar hati terkena pengauhnya dan kemudian menjadi tenang serta agar bisikan-bisikan jahat di hilangkan.
3. Dzikir dengan tiga dharb: sang dzakir meski duduk bersila. Ia mengenakan ketukan ini pada lutut kaki kanannya, lalu pada lutut kaki kirinya dan terahir pada hatinya. Ketukan ini harus lebih keras dan lebih kuat.
4. Dzikir dengan empat dhrab: sang dzakir meski duduk bersila. Ia mengenakan ketukan pertama pada lutut kaki kanannya, kemudian pada lutut kaki kirinya, lalu pada hatinya, dan terakhir pada yang di depanya. Dharh terakhir ini mestilah dilakukan dengan suara kuat dan di panjangkan

Perlu di sebutkan disini bahwa berbagai posisi dan metode dzikir yang bebeda, yang digunakan oleh para Syaikh tarekat, berpijak pada implementasi-implementasi mereka. Melalui berbagai implementasi ini, mereka ingin mengembangkan dalam diri sang dzakir perasaan untuk tidak mementingkan diri sendiri, kerendah-hatian, ketundukan, kedamaian jiwa, dan kebahagiaan.
Selanjutnya mereka memperhatikan kebenaran psikologis juga bahwa manusia secara tidak sengaja memperhatikan berbagai arah yang berbeda dan juga suara-suara yang di hasilkan dari arah-arah yang berbeda pula. Dengan demikian, dengan berbagai posisi yang berbeda, mereka bermaksud mencegah sang dzakir memperhatikan sesuatu selain Allah. Metode-metode pengajaran dalam tarekat Qodiriyah inilah yang harus di lakukan seorang salik guna mendapatkan tujuan akhir yang ingin di capainya yaitu Allah SWT.
6.2. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah
Sebagaimana ajaran dalam tarekat yang lainya, dalam Naqsabandiyahpun selain pengajaran untuk selalu berdzikir dengan kalimat Allah secara terus menerus juga yang tidak kalah pentingnya adalah pengajaran akhlak dan berbagai ajaran sendi kehidupan yang akan mendukung para salik dalam mencapai makrifat billah.
Al Junaid Al Bagdadi mengatakan bahwa tasawuf tidak dapat di capai dengan memperbanyak ritual sholat dan puasa belaka, melainkan harus di barengi dengan kemantapan hati dan kemurahan jiwa (Alwi Shihab, 2004: 212). Lebih lanjut Haidar Bagir (2002: XXiii), mengatakan bahwa bukan hanya akhlak individual yang menjadi sasaran tasawuf, yang tidak kalah penting adalah amal sholeh. Seorang sufi sepenuhnya juga harus mengontrol nafsunya sehingga ia akan menjadi orang yang sabar, tawakal dan takwa yang terbebas dari hasad, dengki, iri hati, marah, bisa mengontrol dirinya untuk ingin populer (riya’), mendapatkan kejayaan dunia belaka, dan sebagainya.
Sedangkan secara lebih khusus dzikir tarekat Naqsabandiyyah merupakan dzikir tahap kedua setelah tarekat Qadiriyah. Dzikir ini di sebutkan sebagai dzikir itsmu dzat, yaitu dzikir dengan lafad Allah di dalam hati (Dzikrul Qalbi).( Shohibul kahfi, 2002:83).
Dalam tarekat ini, diyakini bahwa waktu luang seseorang itu sangat penting dan berharga serta tidak boleh di biarkan berlalu begitu saja. waktu ini mesti digunakan untuk melantunkan dzikir La ilaha illallah.
Pertama, seseorang meski menyingkirkan bebagai macam gangguan dari dari hatinya seperti, mendengarkan omongan iseng orang lain atau terjun dalam hal-hal duniawi. Sang dzakir mesti juga membebaskan hatinya dari segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya kebingungan batin, seperti marah, lapar, keserakahan, atau kepedihan macam apapun. Mestinya ia mengingat kematiannya dan senantiasa mencamkannya. Ia harus memohon ampun kepada Allah dengan kerendahan hati atas berbagai perbuatan dosa dan kekhilafannya.
Kedua, ia menempelkan lidahnya kelagit-langit mulutnya, dengan menutup bibir matanya, ia harus menahan nafasnya di dalam perut. Ia meski mengucapkan kata La dengan cara mengangkatnya dari pusar kedalam hatinya, dalam kemudian membawa kedalam otak.
Ketiga, mengucapkan kata Ilaha, menggerakkan kebahu kirinya dan disitu menghentakkannya, yakni mematerikan kata-kata llallah dengan kuat pada hatinya sedemikian rupa sehingga efek ketukan itu tampak dalam seluruh anggota tubuhnya
Sang dzikir mestilah menafikan egonya sendiri dan sebaliknya meng-Esa-kan wujud Allah, serta mengucapkan dengan ketulusan dan keikhlasan: Ya Allah, Engkalah tujuan akhirku dan keridhaan-Mu sajalah yang kucari (Shohibul Kahfi, 2003: 80).
Badan harus diam dan tidak boleh bergerak. Ia meski harus mengingat bilangan ganjil setiap kali menahan nafas. Ia meski mengucapkan, ”Muhammad adalah utusan Allah” ketiga ia menghembuskan nafas ini pertama kali, kemudian tiga kali (demikian seterusnya sembari memperhatikan bilangan ganjil) (Mir Valiuddin, 1979:137).
Menurut Moch. Baidowi Muslich (10) dalam kitabnya Idaratul Sungbiyah mengatakan Bentuk Dzikir semacan ini adalah lafad La di panjangkan disertai tarikan dari pusar sampai kepala (otak). Terus dibaca kalimat Ilaha ditarik kearah kanan, terus membaca Ilallah kearah kiri diarahkan kehati sanubari dengan pukulan kuat (Moch. Baidowi Muslich:10)
Salah satu dzikir para Syair Naqsabandiyah adalah dzikir al-Issbat al-Mujarrah atau dzikir berupa penegasan saja, yakni dzikir nama Allah, tanpa penegasan atau penafikan. Konon para teolog Naqsyabandiyah awal tidak mengamalkan dzikir ini. Ini adalah amalan Kwaja Baqi-billah, atau para Syaikh agung sebelumnya. Disepakati bahwa dzikir penegasan dan penafikan sangat baik untuk penghambaan, suluk, dan bahwa dzikir penegasan saja lebih kondusif pada keterserapan diri kepada Allah
Prosedur dzikir Ism Adz-Dzat (nama Dzat Allah) ialah seseorang mesti menyentuh langit mulut dengan lidahnya, dan mencamkan makna nama Allah yang diberkahi (yang tidak menyerupai entitas apa pun dan tidak ada satu entitas yang menyerupainya; yang tidak menyerupai sesuatu dan tak ada sesuatu pun menyerupai-Nya; yang tidak bisa diukur dan dibatasi, yang tidak diliput arah; yang tidak menyerupai badan; yang tunggal tanpa ada tandingan; yang terpisah tanpa ada keserupaan) dan mestilah mengarahkan hatinya kepada Allah yang Maha Kuasa serta tenggelam dalam dzikir Ismu Adl-Dzat.
Dengan metode inilah seorang salik dalam tarekat Naqsabandiyah akan mampu mencapai tujuan akhir yaitu ma’rifatullah. Pencapaian maqom ma’rifatullah inilah yang selalu di cita-citakan para pencari kebenaran Ilahiyyah (salik). Dengan pencapaian maqom tersebut ia akan selalu mencintai, di cintai dan ridho Allah akan selalu bersamanya, sehingga ia akan bahagia dan selamat di dunia-akhirat.
B. KAJIAN TEORITIS TENTANG ESQ (EMOTIONAL-SPIRITUAL QUOTIENT)

1. Pengertian ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)
Meminjam istilah Dr. Ali Syariati, yang di kutip oleh Ary Ginanjar Agustian (2001: XX), mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk dua-dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kebutuhan dunia dan akherat. Oleh karena itu manusia haruslah mempunyai konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelejensia yang baik (EQ plus IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ), sehingga melalui istilah dua-dimensial tersebut sebuah upaya penggabungan ketiga unsur tersebut haruslah di lakukan.
Dalam kajian kebangkitan postmodernpun di sebutkan bahwa ternyata manusia tidak hanya menginginkan terpenuhinya kebutuhan materiil sebagaimana yang ingin di capai oleh modernisasi, karena ketika manusia hanya oriented-materialistik maka hanya akan mengalami krisis dalam segala bidang, tercapainya kebahagiaan yang semu, dan tujuan yang hakiki manusia tidak akan pernah tercapai. Untuk keluar dari lingkungan krisis dan permasalahan tersebut, maka manusia harus kembali kepada hikmah Spiritual Ilahiyah yang terdapat dalam semua agama yang otentik (Syamsul Arifin, 1996: 34). Dalam hal ini berarti perlu adanya penyesuaian antara pencapaian kebutuhan materiil melalui pengembangan emosional seseorang (EQ), dan pencapaian kebutuhan Spiritual Ilahiyah, melalui pengembangan SQ (Spiritual Quotient). Dengan kesesuaian antara EQ dan SQ tersebut seseorang akan mampu bahagia di dunia dan akhirat.
Untuk itu perlulah kiranya di kaji secara lebih mendalam mengenai kecerdasan emotional (EQ) dan kecerdasan Spiritual (SQ) serta bagaimana langkah-langkah dalam mengembangkan potensi ESQ guna mencapai tujuan manusia yang sesungguhnya, yaitu insan kamil yang mampu melakukan hubungan vertikal-horizontal sehingga hidup bahagia di dunia dan akherat.

1.1. Pengertian EQ (Emotional Quotient)
Istilah kecerdasan emosional atau yang di kenal dengan EQ (Emotional Quotient) pertama kali di lontarkan pada tahun 1990 oleh Psikolog Peter Solovey dari Harvard University dan John Mayor dari University of New Hampshire, untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya sangatlah penting bagi keberhasilan (Laurence E. Shapiro, 1999: 5).
Para ahli telah banyak yang mengungkapkan pengertian EQ (Emotional Quotient) antara lain, menurut Salovey dan Mayer yang di kutip oleh Lawrence (1999: 8), mengatakan bahwa EQ (Emotional Quotient) merupakan himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Sedangkan menurut Daniel Goleman (2002: 512), EQ (Emotional Quotient) merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dengan kemampuan yang dimilikinya tersebut ia akan dapat memperoleh keberhasilan.
Setelah di ketahui beberapa pendapat dari para ahli dalam mendefinisikan pengertian EQ (Emotional Quotient), maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional melingkupi dua kategori kecakapan yang harus di miliki yaitu: pertama, kecakapan pribadi, yang melingkupi kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi. Yang kedua, kecakapan sosial yang melingkupi empati dan ketrampilan sosial (bermasyarakat).

1.2. Pengertian SQ (Spiritual Quotient)
Kecerdasan Spiritual (SQ) merupakan temuan terkini yang secara ilmiyah pertama kali di gagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshal, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiyah tentang SQ (Spiritual Quotient) ini, pertama, riset ahli Psikologi atau syaraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990-an dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V. S. Ramachan dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia, ini sudah built-in sebagai pusat spiritual (Spiritual Center) yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak. Sedangkan bukti kedua, adalah riset ahli syaraf Austria Wolf Singer, pada era 1990-an atas the binding problem yang menunjukkan ada proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dan pengalaman hidup kita, suatu jaringan syaraf yang secara literal mengikat pengalaman kita bersama untuk hidup yang lebih bermakna. Pada God-Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yag terdalam (Ary Ginanjar, 2001: XXXiX).
Danah Zohar dan Ian Marshall sebagaimanaa yang di kutip Ary Ginanjar (2001: 57), mendefinisikan SQ (Spiritual Quotient) sebagai suatu kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, atau bisa juga di sebut sebagai kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna di bandingkan dengan orang lain.
Akan tetapi teori SQ dari barat ini belum atau bahkan tidak menjangkau masalah Ketuhanan. Pembahasanya baru sebatas Biologi dan Psikologi semata, tidak bersifat transendental. Akibatnya masih banyak di temukan kebuntuan. Kebenaran yang sejati sebenarnya teletak kepada suara hati yang bersumber pada God Spot yang merupakan fitrah manusia untuk mencari eksistensi dirinya sebagai mahluk Tuhan.
Berbeda dengan pengertian SQ (Spiritual Quotient) yang telah di berikan oleh para ilmuan barat, para ahli agama yang menganggap bahwa kecerdasan spiritual merupakan suatu potensi yang ada pada setiap diri manusia yang bersumber kepada fitrah Ketuhanan, tidaklah hanya sebatas kepada tataran Biologi dan Psikologi sebagaimana yang di katakan oleh para ilmuan barat.
Menurut Dr. H. M. Idris Abdul Shomad (2005: 22) mendefinisikan SQ (Spiritual Quotient) sebagai suatu sifat, sikap, dan perilaku takwa kepada Allah SWT yang di buktikan dengan amal sholeh (kebaikan-kebaikan) yang di landaskan pada keimanan kepada Allah SWT.
Sedangkan menurut Ary Ginanjar Agustian (2001: 5), menjelaskan bahwa SQ (Spiritual Quotient) adalah kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yag sesungguhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah.
Dari beberapa definisi SQ (Spiritual Quotient) yang telah di kemukakan oleh beberapa ahli tersebut, penulis dapat menyimpuklkan bahwa pada intinya SQ (Spiritual Quotient) merupakan kemampuan seseorang untuk memberikan makna kehidupan yang berlandaskan iman dan takwa kepada Allah SWT, dengan menggunakan seluruh potensi yang ada dalam dirinya baik dhohir maupun batin untuk selalu melakukan hubungan, baik secara vertikal (manusia dengan Tuhanya) maupun horizontal (manusia dengan sesama mahluk Tuhan), sehingga tujuan manusia yang hakiki untuk bahagia di dunia dan akherat dapat tercapai.

2. Unsur-Unsur ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)
Kecerdasan Emosional maupun Spiritual memiliki indikasi dan unsur-unsur pembangun yang nampak pada sifat dan karakteristik yang terdapat pada diri seseorang, unsur-unsur pembangun dari ESQ inilah yang harus di miliki oleh setiap orang sehingga ia akan menjadi orang yang sukses di dunia maupun di akherat.

2.1. Unsur-Unsur EQ (Emotional Quotient)
Sebelumnya perlu di ketahui bahwa, kemutlakan peran IQ (Intelegency Quotient) yang dulu begitu di agung-agungkan kini sedikit tergeser posisinya dengan keberadaan EQ yang begitu menghebohkan (Ary Ginanjar, 2001: XII). Senada dengan itu, Laurence E Shapiro (1999: 4) mengatakan bahwa penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa ketrampilan sosial dan emosional mungkin lebih penting bagi keberhasilan hidup katimbang kemampuan intelektual. Dengan kata lain memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting dalam mencapai keberhasilan dari pada IQ tinggi yang hanya di di ukur berdasarkan uji standar tehadap kecerdasan kognitif verbal dan non verbal.
Sebenarnya ketrampilan EQ bukanlah lawan dari ketrampilan IQ. Namun keduanya bersinergi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Idealnya seseorang dapat menguasai ketrampilan kognitif sekaligus ketrampilan sosial dan emosional, sebagaimana di tunjukkan oleh negarawan-negarawan besar dunia (laurence, 1999: 9).
Alfred Binet bersama Theodore Simon, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensia mendefinisikan bahwa IQ terdiri atas tiga komponen yaitu kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah di laksanakan, dan kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocriticism (Saifuddin Azwar, 1996: 5).
Dari komponen yang di miliki IQ tesebut ternyata telah masuk dalam cakupan kajian EQ (Emotional Quotient). Sebagaimana Daniel Goleman (2003: 513-514) menyebutkan bahwa dasar kecakapan emosi dan sosial mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kesadaran diri, berarti mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakanya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri, berarti menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c. Motivasi, berarti menggunakan hasrat pada diri kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan serta flustrasi.
d. Empati, berarti merasakan sebagaimana yang di rasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
e. Ketrampilan sosial, berarti menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan-ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam suatu tim.

2.2. Unsur-Unsur SQ (Spiritual Quotient)
Mimi Doe (2002: 19) menyebutkan bahwa cara untuk membangun SQ dengan menciptakan hubungan yang tepat dengan seluruh aspek dalam diri kita dan dunia kita, hal in berarti SQ mencakup seluruh aspek kajian yang di miliki oleh manusia. Lebih lanjut, Danah Zohar dan Ian Marshall, sebagaimana yang ada dalam buku ESQ karangan Ary Ginanjar (2001: 57), juga menyebutkan bahwa SQ adalah landasan yang di perlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Oleh karena itu dapatlah di katakana bahwa apabila seseorang lebih dahulu mengfungsikan dan mengembangkan potensi kecerdasan spiritualnya, maka kecerdasan yang lainya akan mengikuti sendiri.
Kecerdasan spiritual memiliki indikasi dan unsur-unsur pembangunnya yang nampak pada sifat dan karakteristik yang terdapat pada diri seseorang, seperti kejujuran, amanah, cerdas (berakal dan cerdas emosi) dan komunikatif.
a. Kejujuran merupakan sifat paling mendasar bagi SQ, karena kejujuran sangatlah erat hubunganya dengan niat dan motivasi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku. Sementara itu, niat dalam pandangan Islam memiliki posisi urgen dan signifikan bahkan penentu dan standard dari sebuah perbuatan.
b. Amanah adalah refleksi dari kejujuran. Seseorang akan memiliki amanah, menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab, jika amal perbuatannya itu di dasarkan pada prinsip kejujuran.
c. Cerdas atau fatonah merupakan bekal sekaligus faktor kesuksesan seseorang dalam mencerdaskan spiritual. Dengan kecerdasan yang di milikinya tersebut ia akan mampu menyesuaikan hubungan yang baik dengan siapapun. Ia akan selalu melakukan hubungan vertikal secara baik, sekaligus tidak akan melupakan kewajibanya untuk mampu bermasyarakat dan bersosial secara baik pula.
d. Komunikatif adalah karakteristik lain dari SQ, artinya seseorang yang memiliki SQ ia tidak cenderung menyendiri dan menjauh dari masyarakat, tetapi ia membaur dan berinteraksi. Bukan untuk mengikuti arus yang tidak baik, melainkan untuk memperbaiki sesuatu yang tidak baik dan mengikuti sesuatu yang baik. Sejalan dengan ajakan dan seruan kebaikan, serta menentang segala bentuk kemungkaran di masyarakat (M. Idris Abdul Shomad, 2005: 19-21).
Sedangkan menurut Jalaluddin Rahmat, sebagaimana yang di sebutkan oleh Sudirman Tebba (2003: 20-23), menyebutkan ciri-ciri atau karakteristik kecerdasan spiritual adalah:
a. Mengenal motif kita yang paling dalam, berarti pengenalan terhadap fitrah ketuhanan yang ada pada diri manusia itu sendiri.
b. Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi atau self awareness, berarti mengenal diri dengan baik dan selalu berusaha untuk mengenal dirinya lebih dalam.
c. Bersifat responsif pada diri yang paling dalam, berarti ia sering melakukan refleksi dan mau mendengarkan hati nuraninya.
d. Dapat memanfaatkan dan mentransendenkan kesulitan atau penderitaan. Orang yang cerdas secara spiritual sewaktu mengalami penderitaan tidak pernah mencari kambing hitam, tetapi mengambil hikmah dari penderitaan.
e. Sanggup berdiri dan menentang serta berbeda dengan orang banyak terhadap sesuatu yang di anggap tidak benar.
f. Enggan mengganggu atau menyakiti. Mampu merasa bahwa alam semesta ini adalah suatu kesatuan, sehingga apabila mengganggu alam atau manusia, maka gangguan itu akan menimpa dirinya sebagai ganjaran dari perbuatanya tersebut.
g. Memperlakukan Agama secara cerdas. Maksudnya, dia beragama, menganut suatu agama tetapi tidak mengganggu, menyerang orang yang beragama lain.
h. Memperlakukan kematian secara cerdas. Maksudnya, memandang kematian sebagai suatu peristiwa yang harus di alami oleh setiap orang, sehingga dirinya harus mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.

E. KAJIAN TEORITIS TENTANG PERAN TAREKAT QODIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DALAM PENINGKATAN ESQ (EMOTIONAL-SPIRITUAL QUOTIENT) MASYARAKAT MUSLIM DI ERA MODERN.
Sebagaimana telah di jelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa amalan maupun ajaran yang terdapat dalam Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah sebenarnya tidak hanya terfokus pada pengamalan dzikir atau wirid tertentu saja, namun lebih dari itu sebenarnya mempunyai peran yang sangat besar dalam memberikan pengajaran para penganutnya untuk mampu melakukan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, melakukan hubungan antara dirinya dengan lingkungan sosial, dan lebih-lebih dalam melakukan hubungan antara dirinya dengan Tuhanya.
Hal ini berarti bahwa untuk mencapai tujuan, seorang sufi atau salik (penempuh jalan tarekat) selain memiliki akhlak individual juga harus memiliki akhlak sosial. Di samping mereka harus mengamalkan dzikir sebagaimana yang telah di ajarkan oleh mursyid mereka, selain itu mereka juga harus melalui maqomat tertentu. Maqomat-maqomat atau jalan pendakian para salik haruslah melalui pengalaman ajaran islam yang sebenarnya, yaitu melalui taubat, mujahadah, khalwah dan uzlah, taqwa, wara’, zuhud, diam, takut, raja’, itsar, qona’ah, syukur, tawakal, yakin, sabar, ridho, muroqobah, istiqomah, sidiq, dzikir, mahabah, dan lain-lain.
Ajaran yang ada dalam tarekat, sebagaimana yang telah di sebutkan mempunyai kesamaan dengan unsur-unsur yang terdapat di dalam ESQ (Emotional-Spiritual Quotient). Hal ini berarti pengamalan tarekat juga berperan sebagai sarana dalam menumbuhkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dan inilah yang akan menyeimbangkan antara pencapaian kebutuhan di dunia dan kebutuhan akherat.
1. ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) dalam Perspektif Ajaran Tarekat
Pada intinya yang di bahas dalam kajian ESQ adalah bagaimana seseorang memanfaatkan potensi diri dan suara hati terdalam yang terdapat di dalam God Spot, sehingga dirinya akan bisa melakukan keseimbangan antara hubungan dirinya dengan lingkungan sosialnya, kesesuaian antara kebutuhan dunia dan akhheratnya. Dalam pengamalan tarekat tenyata juga juga di ajarkan hal-hal tersebut. Dalam hal ini ternyata antara pengamalan ajaran tarekat dan penumbuhan potensi ESQ mempunyai perspektif yang sama.

1.1. EQ (Emotional Quotient) dalam Perspektif Ajaran Tarekat
Telah di di jelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa menurut Daniel Goleman (2002: 512), EQ (Emotional Quotient) merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Di lihat dari perspektif sufistik ataupun ajaran tarekat unsur-unsur kecerdasan emosional itu juga ada dalam ajaran tarekat. Antara lain kesadaran diri dalam ajaran tarekat atau tasawuf di sebut muhasabah. Muhasabah berarti melakukan perhitungan, yaitu perhitungan terhadap diri sendiri mengenai perbuatan baik dan buruk yang pernah di lakukan. Tujuanya adalah mengurangi atau kalau bisa menghilangkan perbuatan buruk dan meningkatkan perbuatan yang baik. Dengan muhasabah berarti dirinya akan mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana dia harus melakukan manajemen diri dengan baik, dan mengetahui konsep kesadaran diri yang lainya.
Konsep muhasabah sering di kaitkan dengan ucapan Ali bin Abi Tholib yang mengatakan bahwa orang harus menghitung dirinya sendiri sebelum di hitung amalnya oleh Allah SWT.
Selain itu sebagian pakar ajaran tarekat ada yang mengaitkan antara konsep muhasabah dengan Abu Abdullah Al Harits bin Asad Muhasibi (W. 243 H/ 857 M), seorang sufi dari Bagdad, yang sering menggunakan konsep muhasabah dalam ajaran tasawufnya. Menurut dia, motivasi manusia untuk melakukan perhitungan diri sendiri mengandung harapan dan kecemasan dan perhitungan itu merupakan landasan perilaku yang baik dan takwa (Sudirman Tebba, 2003: 13).
Kemudian pengaturan diri dalam perspektif sufistik atau ajaran tarekat banyak kesamaanya dengan sabar. Sabar menurut Dzun Nun Al Mishri, berarti menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersifat tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran di medan penghidupan. Sedangkan menurut Ibnu Atha’, yang di maksud sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap berperilaku baik (Abul Qosim,2002: 259).
Banyak Ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk selalu bersabar, antara lain, Ayat 200 Surat Ali ‘Imran: “ Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu”.
Kesabaran ada beberapa macam. Pertama adalah bersabar untuk menjauhi larangan Allah, seperti berzina, mabuk, berjudi, mencuri, dan korupsi. Kedua adalah sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, memeliharanya terus-menerus, menjaganya dengan ikhlas dan memperbaikinya dengan pengetahuan. Dalam Islam ada perintah menjalankan ibadah, seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Kemudiaan ada perintah berlaku jujur, membantu sesama yang lemah dan sebagainya. Ketiga adalah sabar ketika menghadapi musibah, seperti kematian kecelakaan, usaha bangkrut, di pecat dari pekerjaan, di fitnah, dan sebagainya. Orang harus bersabar dalam menghadapi musibah, karena musibah merupakaan cobaan dari Allah, apakah ia dapat menjalaninya dengan sabar atau berberkeluh kesah. Kemudian harus ingat bahwa nikmat yang telah di terima dari Allah selama ini masih lebih besar dari pada musibah yang menimpanya (Sudirman Tebba, 2003: 14 - 15).
Lalu motivasi dalam perspektif sufistik atau ajaran tarekat banyak kesamaanya dengan raja’ (optimisme). Sebab pengertian raja’ (harapan atau berharap), menurut Syaikh Abdul Qosim (2002: 178) adalah ketergantungan hati kepada sesuatu yang di cintainya yang akan terjadi di masa yang akan datang, sehingga raja’ akan membawa implikasi terhadap hal yang di cita-citakan di masa yang akan datang. Dengan raja’ maka hati akan bisa menjadi hidup dan merdeka.
Raja’ juga berarti sifat optimistis serta berharap untuk mendapatkan rahmat Allah SWT atau berharap mendapatkan kesejahteraan di dunia dan keselamatan di akherat. Sikap raja’ atau optimisme dalam kehidupan dunia berarti berharap untuk mendapatkan kesejahteraan yang baik, seperti rizki yang banyak, kedudukan yang tinggi, menjadi orang yang berkuasa. Untuk mencapai hal ini orang harus bekerja keras dengan cara yang halal. Sedangkan sikap raja’ terhadap kehidupan akherat adalah dengan berharap mendapatkan ampunan dan rahmat Allah, oleh karena itu ia harus selalu bertaubat dan selalu melakukan perbuatan yang baik ketika masih di dunia. Orang yang tidak mau berikhtiyar, tetapi mengharapkan taraf kehidupan yang baik, tidaklah di sebut raja’ tetapi tamanni (berangan-angan). Orang harus memiliki raja’ dan tidak boleh tamanni (Sudirman Tebba, 2003: 15-16).
Kemudian mengenai empati dalam perspektif sufistik atau ajaran tarekat bararti mempunyai sikap Itsar. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Juz Tiga, karangan Imam Al Ghozali (tanpa tahun: 251) di sebutkan bahwa itsar berarti sikap dermawan terhadap harta benda walaupun dia sendiri membutuhkan. Sikap dermawan merupakan sikap yang mau menyerahkan barang kepada orang yang membutuhkan maupun yang tidak membutuhkan. Memberikan barang ketika dirinya sendiri lebih membutuhkan ini lebih berat dari pada ketika dirinya tidak sedang membutuhkanya. Dan inilah yang di sebut dengan itsar.
Itsar juga berarti lebih mengutamakan orang lain dari pada dirinya. Karena itu itsar sebenarnya lebih sekedar empati, yaitu lebih dari sekedar merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain (Sudirman Tebba, 2003: 16). Dengan sifat itsar maka kecerdasan sosial juga akan tumbuh, sehingga jika hal ini di miliki oleh setiap manusia maka kehidupan dalam masyarakat akan semakin membaik.
Lalu tentang ketrampilan sosial dalam perspektif sufistik atau ajaran tarekat ada kesamaan dengan konsep syaja’ah. Secara harfiyah syaja’ah berarti berani, maksudnya berani melakukan tindakan yang benar. Tetapi sikap berani haruslah di sertai pertimbangan yang matang dan pikiran yang tenang. Hal ini sesuai dengan ucapan Nabi Muhammad SAW: “ Bukanlah pemberani orang yang kuat berkelahi, sesungguhnya pemberani itu adalah orang yang sanggup menguasai hawa nafsunya di kala marah”(HR. Bukhori Muslim).
Sikap berani dapat di lihat pada stabilnya pikiran seseorang ketika menghadapi bahaya. Ia tetap melakukan pekerjaan dengan hati yang teguh dan akal yang sehat serta tidak gentar menghadapi ancaman dan celaan dari orang lain sebagai konsekwensi tindakanya. Hal ini sudah di praktekkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat beliau ketika menyebarkan Islam (Sudirman Tebba, 2003: 16).

1.2. SQ (Emotional Quotient) dalam Perspektif Ajaran Tarekat
Sebelumnya telah di jelaskan bahwa kecerdasan spiritual memiliki indikasi dan unsur-unsur pembangunya yang nampak pada sifat dan karakteristik yang terdapat pada diri seseorang, seperti kejujuran, komunikatif, mengenal motif dirinya sendiri, berkesadaran yang tinggi, memanfaatkan serta mentransendenkan kesulitan.
Di lihat dari perspektif sufistik ataupun ajaran tarekat ciri-ciri kecerdasan spiritual itu juga terdapat dalam ajaran tarekat, antara lain motif yang dalam kesadaran yang tinggi dan sikap responsive terhadap diri menurut ajaran tarekat dapat di wujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah.
Tafakkur berarti perenungan, yaitu merenungkan ciptaan Allah, kekuasaan-Nya yang nyata dan tersembunyi serta kebesaranya di langit dan bumi. Tafakkur sebaiknya di lakukan setiap hari, terutama pada tengah malam. Karena tengah malam merupakan saat yang paling baik, lengang, jernih dan tepat untuk pensucian jiwa.
Ketika bertafakkur kita di anjurkan untuk merenungkan karunia, kemurahan dan nikmat yang telah di limpahkan oleh Allah SWT. Tafakkur mengenai nikmat Allah akan mendorong kita untuk selalu mensyukuri dan menyibukkan diri dengan ibadah dan amal sholeh sebagai wujud kecintaan kepada Allah SWT, sehingga nantinya kita akan mampu melakukan hubungan, baik secara vertikal maupun horiazontal (Sudirman Tebba, 2003: 123-24).
Kemudian ciri-ciri kecerdasan spiritual yang lain menurut ajaran tasawuf atau tarekat juga di kembangkan dengan cara uzlah. Abdul Qosim (2002: 135), mengatakan uzlah secara esensial berarti menghindarkan diri dari perilaku yang tercela, sedangkan urgensinyanya dapat di realisasikan untuk menggantikan berbagai sifat (tercela di ganti dengan sifat yang baik) bukan untuk menjauhkan diri dari tanah air (dunia). Dalam konteks seperti ini dapat di ajukan pertanyaan, siapakah orang yang makrifat itu? jawabanya adalah orang yang selalu ada tetapi jauh, yang berarti ia selalu bersama dengan orang lain tetapi hatinya jauh dari mereka.
Ciri kecerdasan spiritual tentang kemampuan mentransendenkan penderitaan menurut tasawuf ataupun ajaran tarekat dapat di lakukan misalnya dengan sikap tawakal dan ridho. Tawakal berarti berserah diri, maksudnya berserah diri kepada keputusan Allah terutama ketika melakukan suatu perbuatan atau ikhtiyar. Jadi tawakal harus di dahului oleh ikhtiyar untuk memenuhi suatu keperluan. Misalnya untuk hidup layak orang harus bekerja keras melakukan pekerjaan yang halal. Bagaimana hasilnya, sukses ataupun gagal, bahagia atupun sengsara, sepenuhnya di serahkan kepada Allah SWT (Sudirman Tebba, 2003: 25).
Ridho berarti senang, maksudnya senang menjadikan Allah sebagai Tuhanya, senang kepada ajaran dan takdirnya, bahagia atupun sengsara. Menurut Abdur Rahman Ad-Daram sebagaimana yang di kutip oleh Abdul Qosim (2002: 275), apabila hamba meninggalkan syahwat, maka dia adalah orang yang ridho. Lebih lanjut menurut Ibnu Atho’ nafsu akan di dahului oleh buruknya budi pakerti dan oleh karena itu seorang hamba di perintahkan agar terus-menerus berbudi pakerti yang baik.
Lalu ciri kecerdasan spiritual tentang kemampuan menentang atau berbeda dengan orang banyak dapat di kembangkan dengan sikap saja’ah. Sikap saja’ah berarti mempunyai sikap pemberani, maksudnya berani melakukan tindakan yang benar walaupun harus menanggung resiko yang berat. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang mengatakan “ berani karena benar takut karena salah”, dan ucapan Rasulullah yang artinya “katakanlah yang haq (benar) walaupun pahit rasanya”.
Kemudian ciri kecerdasan spiritual tentang keengganan mengganggu dan menyakiti ada kesamaanya dengan sikap shidiq dalam tasawuf. Shidiq berarti benar dan jujur, maksudnya benar dan jujur dalam perkataan dan perbuatan. Membiasakan benar merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan, dan bersikap benar juga merupakan nilai hidup yang sangat penting dalam hubungan sesama manusia dan alam, sekaligus menjadi sendi kemajuan manusia sebagai pribadi dan kelompok.
Mengenai ciri kecerdasan spiritual tentang memperlakukan Agama secara cerdas hal ini sesuai dengan tasawuf, karena ajaranya mencakup dimensi esoteris atau batiniyah Agama, yaitu perbuatan hati seperti sabar, ikhlas, sederhana, adil dan semacamnya. Perbuatan hati bersifat universal melintasi batas-batas Agama.
Akhirnya, ciri kecerdasan spiritual tentang memperlakukan kematian secara cerdas ini juga sesuai dengan ajaran tasawuf. Dengan berdasarkan Al Qur’an tasawuf atau tarekat mengajarkan bahwa kematian harus di ingat dan bekal ibadah maupun amal sholeh haruslah di persiapkan ketika masih ada di dunia, karena kematian itu pasti di alami oleh semua orang dan pembalasan baik-burukpun pasti akan ada ketika di akherat kelak (Sudirman Tebba, 2003: 26-27). Semua penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya pengamalan ajaran tarekat atau tasawuf, dapat meningkatkan potensi SQ (Spiritual-Quotient), karena keduanya memiliki perspektif dan pendekatan yang sama.

2. Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dalam Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) Masyarakat Muslim di Era Modern
Sebagaimana yang telah di jelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa amalan dari tarekat Qodiriyah secara khusus adalah dzikir jahr dengan lafadz laa ilaha illaah setiap selesai sholat wajib lima waktu sebanyak 165 secara istiqomah (terus menerus). Sedangkan amalan Tarekat Naqsabandiyah secara khusus adalah dzikir sirri dengan kalimat Allah secara istiqomah dan terus menerus, sehingga setiap nafasnya selalu terlewati oleh kalimah Allah tersebut.
Apabila kalimat tauhid, sebagaimana yang di ajarkan oleh tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah tersebut benar-benar di amalkan dan telah meresap ke dalam sanubari seseorang serta ia yakin sepenuhnya akan kebenaranya, maka secara otomatis potensi kecerdasan emosional maupun spiritualnya akan meningkat, karena ia akan mampu untuk melakukan hubungan, baik secara vertikal (antara manusia dengan Tuhanya) maupun horizontal (manusia terhadap dirinya sendiri, manusia dengan manusia yang lainya, dan manusia dengan alam sekitarnya).
Setiap orang pasti akan hidup dengan orang lain, melakukan hubungan dan kerjasama dengan mereka. Oleh karena itu mereka tidak akan pernah bisa dipisahkan, karena mereka saling membutuhkan dan mendukung untuk kesuksesan dalam mengarungi kehidupanya. Dalam hal ini haruslah di bangun kehidupan bermasyarakat yang baik, yang maasing-masing anggota masyarakatnya mempunyai kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual yang tinggi.
Organisasi masyarakat adalah suatu kemestian bagi jenis manusia (al ijtima’u dloririyyun li an-naw’i al insani). Tanpa itu wujud umat manusia tidaklah sempurna. Tanpa organisasi masyarakat keinginan Tuhan yang hendak memakmurkan dunia dengan makhluk manusia dan menjadikan mereka khalifah-khalifahnya di bumi ini tentulah tidak akan terbukti (Osman Raliby, 1978: 139).
Islam memandang masyarakat adalah suatu bentuk kumpulan manusia serta memiliki suatu tujuan. Tujuan dari masyarakat Islam adalah terbentuknya masyarakat yang adil, makmur yang berdasarkan asas ketaqwaan kepada Allah SWT. Ketaqwaan tersebut menjadi kunci bagi pelapisan manusia dalam system masyarakat dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur. Dalam mencapai kerangka dasar ketaqwaan tersebut, Islam mempunyai metode penanaman mental yang harus di miliki oleh individu sebagai anggota masyarakat (Koentjoroningrat, 1990: 133).
Di dalam Islam secara tegas di nyatakan bahwa manusialah yang memegang peran menentukan kondisi dunianya. Apapun yang terjadi di masa depan amat bergantung kepada manusia yang oleh Allah telah di tetapkan sebagai pengelola bumi, sehingga akan menentukan kondisi masyarakat dan lingkunganya (Fuad Amsyari, 1993:26), oleh karena itu harus melaksanakan tuntunan (syariat) agama, selain itu sangat dibutuhkan masyarakat yang mempunyai akhlak yang baik.
Dengan memegang syari’at Agama secara kuat dan selalu berakhlak yang baik maka manusia akan mampu mencapai kehidupan yang bahagia, sejahtera, mendapatkan ampunan dan keridho’an dari Allah SWT sebagai Tuhan yang menciptakanya. Hal ini sebagaimana yang di katakan oleh Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, M.A. (2005: 262) bahwa:
Manusia dalam kehidupanya sehari-hari haruslah melakukan apa yang di suruh Allah SWT dan menjauhi perbuatan yang di larang Allah secara sadar dan taat, atas dasar keimanan dan ketakwaan adalah manusia yang telah menjalankan hukum Allah dan dengan sendirinya adalah manusia yang baik di mata Allah. Ia adalah manusia yang berakhlak baik dan mulia oleh karenanya mendapatkan ampunan dan keridhoaan Allah. Dengan demikian manusia yang baik itu merupakan tujuan akhir atau ultimate goal dari akhlak dan sekaligus menjadi target hukum syara’.

Tatanan kehidupan masyarakat yang begitulah yang sebenarnya sangat di butuhkan dan memang harus ada. Namun kondisi demikian sepertinya sulit di lakukan untuk zaman seperti saat ini yang semakin menglobal dan semakin memudarnya ajaran-ajaran keagamaan.
Saat ini masyarakat telah berada di zaman modern. Zaman yang telah mengalami perubahan-perubahan secara menyeluruh dan cepat. Masyarakat modern adalah masyarakat yang mengalami proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja yang baru yang rasional dan ilmiyah serta bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.
Ketika dunia sudah masuk dalam sistem global dan masyarakat tidak menyadari akan sistem global tersebut, maka mereka harus siap menjadi tumbal modernitas. Karena memang kompetisi di dunia modern tidak banyak mengenal relasi-relasi persaudaraan. Masyarakat juga akan di katakan modern jika mereka sadar akan resiko-resiko globalisasi. Dan sebagai ciri masyarakat modern adalah membangun peradaban masyarakat rasional dengan bertingkah laku serta menggunakan kesadaran. Semua perbuatan di era ini beresiko, temasuk resiko globalisasi dan tatanan dunia yang akan menggilas manusia kapanpun (Amir Syarifuddin, 2005: 261).
Sebenarnya standard yang di gunakan dalam mengetahui sejauh mana suatu masyarakat di kategorikan sebagai masyarakat modern tidaklah pasti, tinggal bagaimana dan dari sisi apa pengertian tersebut di berikan. Indikator masyarakat modern menurut Nur Cholis Majid (1993: 171-173) adalah:
1. Terjadinya perubahan yang berstatus quo menjadi tidak berstatus quo.
2. Terjadinya perubahan sosial yang menyertai proses industrialisasi.
3. Terjadinya perubahan cara berfikir seseorang dalam melihat masalah.
4. Masyarakat bersifat terbuka terhadap perubahan, persoalan yang ada.
5. Terjadinya kemajuan dalam bidang tekhnologi, sains dan pengetahuan.
6. Seseorang sangat menghargai waktu dan beranggapan waktu adalah uang.
Kehidupan masyarakat modern, sangatlah berbeda dengan kehidupan sebelum era modern. Salah satu yang menandainya adalah perubahan yang terus menerus dan arus globalisasi yang semakin tidak terkendali. Walaupun berbagai perubahan tersebut banyak membawa manfaat namun tidaklah sedikit dari pengaruhnya justru mengarah kepada hal-hal yang negatif, bahkan akan menghancurkan umat manusia itu sendiri. Hal ini sangatlah mungkin terjadi jika semua kemajuan tersebut tidak di iringi dengan kemajuan dalam bidang Agama dan pencerahan spiritual.
Sebagai umat yang memegang ajaran yang benar, seorang muslim haruslah mampu menyikapi globalisasi dan kemajuan zaman ini dengan sikap yang benar pula, yaitu: pertama, menghadapi globalisasi secara aktif dengan arti menempatkan dirinya sebagai subjek dalam globalisasi itu. Dalam bidang agama umpamanya ia mampu memperkenalkan ketinggian nilai agama keseluruh penjuru dunia, sehingga agama itu di terima dunia sebagai penyelesai kemelut yang melanda dunia. Demikian pula dalam bidang budaya, ia mampu menjadikan budaya negeri yang agamis ini menjadi budaya global.
Kedua, menghadapi globalisasi secara pasif, dalam arti ia menempatkan dirinya sebagai objek dari globalisassi dan dalam kedudukan itu ia berusaha untuk memperkecil atau menghilangkan dampak negatif yang mungkin timbul dari globalisasi itu. Dalam konteks ini berusaha memanfaatkan sebanyak mungkin dampak positif yang terdapat dalam arus globalisasi (Amir Syarifuddin, 2005: 11).
Yang pasti dan tetap harus di miliki oleh umat Islam di zaman modern ini adalah mereka harus melaksanakan tuntunan (syariat) Agama dengan sebenar-benarnya, selain itu sangat di butuhkan adanya masyarakat yang mempunyai akhlak yang baik (baik akhlak individu maupun akhlak sosial) yang salah satunya di bangun melalui suatu jalan yaitu tarekat. Dengan pengamalan tarekat inilah akidah mereka akan tetap kuat walaupun mereka berada pada zaman yang boleh di katakana rusak.
Pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah khususnya, menekankan pengajaran dzikir yang di lakukan secara istiqomah atau kontinyu dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu yaitu laa ilaaha illallah (di lakukan dengan suara keras) dan lafadz Allah (di lakukan dengan sirri atau dalam hati). Dengan dzikir inilah mereka akan mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.
Rasulullah SAW memberikan ilustrasi bahwa orang yang berdzikir ibarat orang yang hidup dan orang yang tidak berdzikir ibarat orang yang mati. Orang hidup adalah orang yang pekerja, produktif, proaktif, kreatif serta sensitife terhadap nilai-nilai hidup. Lain halnya dengan orang mati, selalu mengandalkan orang lain untuk di kasihi, dan tidak ada lagi upaya-upaya dalam kehidupan, tidak sensitif apalagi kreatif.
Begitulah, orang yang berdzikir adalah seseorang yang hidup hatinya, jernih fikiranya dan selalu beramal positif. Aktifitasnya selalu di warnai nilai kemaslahatan dan kemanfaatan bagi dirinya dan orang lain (Idris Abdul Shomad, 2005: 35).
Dalam hal ini berarti seseoarang yang mengamalkan dzikir dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah akan memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersamaan. Hal ini karena mereka akan mampu mewarnai segala sesuatu dengan nilai kemaslahatan dan kemanfaatan bagi dirinya dan orang lain.
Lebih lanjut DR. H. M. Idris Abdul Shomad, MA (2005: 29-39), menyebutkan bahwa fungsi dan fadhilah dzikir sangat besar sekali, baik bagi diri orang yang berdzikir sendiri, hubungan dirinya dengan orang lain dan lebih-lebih hubungan dirinya dengan Allah SWT. Di antara fungsi dan fadhilah dzikir adalah sebagai berikut:
1. Dzikir merupakan perintah Allah, sekaligus sebagai media taqarrub kepada Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Al Baqarah: 152” Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu”.
2. Dzikir merupakan indikasi insan Ulul Albab (orang yang berakal), hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Ali Imran: 190-191:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

3. Dzikir sebagai penenang jiwa, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS. Ar Ra’d: 28 yang artinya: “ yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.
4. Dzikir sebagai saran tazkiyah an-nafs (pensucian jiwa). Hati ibarat panglima, jika panglimanya baik maka prajuritnya akan menjadi baik. Sebaliknya bila panglima adalah orang yang busuk, maka prajuritnya akan menjadi busuk, sebusuk panglimanya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits “ketahuilah dalam diri kamu ada sekerat daging, jika ia baik maka akan baik seluruh anggota badan. Sebaliknya, jika rusak maka akan rusaklah seluruh anggota badanya, ketahuilah sekerat daging tersebut adalah hati”. Oleh karena itu hendaknya hati seseorang selalu di isi dengan dzikir dan ingat kepada Allah SWT, sehingga seluruh amal dan tingkah lakunya menjadi baik.
5. Dengan melakukan dzikrullah akan memperoleh ampunan Allah SWT, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al Ahzab: 35: “Sesungguhnya orang-orang muslim laki-laki dan perempuan…………yang banyak berdzikir, Allah sediakan untuk mereka maghfirah (ampunan) dan pahala yang besar”.
6. Memperoleh segala kebajikan dari sisi Allah SWT.
7. Memudahkan pengamalan dan pelaksanaan ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh. Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW seraya bertanya: “Ya Raasulullah, ajaran Islam melimpah banyak, beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat (memudahkanku) mengamalkan ajaran Islam tersebut. Nabi menjawab: basahilah selalu lidahmu dengan dzikrullah” (HR. Tirmidzi).
8. Memperoleh taufik, inayah dan kesertaan Allah SWT dalam setiap waktu-waktunya, sehingga ia akan senantiasa melakukan perbuatan yang baik dan terjaga dari semua perbuatan jelek.
9. Memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
Itulah berbagaimacam fungsi dan faedah dari dzikir. Yang pada intinya seseorang yang berdzikir dapat memberikan manfaat baik bagi diri orang yang berdzikir sendiri, hubungan dirinya dengan orang lain dan lebih-lebih hubungan dirinya dengan Allah SWT. Hal ini berarti orang yang mengamalkan dzikir dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, mereka mempunyai kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Selain pengajaran dzikir dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, dalam tarekat ini juga di ajarkan berbagai macam cara membangun akhlak individu dan akhlah sosial, antara lain melalui taubat, mujahadah, khalwah dan uzlah, taqwa, wara’, zuhud, diam, takut, raja’, itsar, qona’ah, syukur, tawakal, yakin, sabar, ridho, muroqobah, istiqomah, sidiq, dzikir, mahabah, dan lain-lain. Ajaran-ajaran inilah yang akan membuat seseorang memiliki ESQ atau kecerdasan emosi dan spiritual yang tinggi, karena sebenarnya ajaran yang ada dalam tarekat ini juga memberikan bimbingan untuk mengenal dan memahami perasaan kita sendiri, dan perasaan orang lain, memotifasi diri mengelola emosi dalam hubungannya dengan dirinya maupun dengan orang lain yang di landasi hubungan manusia dengan Tuhanya. Sehingga konsep dari pengamalan ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah sebenarnya dapat menumbuhkan potensi ESQ seseorang.
Hal inilah yang antara lain akan menumbuhkan sifat dan sikap yang harus di miliki oleh setiap manusia dalam mencapai keberhasilan dan kebahagiaan yang hakiki. Sifat dan sikap itu antara lain:
1. Kekuatan Prinsip
Kekuatan prinsip ini telah di contohkan oleh sahabat Bilal r.a, ketika beliau di paksa untuk kembali kepada ajaran nenek moyangnya, namun beliau menolak dan tatap berpegang kepada kebenaran yaitu ajaran tauhid walaupun beliau harus di siksa. Kekuatan prinsipnya sangat besar dalam memegang kalimat “Ahad..Ahad”. Dalam kondisi bagaimanapun dia tetap percaya bahwa kebenaran akan selalu bersamanya untuk menang. Melalui kekuatan prinsipnya Bilal mampu mengeluarkan dan memisahkan antara (fisik) yang terbatas dan terbelenggu dan hatinya yang bebas, yang akhirnya bilal mendaptkan keberhasilan dan kebenaran yang hakiki. Dan inilah yang akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan baik di dunia maupun di akherat (Ary Ginanjar Agstian, 2001: 6).
2. Bangga dan percaya diri.
Seseorang yang mantap imanya dan mengetauhui makna tauhid niscaya mereka akan sangat bangga dan percaya diri menjadikan Islam sebagai agamanya dan mengamalkan seluruh ajaranya. Kandungan pengertian kalimah toyyibah (laa ilaaha illallah) merupakan proklamasi kemerdekaan martabat kemanusiaan yang nilainya jauh lebih dari Deklaration of human Right yang di agung-agungkan oleh Negeri Barat (Ary Ginanjar, 2001: 78-79).
3. Mempunyai ketangguhan pribadi.
Ketangguhan pribadi adalah ketika seseorang berada pada posisi atau dalam keadaan telah memiliki pegangan atau prinsip hidup yang kokoh dan kuat. Dengan ketangguhan pribadi yang kuat maka seseorang dapat mempunyai kemampuan dalam penetapan misi, pembangunan karakter, pengendalian diri. Ia mampu keluar dari dalam diri, untuk melihat dirinya sendiri dari luar, sehingga mampu bersikap adil dan terbuka pada dirinya dan orang lain. Itulah ketangguhan
pribadi yang di hasilkan apabila hanya berpegang kepada Allah, dan tidak ada Illah lain baginya yang menjadi gantungan hidupnya (Ary Ginanjar, 2001: 177).
4. Mempunyai ketangguhan sosial.
Apabila seseorang memegang ajaran agama Islam dengan kuat, maka dirinya akan terlatih untuk berperilaku dan memiliki ketangguhan sosial yang tinggi. Karena antara lain, dalam ajaran Islam di perintahkan untuk zakat, puasa, shodaqoh dan lain-lain. Semua ajaran tersebut merupakan pelatihan yang nyata dalam memelihara lingkungan sosial dengan prinsip memberi, merasakan yang di rasakan orang lain, sehingga tercipta suatu sinergi. Sinergi adalah kerjasama antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang lain atau dengan kelompok lainya dengan menghargai perbedaan yang ada (Ary Ginanjar, 2001: 239).
Konsep-konsep ajaran Islam inilah apabila di pegang kuat oleh umatnya, maka ia akan mempunyai kecerdasan dalam berbagai bidang kehidupan baik mencakup emosional maupun spiritual. Dan konsep-konsep ajaran yang ada dalam Islam ini sebenarnya lebih tinggi nilainya dan aplikatif pelaksanaanya di bandingkan dengan konsep yang di bangun oleh barat.




BAB III
METODE PENELITIAN


A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengungkapkan beberapa bentuk upaya peningkatan potensi Kecerdasan Emosional-Spiritual (ESQ) melalui pengamalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang secara menyeluruh dan apa adanya, melalui pengumpulan data dari latar alami, yaitu tempat proses pelaksanaan Tarekat itu berlangsung, dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penulis juga mengumpulkan data pendukung dari informan luar antara lain, dari masyarakat sekitar. Hal ini penulis lakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pengamalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah mempunyai pengaruh dalam meningkatkan potensi Emotional-Spiritual Quotient (ESQ) yang hal itu sangat di perlukan bagi masyarakat muslim di Era yang Modern seperti saat ini. Hasi dari penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis, pesantren dan masyarakat luas.
Segala prosedur aktifitas penelitian yang penulis lakukan untuk menyusun skripsi ini, menunjukkan bahwa penulis telah menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, seperti dikutip Moleong (2002: 3), definisi
pendekatan penelitian kualitatif adalah: “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
Pengertian yang serupa, dikemukakan oleh Furchan. Menurutnya, pendekatan penelitian kualitatif adalah: “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri” (Arief Furchan, 1992: 21-22).
Sifat khas penelitian lapangan dengan metode kualitatif adalah terbuka, tak terstruktur dan fleksibel. Terbuka, maksudnya dalam medan yang diamati terbuka peluang memilih dan menentukan fokus kajian. Tak terstruktur artinya sistematika fokus kajian dan pengkajiannya tidak dapat disistematisasikan secara ketat dan pasti. Dan fleksibel maksudnya adalah dalam proses penelitian, peneliti bisa memodifikasi rincian dan rumusan masalah maupun format-format rancangan yang digunakan (Arikunto, 2002: 9).

Ada tiga alasan mengapa penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu:
(1) Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda.
(2) Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, sehingga di harapkan peneliti akan dapt memperoleh hasil penelitian secara lebih valid.
(3) Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2002: 5).

2. Jenis Penelitian
Apabila dilihat dari segi tempat penelitian, penelitian termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research), yang berusaha meneliti atau melakukan studi terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat secara langsung (Arikunto, 2002: 9).
Bila dilihat dari sudut pandang bidang keilmuan, penelitian yang penulis lakukan dalam upaya menyusun skripsi ini termasuk dalam jenis penelitian pendidikan. Tujuan dilakukannya penelitian pendidikan adalah untuk menemukan prinsip-prinsip umum atau penafsiran tingkah laku yang dapat dipakai untuk menerangkan, meramalkan, dan mengendalikan kejadian-kejadian dalam lingkungan pendidikan (Arief Furchan, 1982: 45).
Meskipun dinamakan penelitian pendidikan bukan berarti penelitian ini hanya di lingkungan sekolah saja, tetapi “… dapat juga dilakukan di lingkungan keluarga, di masyarakat, di pabrik, di rumah sakit dan lain-lain, asal semuanya mengarah tercapainya tujuan pendidikan” (Arikunto, 2002: 9).
Sementara jika ditinjau dari sudut kemampuan atau kemungkinan suatu penelitian dapat memberikan informasi atau penjelasan, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Pengertian penelitian deskriptif menurut Sumanto seperti dikutip Asrof Safi’i (2000: 18) adalah: “penelitian yang dilakukan untuk mendiskripsikan dan menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang”.
Sedangkan menurut Sudjana dan Ibrahim, penelitian deskriptif adalah: “penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang” (Nana Sudjana dan Ibrahim, 1989: 64).
Peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan upaya peningkatan potensi Emotional-Spiritual Quotient (ESQ) melalui pengamalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang.
Dalam jenis penelitian deskriptif, ada empat tipe penelitian yaitu survei, studi kasus, penelitian korelasional (asosiatif) dan penelitian kausal. Penelitian yang penulis lakukan masuk dalam tipe kedua yaitu studi kasus, artinya ialah: “kajian yang rinci atas suatu latar, atau satu orang subyek, atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu” (Robert C. Bogdan dan S Knopp Biklen, 1990: 72-73).
Studi kasus ini penulis arahkan kepada upaya peningkatan potensi Emotional-Spiritual Quotient (ESQ) melalui pengamalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang. Penulis yang juga peneliti berusaha mempelajari upaya-upaya peningkatan tersebut secara mendalam, kemudian menganalisanya secara cermat dan rinci.

B. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti dalam penelitian ini sangatlah utama, hal ini seperti yang dikatakan Moleong bahwa dalam penelitian kualitatif: “peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama” (Moleong, 2002: 4). Berdasarkan pendapat tersebut untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, penulis ditemani kolega terjun langsung dan membaur dalam komunitas subyek penelitian. Instrumen pengumpulan data lain yang penulis gunakan sebagai perekam data adalah buku catatan, bolpoin, dan kamera.
Peran sebagai instrumen utama dalam proses pengumpulan data, penulis realisasikan dengan mengamati dan berdialog secara langsung dengan beberapa pihak dan elemen yang berkaitan langsung. Dalam memperoleh informasi, penulis sesungguhnya secara tidak langsung sudah dimulai sekitar dua setengah tahun yang lalu karena penulis sendiri berdomisili di tempat penelitian sejak saat itu, oleh karena itu data yang di peroleh nanti di harapkan merupakan data yang validitasnya dapat di pertanggung jawabkan. Objek penelitian bagi penulis bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena penulis selalu berkaitan dengan objek penelitian itu. Dan inilah yang nantinya akan menghasilkan data hasil penelitian yang benar-benar valid.
Dalam proses pengumpulan data, penulis juga mewawancarai beberapa elemen yang mempunyai hubungan dengan penelitian tersebut, yaitu dari pihak Mursyid Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah yaitu Al Mukarom KH. Abdurrahman Yahya yang selalu memberikan bimbingan kepeda seluruh jama’ahnya, masyarakat yang mengamalkan tarekat ini, santri sebagai pengamal tarekat dan selalu berhubungan langsung dengan nuansa kehidupan yang religi, dan seluruh pihak-pihak yang dapat di jadikan sebagai sumber data, hal ini di lakukan secara berkala. Waktu yang penulis gunakan beragam, dan direncanakan secara sistematis. Terkadang dengan suasana santai bahkan kadangkala juga secara resmi (formal).
Selama di lapangan, penulis telah melakukan pengamatan berperan serta. Sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh Bogdan sebagaimana dikutip oleh Moleong dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif, bahwa pengamatan berperan serta adalah: “penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu yang cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan” (Moleong, 2002: 117).

C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini, penulis lakukan pada sebuah lembaga pendidikan Islam di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang (PPMH Malang) yang tepatnya terletak di jalan Gading Pesantren no:38 Klojen Malang.
Lokasi lembaga yang penulis jadikan sebagai lokasi penelitian ini berlangsung berlokasi cukup strategis karena mudah dijangkau dan karena dekat dengan jalan raya. Selain itu juga karena letaknya tepat di kawasan perkotaan, maka hal ini mendorong terjadinya akses perubahan dalam konteks transformasi zaman globalisasi sehingga dalam pengkajian tentang peningkatan potensi Kecerdasan Emosional-Spiritual (ESQ) masyarakat muslim melalui pengamalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ini sangatlah efektif dan penting di lakukan, karena potensi kecerdasan emosional dan spiritual inilah yang di zaman globalisasi seperti saat ini sangat di butuhkan.
Ada beberapa alasan mengapa penulis mengambil lokasi penelitian di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, yaitu:
1. Penulis saat ini bertempat tinggal di lokasi penelitian, hal inilah yang akan mendukung penulis untuk mendapatkan data yang valid. Selain itu penulis juga ingin mengetahui lebih dalam terhadap masalah penelitian tersebut. Sehingga nantinya hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat selain bagi penulis sendiri juga bagi pesantren dan masyarakat luas.
2. Lokasi Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ini sangat strategis yang berada di pusat perkotaan, lokasi yang mudah dijangkau dengan beberapa sarana transportasi sehingga mendorong terjadinya akses perubahan dan transformasi globalisasi yang pesat.
3. Bahwa Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang selain mengajarkan kurikulum pesantren salafiyah sebagaimana pondok pesantren yang lainya juga mengajarkan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah yang para pengikutnya selain santri juga masyarakat secara umum.
4. Sistem pengelolaan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ini tertata dan terorganisir dengan baik sehingga manfaat yang di dapat oleh para pengamal ajaran tarekat ini bener benar memberikan dampak positif baik bagi santri ataupun masyarakat secara umum.
D. Sumber Data
Menurut Arikunto (2002: 107), sumber data adalah: “subyek dari mana data dapat diperoleh.” Lofland dan Lofland, seperti dikutip oleh Moleong, menjelaskan bahwa: “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan, seperti dokumen dan lain-lain” (Moleong, 2002: 112).
Dalam penelitian yang penulis lakukan meliputi tiga unsur sumber data, yaitu:
1. People (orang), yang menghasilkan data berupa kata-kata dari hasil wawancara dan hasil pengamatan perilaku. Juga menghasilkan data berupa rekaman gambar (foto) dari hasil pengamatan perilaku. Di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang sumber data yang berupa orang adalah Mursyid Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Al Mukarom KH. Abdurrahman Yahya, masyarakat yang mengamalkan tarekat ini, santri sebagai pengamal tarekat dan selalu berhubungan langsung dengan nuansa kehidupan yang religi di pesantren itu, serta pengurus pesantren yang selalu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat formal.
2. Place (tempat), yang menghasilkan data berupa kata-kata dan rekaman gambar (foto) melalui proses pengamatan. Sumber data berupa tempat ini bisa berwujud sesuatu yang diam, misalnya masjid dan lainnya, serta sesuatu yang bergerak, misalnya jalan-jalan, dan prasarana lainnya.
3. Paper (kertas), yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar atau simbol-simbol lain yang untuk memperolehnya diperlukan metode dokumentasi. Sumber data ketiga ini, bisa berasal dari kertas-kertas (buku, majalah, dokumen, arsip, dan lain-lain), papan pengumuman, papan nama, dan sebagainya.

E. Metode Pengumpulan Data
Tidak ada satu penelitian pun yang tidak melalui proses pengumpulan data. Dalam proses pengumpulan data tersebut, ada banyak metode yang bisa digunakan, yang biasanya disesuaikan dengan jenis penelitiannya.
Dalam upaya mengumpulkan data sebanyak-banyaknya tentang peningkatan potensi Kecerdasan Emosional-Spiritual (ESQ) masyarakat muslim melalui pengamalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang sesuai dengan penelitian kualitatif yang penulis gunakan, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Metode Observasi
Menurut Riyanto, observasi adalah: “metode pengumpulan data yang menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian” (Riyanto, 2001: 96).
Sumiyarno (2000: 10) melengkapi penjelasan observasi dengan penjelasan:
Observasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari bukti terhadap fenomena (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda, dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi, dengan mencatat, merekam, memotret fenomena-fenomena tersebut guna penemuan data analisis.

Metode observasi ini penulis arahkan kepada Mursyid Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah yaitu KH Abdur Rahman Yahya dan wakil Mursyid KH Baidhowi Muslich, Masyarakat yang mengamalkan, para Santri, dan para pengurus Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang. Karena dari mereka itu, penulis dapat memperoleh data natural tentang upaya peningkatan mutu pelajaran umum yang sebenarnya. Data-data dari pengamatan tersebut berupa catatan lapangan. Penulis juga sempat mengabadikan beberapa peristiwa dan perilaku sumber data dan benda-benda tertentu untuk keperluan memperkuat data pengamatan yang berupa catatan lapangan.
Dalam observasi tersebut, penulis memilih jenis observasi berperan serta yaitu penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama, antara peneliti dan subyek dalam lingkungan subyek (Moleong, 2002: 117).
Sementara jika dilihat dari aspek-aspek yang diteliti, penulis menggunakan jenis pengamatan berstruktur, yakni peneliti telah mengetahui aspek apa dari aktifitas yang diamatinya, yang relevan dengan masalah serta tujuan penelitian dengan pengungkapan yang sistematik (M. Nazir, 1985: 219). Ini terjadi karena penulis telah menentukan tema penelitian yaitu tentang peningkatan potensi Kecerdasan Emosional-Spiritual (ESQ) masyarakat muslim melalui pengamalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang.

2. Metode Wawancara
Menurut Riyanto, wawancara adalah: “metode pengumpulan data yang menghendaki komunikasi langsung antara penyidik dan subyek atau responden” (Riyanto, 2001: 82). Sedangkan menurut Arikunto (2002: 135), wawancara atau kuesioner lisan adalah: “sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.” Di sini, penelitilah yang berperan aktif untuk bertanya dan memancing pembicaraan menuju masalah tertentu kepada sumber data atau informan, agar memperoleh jawaban dari permasalahan yang ada, sehingga diperoleh data penelitian.
Penulis menggunakan jenis wawancara tidak terstruktur. Ini penulis lakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam, khususnya menggali pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat guna menjadi dasar pengumpulan data lebih jauh. Wawacara itu penulis lakukan berdasarkan perhitungan waktu dan konteks, sehingga diharapkan akan mendapatkan data yang rinci, sejujurnya dan mendalam.
Untuk Wawancara yang di lakukan dengan Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Pon-Pes Miftahul Huda Malang, Masyarakat pengamal, para santri, dan para pengurus Pesantren yang penulis wawancarai, penulis terkadang lebih memilih tidak menyebutkan status penulis sebagai peneliti. Dan model wawancara dengan mereka selalu diawali dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjalin keakraban, baru kemudian secara sedikit demi sedikit penulis menanyakan hal-hal yang ingin diteliti mulai dari yang umum kemudian yang khusus. Penulis juga sering mengalihkan pembicaraan kepada hal-hal di luar permasalahan ketika situasi mulai terlihat serius. Ini penulis lakukan untuk menghindari kesan bahwa subyek sedang diteliti, yang bila hal itu terjadi, menurut penulis bisa mengurangi kejujuran sumber data dalam menyampaikan informasinya. Ketika wawancara dengan mereka, penulis memakai alat perekam untuk wawancara resmi, dan sama sekali tidak menggunakan alat perekam untuk wawancara biasa. Dalam kondisi ini penulis hanya menghafal inti pembicaraan.
Seperti halnya setelah melakukan observasi, setelah wawancara selesai, di tempat lain, penulis langsung membuat catatan lapangan (field note) berdasarkan inti-inti permasalahan yang penulis hafalkan dan juga dari catatan-catatan kecil ketika wawancara. Penulis membagi catatan lapangan tersebut menjadi dua bagian penting yaitu bagian deskriptif dan bagian reflektif (Bakri, 2002: 136). Bagian deskriptif berisi potret subyek, rekonstruksi dialog, deskripsi keadaan fisik tentang tempat dan bagian-bagian lain yang ada di sekitarnya, serta catatan tentang berbagai peristiwa khusus. Sedangkan bagian reflektif, berisi catatan dari sisi subyektif peneliti terhadap jalannya proses pengumpulan data yang bisa berupa refleksi analisis, refleksi metode, refleksi kerangka pikir dan refleksi masalah etis serta konflik.

3. Metode Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dasar dokumen. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia dokumen diartikan sebagai: “surat yang tertulis atau yang tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan” (Anton M. Moeliono, 1990: 211).
Metode dokumentasi menurut Riyanto adalah: “cara mengumpulkan data dengan mencatat data-data yang sudah ada” (Riyanto, 2001: 103). Sementara itu Arikunto (2002: 35) menyatakan bahwa: “dalam melakukan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya.”
Metode dokumentasi ini penulis gunakan untuk mendapatkan data dari beberapa sumber, antara lain: buku-buku, majalah pesantren, peraturan-peraturan pesantren, arsip-arsip dan dokumen pesantren, foto, catatan harian, dan hal-hal yang lain yang dapat di gunakan sebagai sumber data.

F. Analisis Data
Pengertian analisis data menurut Furchan (1992: 137) adalah: Proses yang memerlukan usaha untuk secara formal mengidentifikasikan tema-tema dan hipotesa (gagasan-gagasan) yang ditampilkan oleh data serta upaya untuk menunjukkan bahwa tema dan hipotesa tersebut didukung oleh data.
Pengertian yang senada disampaikan oleh Moelong. Menurutnya, analisis data adalah: “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian data, sehingga dapat ditentukan tema dan dapat ditentukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data” (Moleong, 2002: 103).
Ada dua prosedur analisis data yang penulis lakukan, yaitu analisis data selama pengumpulannya, dan analisis data setelah selesai proses pengumpulan datanya. Analisis data selama pengumpulannya sebenarnya hanyalah analisis awal dan biasa dilakukan dengan reduksi data. Tujuan dilakukan reduksi data adalah sebagai berikut:
a. Untuk menetapkan fokus penelitian, apakah tetap seperti yang telah direncanakan atau perlu dirubah.
b. Untuk menyusun temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul.
c. Untuk membuat rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya.
d. Untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya.
e. Untuk menetapkan sasaran-sasaran pengumpulan data (informasi, situasi dan dokumen) berikutnya. (Bakri, 2002: 176).
Langkah-langkah praktisnya yaitu pada setiap setelah selesai melakukan satu kali pengumpulan data, penulis membuat bagian refleksi dari bagian catatan lapangan, yang meliputi komentar dan memo. Dalam komentar dan memo tersebut akan terlihat temuan-temuan sementara dan eksistensi fokus apakah tetap atau perlu dirubah, rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan analitis yang muncul dari data yang sudah terkumpul, dan penetapan sumber data berikutnya.
Analisis data setelah pengumpulan data dilakukan dengan tiga langkah, yaitu pengembangan sistem kategori dengan pengkodean, penyortiran (pengelompokan) data dan penarikan kesimpulan (Bakri, 2002: 178). Setelah ini, data bisa disajikan.
Sebenarnya, kalau diperhatikan kategori ini sama dengan fokus penelitian yang penulis sampaikan dalam bab satu, ditambah dengan gambaran peningkatan yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh pihak lembaga. Langkah selanjutnya, kalimat-kalimat atau alenia-alenia dari setiap field note tadi diberi kode sesuai dengan kategori-kategori di atas, yang artinya bahwa kalimat-kalimat atau alenia-alenia yang telah diberi kode tadi disebut satuan data.
Pada tahap penyortiran data, penulis mengelompokkan satuan-satuan data tersebut menurut kategorinya dengan menuliskannya kembali dalam lembaran atau kertas baru. Secara teori, metode seperti ini disebut The File Card System (sistem kartu arsip). Dari tahap inilah kemudian tersaji paparan data dalam skripsi ini.
Pada tahap terakhir, yaitu penarikan kesimpulan penulis berusaha menarik kesimpulan dari sajian atau paparan data. Namun penulis mengkhususkan kepada kategori yang merupakan fokus penelitian penulis. Gambaran umum pada paparan data hanya berfungsi sebagai gambaran latar alamiah penelitian. Dalam skripsi ini, penarikan kesimpulan tersebut tersaji dalam bentuk temuan penelitian.
Dilihat dari langkah-langkah operasional yang penulis gunakan dalam menganalisis data, dapat disimpulkan bahwa penulis menggunakan metode analisis induktif. Dengan cara melakukan penelitian kemudian membentuk dalam bangunan teori hukum. Bukan dari teori yang telah ada melainkan di kembangkan dari data lapangan. Sebagaimana ditulis oleh S. Margono (2004: 38) dalam bukunya Metodologi Penelitian Pendidikan mengungkapkan bahwa:
Penelitian kualitatif tidak dimulai dari deduksi teori, tetapi dimulai dari fakta empiris. Penelitian terjun ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data di dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Dengan demikian, temuan penelitian di lapangan yang kemudian dibentuk ke dalam bangunan teori, hukum, bukan dari teori yang telah ada, melainkan dikembangkan dari data lapangan (induktif).

G. Pengecekan Validitas Data
Dalam upaya mendapatkan data yang valid atau sahih, penulis melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penelitian yang di lakukan dengan berdomisili di lokasi penelitian.
Posisi penulis sebagai instrumen utama dalam proses pengumpulan data, menuntut peran serta untuk terjun langsung ke lapangan. Penulis saat ini bertempat tinggal di Pondok Pesantren Miftahul Huda yang merupakan lokasi penelitian, oleh karena itu setiap hari penulis telah berhubungan langsung dengan masalah penelitian ini, sehingga data-data dan hasil yang di dapat mempunyai validitas yang dapat di pertanggung jawabkan.
Dalam penelitian ini, penulis sudah akrab dan dianggap saudara sendiri (seperti seprofesi) dari informan. Berhubung inilah, penulis sangat berhati-hati agar distorsi dari informan yang tidak disengaja (misalnya karena ingin menyenangkan peneliti, atau bahkan tidak semangat menanggapi penelitian), dan yang disengaja (misalnya berbohong, menipu, berpura-pura) secara tidak langsung bisa diminimalisir dengan akrabnya peneliti dengan informan.
2. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan validitas data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu, untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data itu (Moleong, 2002: 178). Ini merupakan cara yang paling populer dalam penelitian kualitatif. Dengan triangulasi ini, penulis mampu menarik kesimpulan yang mantap tidak hanya dari satu cara pandang, sehingga kebenaran data lebih bisa diterima.
Dalam prakteknya penulis mengunakan tiga macam triangulasi. Pertama, triangulasi sumber. Di sini penulis membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. Juga membandingkan isi dokumen dengan data hasil wawancara. Kedua, triangulasi metode. Caranya dengan menggunakan metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi untuk mengecek satu topik atau data yang sama. Ketiga, triangulasi teori. Sehingga akan menghasilkan tingkat pemeriksaan yang kompatibel.
3. Pembahasan Sejawat
Teknik pengecekan validitas data ini, bisa dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat (Moleong, 2002: 179). Pembahasan sejawat tersebut akan menghasilkan masukan dalam bentuk kritik, saran, arahan dan lain-lain, sebagai bahan pertimbangan berharga bagi proses pengumpulan data selanjutnya dan analisis data sementara serta analisis data akhir.

BAB 1V
HASIL PENELITIAN

A. Sejarah Umum Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang
Sesuai dengan dokumentasi yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang dan sesuai dengan hasil observasi yang penulis dapatkan di lapangan tentang sejarah pesantren ini, maka penulis akan uraikan sesuai dengan data tersebut.
Menurut kepala Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Kasri Malang, yaitu Bapak K.H Moh. Baidlowi Muslich (wawancara, 14 Februari 2006), bahwa Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang (yang lebih di kenal dengan sebutan Pondok Gading), sebagai Lembaga Pendidikan Islam bisa di kategorikan sebagai lembaga yang sudah berumur tua, karena mengingat segi umur dari pesantren ini yang sudah mencapai dua abad lebih. Pesantren ini didirikan oleh al-Maghfurlah K.H Hasan Munadi pada abad 18 M, tepatnya pada tahun 1768 M.
Pesantren yang sekarang berdiri megah itu, dahulunya berawal dari pendirian sebuah langgar (mushalla) yang kecil di depan rumah beliau. Dari langgar inilah berkembang menjadi pusat pengajaran agama Islam. Setelah keberadaan pendidikan Islam di tempat tersebut di kenal secara luas dan santri yang ikut mengaji semakin banyak, maka dibuatlah sebuah pesantren yang sangat sederhana yang keberadaannaya dipimpin sendiri oleh al-Maghfurlah K.H Hasan Munadi. Pondok Pesantren ini pada waktu itu hanya dikenal dengan sebutan Pondok Gading.
Sebagai pengasuh pertama beliau berjuang menyebarkan ajaran Islam melalui pesantren ini tidak kurang dari 90 tahun, beliau di karuniai oleh Allah umur yang panjang yaitu 125 tahun. Kemudian setelah beliau wafat estafet kepemimpinan pesantren ini di teruskan oleh putra-putra beliau.
Menurut wawancara yang penulis lakukan dengan K.H. Abdur Rahman Yahya, tanggal 15 Februari 2006, beliau mengatakan bahwa kepemimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda dari sejak di dirikan hingga sekarang ini, bila diurutkan secara kronologis maka sudah berlangsung empat generasi kepemimpinan, kesemuanya itu adalah sebagai berikut:
a. Generasi pertama
Pada generasi pertama ini adalah generasi pendiri yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren Miftahul Huda Malang. Pondok ini awalnya hanya di kenal dengan sebutan Pondok Gading Malang, yang pada tahun 1768-1858 dipimpin langsung oleh Al-Magfurlah K.H. Hasan Munadi. Beliau dikenal sebagai ulama alim yang karismatik. Beliau oleh Allah dikaruniai umur panjang sampai umur 125 tahun. Kyai yang mempunyai pengaruh besar dan karismatik tersebut berjuang menyebarkan agama Islam lewat pesantrennya selama 90 tahun.
b. Generasi Kedua
Generasi kedua Pondok Gading Malang dipimpin oleh putra K.H. Hasan Munadi, yaitu K.H Muhyiddin yang juga dikenal dengan nama K.H Ismail. Estafet kepemimpinan generasi kedua ini berlangsung pada tahun 1858-1908.
Dalam memimpin dan mengelola Pondok Gading Malang, beliau dibantu oleh kemenakannya, yaitu K.H Abdul Madjid. Dalam sejarahnya, K.H Ismail tidak memiliki keturunan. Itulah sebabnya beliau mengambil putri dari K.H Abdul Madjid sebagai putrinya yang kelak dinikahkan dengan K.H Muhammad Yahya. Beliau wafat pada usia 75 tahun setelah mengabdikan diri dalam penyiaran agama Islam selama 50 tahun. Generasi pertama dan kedua ini dalam penyebaran agama Islam telah dikenal oleh ulama luas, oleh karena itu karisma Pondok Gading Malang saat itu sudah tersebar luas dikalangan masyarakat karena keluhuran perilaku (akhlaq) Kyai Munadi dan Kyai Ismail.
c. Generasi Ketiga
Pada generasi ketiga ini Pondok Gading Malang dipimpin oleh K.H Muhammad Yahya, menantu dari K.H Ismail yang dinikahkan dengan putri angkatnya, yaitu Ny Siti Khadijah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1945 dan sejak itulah Pondok Gading diberi nama “Miftahul Huda”. Beliau juga orang yang pertama kali mengajarkan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di pesantren ini. Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang setelah dipimpin K.H Muhammad Yahya banyak mengalami perubahan dan kemajuan. Seiring dengan perkembangan zaman, maka beliau berani mengambil kebijakan baru yang belum pernah ada sebelumnya di pesantren ini, yaitu ketika beliau memberi restu dan ijin kepada santrinya untuk mengikuti pendidikan umum baik tingkat SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi, yang ada di luar pesantren.
Meskipun demikian ada fatwa penting dan prinsip yang dikeluarkan oleh beliau dalam melepas santri belajar di luar pesantren. Fatwa-fatwa itu begitu sederhana, namun hingga kini masih tetap di pegang kuat oleh pengasuh pondok dan para santri, di antaranya yaitu ”jangan sampai santri melupakan ngaji” (mengkaji ilmu agama yang ada di pesantren). Fatwa K.H Muhammad Yahya yang lain yang berkaitan dengan masalah keilmuan antara lain “Ojo nganti ono santri Gading sing ora mulang” (Jangan ada santri gading yang tidak mengajar). Maksudnya, setelah tamat dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang hendaknya mau mengajarkan ilmunya yang pernah diterima kepada orang lain, apapun kedudukan dan profesinya.
Setelah mengabdikan diri selam 36 tahun dalam mengasuh dan mengembangkan Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ini, Kyai yang alim sufi dan sekaligus mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini berpulang kerahmatullah tepatnya pada hari senin, tanggal 14 Syawal 1391 H atau bertepatan dengan tanggal 23 November 1971 Masehi sekitar jam 09.30 menyusul putranya, yaitu K.H Ahmad Dimyati Ayatullah Yahya yang telah mendahuluinya 37 hari sebelumnya.
Ketika KH. Muhamad Yahya masih hidup dalam melakukan perjuangan pengajaran Agama Islam dan pengamalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pesantren ini di bantu oleh putra tertuanya yaitu K.H Ahmad Dimyati Ayatulah Yahya. Selaku putra pertama, beliau adalah pembantu setia ayahandanya dalam mengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, disamping beliau juga sebagai pengasuh pesatren Darul Aitan, yaitu pesantren mertuanya K.H Abdul Sattar di Gondang Legi. Salah satu jasa peninggalan K.H Dimyati adalah menambah nama PPMH ini dengan “Lembaga Pembina Jiwa Takwallah” di samping itu juga mengadakan pembangunan secara fisik.
Adapun secara keseluruhan putra-putri K.H. Moh. Yahya bersama Nyai Hj. Khotdijah adalah Almarhum K.H Ahmad Dimyati Ayatullah Yahya, K.H Abdul Adzim Aminullah Yahya, Almarhum Gus Abdullah, K.H Abdur Rahim Aminullah Yahya, K.H Abdur Rahman Yahya, K.H Ahmad Arif Yahya, Nyai Khadijah binti Yahya, K.H. Muhammad Ghozali Yahya, Nyai Hj. Fatimah binti Yahya, Nyai Hj. Maryam binti Yahya, Nyai Dewi Aisyah binti Yahya.
d. Generasi Keempat
Pada generasi keempat ini, Pondok Pesantren Miftahul Huda dikelola oleh beberapa putra K.H Moh. Yahya dan menantu beliau, yaitu:
1. K.H Abdur Rahim Amrullah Yahya (lahir 1942), beliau adalah putra ke tiga dari KH. Muhamad Yahya dan merupakan pengasuh generasi ke IV di PP. Miftahul Huda. Sebagai penerus Kyai Yahya beliau bersama saudara bertekad melestarikan apa yang telah di rintiskan oleh K Yahya, serta melakukan pengembangan positif.
2. K.H Abdur Rahman Yahya (lahir 1945), beliau adalah putra ke lima. Beliau juga pengasuh pesantren ini dan secara istiqomah memberikan pengajian kitab kuning kepada para santri dalam setiap harinya. Beliau juga di ijazahi dan di beri mandat sebagai kholifah dan mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, sebagai penerus Kyai Yahya bersama Kyai Abdul Adhim Yahya. Dalam idaroh Syu’biyah Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyah Malang, Kyai Abdurrahman di percaya sebagi Katib.
3. K.H Ahmad Arif Yahya (lahir 1948), beliau adalah putra ke enam. Saat ini beliau menjabat sebagai penasihat dan kepala madrasah Matholi’ul Huda di Pon-Pes Miftahul Huda. Bersama para ustadz beliau mengelola madrasah diniyah dengan system salafiyah klasikal sejak tahun 1978. Madrasah ini terdiri dari tiga tingkatan yaitu Ula, Wustho dan Ulya.
4. K.H Moh. Baidlowi Muslich, beliau adalah menantu Kyai Yahya yang di nikahkan dengan putri beliau Nyai H. Maryam Masfiyah binti Yahya (saat ini meneruskan Ibunda Almarhumah Hj. Khodijah Yahya dalam mengasuh santri putri PP. Miftahul Huda). Saat ini Kyai Baidhowi menjabat sebagai Kepala Pondok Pesantren Miftahul Huda dan juga sebagai wakil mursyid tarekat di pesantren ini. Sedangkan di luar pesantren beliau menjabat sebagai Ketua MUI Kab. Malang dan Ketua Takmir Masjid Agung Kota Malang.
5. K.H Shahibul Kahfi M.Pd, beliau adalah menantu Kyai Yahya yang di nikahkan dengan putri beliau Nyai Dewi Aisyah binti Yahya (saat ini meneruskan Ibunda Almarhumah Hj. Khodijah Yahya dalam mengasuh santri putri PP. Miftahul Huda). Saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Dalam memimpin Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, para pengasuh ini bertekad untuk tetap melestarikan dan mengikuti jejak sesepuh mereka, yaitu tetap melestarikan dan menjaga sistem dan nilai khas Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang yang antara lain dengan tetap menggunakan system pendidikan salafiyah murni yang berbasiskan tasawuf tanpa melupakan kajian kitab-kitab fiqih dan ilmu syari’ah.

B. Masyarakat Penganut Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang
Menurut wawancara yang penulis lakukan dengan K.H. M. Baidhowi Muslich tanggal 14 Februari 2006, beliau mengatakan bahwa pondok pesantren Miftahul Huda selain selain menerapkan sistem salafiyah serta pengajaran terhadap santri santrinya sebagaimana yang di lakukan pesantren pada umumnya, juga menerapkan pengamalan ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Pengamalan tarekat ini sangat penting di lakukan karena dengan ajaran tarekat ini akan menambah kesempurnaan metode yang di terapkan di pesantren ini guna membentuk santri atau anak didik yang kamil. Pengaruh yang di timbulkan dari adanya amalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah sangat besar sekali terutama dalam perbaikan akhlak dan sarana pendekatan diri kepada Allah SWT.
Jama’ah yang mengikuti tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di pesantren ini terdiri dari masyarakat secara umum yang melingkupi seluruh wilayah Malang, selain itu juga terdapat masyarakat pesantren (santri) yang ikut mengamalkan tarekat ini. Umumnya masyarakat umum yang mengikuti tarekat ini berumur di atas 40 tahun, tapi juga banyak para remaja dan orang dewasa yang mengikuti amalan tarekat di pesantren ini. Sedangkan khusus bagi santri, mereka di wajibkan mengikuti bai’at tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ini ketika mereka berada di kelas tiga ulya.
Sebelum membahas masyarakat yang mengamalkan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang secara lebih terperinci, sebaiknya akan penulis bahas terlebih dahulu lokasi dari pesantren tersebut, sehingga nanti dapat di ketahui gambaran dari masyarakat yang mengamalkan tarekat tersebut.
Lokasi Pondok Pesantren Gading sekarang berdiri dengan megahnya di tengah-tengah pusat keramaian dan lembaga-lembaga pendidikan umum baik negeri maupun swasta. Lokasi PPMH berada di tengah-tengah Kota Madya Malang tepatnya di jalan Gading Pesantren No.38 kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Propinsi Jawa Timur.
Keberadaan PPMH Malang dikelilingi oleh gedung-gedung di tengah kota Malang, antara lain: di sekitar pesantren di kelilingi oleh ruko-ruko, di sebelah selatan terdapat Plaza Dieng yang berdiri megah, di baratnya adalah perumahan Dieng, di timur pesantren adalah Museum Brawijaya, dan ke timur lagi adalah alun-alun serta pusat pemerintahan Kota Malang, di sebelah utara pesantren adalah jajaran perguruan tinggi besar maupun kecil, baik swasta maupun negeri. Antara lain dari arah utara ± 1Km adalah kampus Universitas Negeri Malang (UM) dan Universitas Brawijaya serta ITN (Institut Tehnologi Nasional), ± 2 Km terdapat kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dan ± 3 Km adalah kampus Universitas Islam Malang (UNISMA). Dari arah Timur ± terdapat kampus SOB, dari arah barat terdapat kampus Universitas Merdeka Malang (UNMER) dan Sekolah Tinggi Informatika Malang (STIKI). Kesemua perguruan tinggi dan lingkungan yang berada di tengah pusat keramaian tersebut secara tidak langsung juga memberikan pengaruh terhadap keberadaan Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang.
Lokasi pesantren yang berada di tengah Kota Malang berarti menunjukkan bahwa masyarakat yang berada di daerah pesantren maupun di luar pesantren sudah merupakan masyarakat yang maju. Budaya yang berkembang di tengah kehidupan masyarakatpun juga sudah merupakan budaya yang maju. Pengaruh kemajuan dan era modernpun telah masuk dan di adopsi oleh masyarakat tersebut.
Walaupun masyarakat sudah termasuk dalam kategori masyarakat yang maju, namun dalam hal keagamaan mereka tetap mempunyai antusias yang besar untuk selalu mengikuti berbagai macam kegiatan keagamaan, dan ritual keagamaannya. Salah satu penyebabnya karena adanya pondok pesantren Miftahul Huda ini yang selalu mengadakan bimbingan keagamaan baik di dalam pesantren maupun di lingkungan masyarakat. Bimbingan tersebut antara lain: dengan mengadakan pengajian rutin harian di dalam pesantren dan di luar pesantren, pengajian mingguan, dan bulanan, kegiatan tahlil dan yasinan di pesantren tiap malam jum’at, kegiatan istighozah di pesantren tiap malam rabu dan manakib Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani yang di adakan tiap tanggal 11 Hijriyah dan pada moment-moment tertentu, serta masih banyak kegiatan keagamaan yang lainya.
Begitu juga, dalam pengajaran amalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di pesantren ini, masyarakat sangat antusias dalam mengikutinya. Hal tersebut karena mereka telah merasakan adanya pengaruh yang sangat besar dari keikut sertaan mereka dalam pengamalan tarekat ini, baik pengaruh secara dhohiriyah maupun pengaruh secara bathiniyah.
Menurut K. H. Abdur Rahman Yahya (wawancara, 14 Februari 2006), beliau mengatakan bahwa kondisi masyarakat yang mengikuti tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, secara umum dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Di lihat dari segi perekonomian
Dari segi perekonomian para pengamal tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ini sangat variatif (bermacam-macam). Ada dari mereka yang berperekonomian tinggi (kaya), ada juga yang berperekonomian menengah (sederhana) dan ada juga yang berperekonomian rendah (kurang mampu). Namun mayoritas dari mereka adalah berperekonomian sedang (sederhana).
2. Di lihat dari segi profesi
Dari segi profesi, mayoritas dari mereka adalah wiraswasta, ada yang sebagai pedagang, ada juga yang mendirikan usaha kecil-kecilan di rumahnya . Namun juga banyak di antara mereka yang pegawai negeri dan orang-orang pemerintahan, tetapi mayoritas dari pegawai tersebut sudah pensiun.
3. Di lihat dari segi pendidikan
Dari segi pendidikan mayoritas dari pengamal tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di pondok pesantren Miftahul Huda Malang telah memiliki pendidikan yang tinggi, karena mereka hidup dalam lingkungan yang telah maju. Mayoritas dari mereka adalah orang yang bermukim di wilayah kota Malang, yang telah berpendidikan tinggi. Para santri yang telah kelas tiga ulya yang mengikuti baiat tarekat inipun, mayoritas dari mereka telah menempuh bangku kuliyah. Sehingga secara umum status pendidikan para pengamal tarekat ini, tergolong berpendidikan tinggi.
4. Di lihat dari segi umur
Umumnya masyarakat umum yang mengikuti tarekat di pesantren ini berumur di atas 40 tahun, tapi tidak menutup kemungkinan juga banyak para remaja dan orang dewasa yang juga mengikutinya. Dari wawancara yang penulis lakukan terhadap para remaja, kebanyakan dari mereka masih merasa takut mengikuti amalan dzikir tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ini, karena menurut mereka amalan dzikirnya sangat berat yaitu harus membaca Laa Ilaha Illallah setiap selesai sholat maktubah sebanyak 165 kali secara istiqomah, belum lagi amalan-amalan lainnya. Namun menurut Bpk H. Sucipto (wawancara, 14 Februari 2006), yang telah mengamalkan tarekat ini sejak remaja, mengatakan bahwa sebenarnya bagi para remaja tidak usah takut untuk mengamalkan tarekat ini, karena ibarat orang yang memakai pakaian walaupun rangkap tiga tetapi jika pakaian tersebut di pakainya mereka tidak akan merasa berat memakainya, berbeda dengan ketika pakaian tersebut hanya di bawa dan tidak di pakai maka di pastikan mereka akan merasa berat. Begitu juga dengan pengamalan tarekat ini, ketika mereka telah mengamalkannya dan memakainya sebagai kebutuhan dan rutinitas sehari-hari, maka mereka tidak akan merasa berat tetapi mereka semakin merasa senang dan tenang berkat pengaruh yang yang cukup positif yang di timbulkan dari amalan dzikir tersebut.

C. Pengajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang
Dalam biografi Kyai Yahya, di sebutkan bahwa beliaulah yang pertama kali menerapkan ajaran tarekat di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang. Sebelumnya beliau telah mempelajari tasawuf atau tarekat di berbagai pesantren ketika beliau masih muda. Antara lain ketika nyantri di pesantren Mbungkuk, Singosari, beliau mendalami ilmu tasawuf kepada Kyai Thohir, sekaligus bai’at tarekat Kholidiyah. Merasa masih belum cukup, beliau belajar lagi kepada seorang ahli fiqih dan tasawuf yaitu Al Alamah Kyai Abbas, pengasuh pesantren Cempaka, Blitar. Namun pendidikan tasawuf yang paling lama beliau peroleh di pondok pesantren Jampes yang di asuh oleh Kyai Dahlan, Kediri. Kemudian selang waktu 30 tahun datanglah seorang guru Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dari Boyolali yaitu K.H. Zainal Makarim, untuk membai’at beliau dan mengangkat beliau menjadi mursyid tarekat tersebut. Dan dari K.H. Zainal Makarim inilah silsilah kemursyidan di peroleh oleh K.H Moh Yahya yang sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Setelah beliau memimpin Pondok Gading atau PP. Miftahul Huda, beliau memasukkan ajaran tasawuf atau tarekat dalam lingkungan pesantren tersebut, selain tetap meneruskan pengajaran sebagai pesantren salafiyah yang mengajarkan syari’at dan ajaran Agama yang lainya, sebagaimana halnya yang di lakukan pesantren lain.
K.H. Shohibul Kahfi (wakil Kepala P.P Miftahul Huda) menceritakan, bahwa latar belakang dari pendidikan tasawuf yang di gali oleh Kyai Yahya dari beberapa pesantren ketika beliau masih menuntut ilmu, telah membentuk kepribadian dan wawasan beliau akan pentingnya ilmu dhohir dan ilmu batin sekaligus. Penguasaan ilmu-ilmu agama (aqidah dan syari’ah) belumlah cukup tanpa pemahaman dan pengamalan ilmu yang mengatur kekuatan batin membersihkan jiwa, menyuburkan iman serta mengarahkan kepada sifat ridho dan ikhlas semata-mata hanya karena Allah SWT. Untuk itu pendidikan ilmu dan pelatihan serta pengamalan ajaran tasawuf menjadi sangat penting sebagai bekal utama para santri dalam menjalani kehidupan di masa depan. Oleh karena itu pengajaran yang ada di pondok pesantren Miftahul Huda saat ini selain syariat juga hakikat (dalam hal ini Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah). Dan semua ajaran itulah yang nantinya akan menghantarkan kepada tujuan yang hakiki.
Menurut KH. Baidhowi Muslich (wawancara, 14 februari 2006) seseorang harus mempunyai bekal hidup yang berupa syari’at, tarekat, dan hakikat, guna mencapai hakikat kehidupan yang sebenarnya. Syari’at di gambarkan dengan melakukan rukun Islam yang jumlahnya ada lima, yaitu: Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji bagi yang telah mampu melaksanakanya. Tarekat di gambarkan dengan pelaksanaan Rukun Iman yang jumlahnya ada enam, yaitu: Iman kepada Allah SWT, Iman kepada Malaikat Allah, Iman kepada Kitab-Kitab Allah, Iman Kepada Rasul-Rasul Allah, Iman Kepada Qodo’ dan Qodar Allah baik yang jelek maupun yang baik. Sedangkan hakikat di gambarkan dengan Ihsan, yaitu melakukan ibadah seakan-akan melihat Allah, jika tidak dapat demikin maka seakan-akan di lihat oleh Allah SWT. Ketiga-tiganya inilah yang harus di miliki oleh seseorang, sehingga ia akan menemukan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu pengajaran yang ada di pondok pesantren Miftahul Huda beracuan kepaqda ketiga hal di atas.
Dalam rangka mencapai tujuannya, Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang menerapkan berbagai metode pengajaran yang masih relevan dan banyak manfaatnya, sebagaimana yang bayak dipraktekkan oleh pondok-pondok salafiyah yang lain. Baik metode yang ada di madrasah maupun pengajian kitab di pesantren guna mendalami syari’at Agama dan pengajaran tasawufnya (Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah). Materi Agama dan system yang di gunakan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang secara lebih rinci adalah:
a Madrasah Diniyah, merupakan lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem sekolah. Dalam hal ini seluruh santri di wajibkan untuk mengikutinya. Materi yang ada di madrasah ini selain di ajarkan ilmu-ilmu syari’at juga di ajarkan ilmu-ilmu yang bernuansa tasawuf, namun untuk tingkatan yang sudah tinggi. Proses pendidikan dan pengajaran yang ada di madrasah diniyah ini di bedakan menjadi tiga jenjang. Sesuai dengan observasi yang penulis lakukan, jenjang pendidikan dan materi yang di ajarkan yaitu:
1. Taman Pendidikan Alqur’an, merupakan level terendah untuk system madrasah di pesantren ini, yang mengajarkan Al Qur’an. Pengajaranya di tempatkan di langgar Al Islah, sebelah timur pesantren setiap sore jam 16.00 WIB.
2. Madrasah tingkat Ula, merupakan kelanjutan dari TPQ yang ada di pesantren tersebut. Tingkat Ula ini di tempuh selama 3 tahun, waktunya malam hari setelah sholat isya’ jam 19.30-21.00 WIB, dengan materi keagamaan yang masih tingkat dasar. Materinya antara lain, Safinatun Naja, Jurumiyah, Kitab Mabadiul Fiqih dan lain-lain.
3. Madrasah tingkat Wustho, di tempuh selama tiga tahun dan merupakan kelanjutan dari tingkat Ula. Yang berbeda dari pendidikan sebelumya hanyalah materi yang di ajarkan tingkatanya lebih tinggi daripada tingkat Ula. Materinya antara lain: Fathul Qorib, Imrithi, Tafsir Alqur’an Jalalain, Faroidh dan lain-lain.
4. Madrasah tingkat Ulya, di tempuh selama tiga tahun dan merupakan kelanjutan dari tingkat wustho. Materi yang di ajarkan antara lain Al Fiyah Ibnu Malik, Ilmu Mantek, Ilmu Falak, dan setelah kelas tiga para santri wajib mengikuti bai’at dan mengamalkan ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah.
b Wetonan, adalah metode pengajaran dimana santri dituntut untuk mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai atau ustadz yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab dan memberikan catatan. Metode ini dilakukan pada pengajian kitab sesudah Asyar, magrib, shubuh dan waktu dluha. Sedangkan materi yang di ajarkan antara lain: kitab Ihya’ Ulumuddin juz 1-4, kitab Mukhtarul Hadits, kitab Fathul Qorib, kitab Fathul Mu’in, kitab Syar’ul Al Fiyah, dan lain-lain.
c Sorogan, adalah metode belajar dengan cara santri menghadap kyai atau ustadz seseorang demi seseorang membawa kitab yang akan di pelajari, sedangkan kyai membacakan kitab dan menerangkan maksudnya, santri menterjemahkan, memberi makna dan membuat catatan pada kitabnya. Metode ini di anggap paling intensif dilakukan. Materi yang di ajarkan antara lain: sorogan Al Qur’an dan sorogan kitab-kitab klasik (kitab kuning).
d Metode Uswatun Hasanah, metode ini digunakan dalam merealisasikan dan mempraktekkan perilaku moral yang terpuji sesuai dengan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini cukup berhasil di terapkan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang dalam membentuk pribadi yang luhur dan moral yang tinggi. Metode ini secara tidak langsung memberikan dorongan moral dan untuk membiasakan santri agar berbuat baik dalam keadaan apapun dan dimanapun. Dalam hal ini, Dewan Masyayikh, dewan asatidz dan pengurus benar-benar melaksanakan uswah hasanah dalam kehidupan sehari-hari
Sedangkan secara lebih khusus metode atau tata cara yang di gunakan dalam pengajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang adalah dengan pembaiatan di sertai dengan melakukan dzikir secara istiqomah, pengkajian kitab, dan kegiatan ritual yang lainya seperti, istighozah, khususiyah, dan pembacaan manakib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani.
1. Pembai’atan dan amalan dzikir
Pembai’atan merupakan langkah awal yang di lakukan oleh K.H. Abdur Rahman Yahya dalam menanamkan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Bai’at ini biasanya di lakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
Pertama : Golongan ini pertama-tama di bai’at tarekat Qodiriyah, setelah di bai’at jika mereka mengalami perkembangan yang cukup baik menurut pandangan atau penglihatan Mursyid, mereka baru berhak untuk mendapatkan bai’at selanjutnya yaitu tarekat Naqsabandiyah.
Kedua : Golongan yang telah di bai’at Naqsabandiyah berhak mendapatkan bai’at kenaikan ke tingkat latifah tujuh, sesuai dengan pengamatan Mursyid.
Ketiga : Golongan yang sudah tinggi tingkat tarekatnya atas penglihatan Mursyid. Golongan yang ketiga ini sudah berhak untuk membaiat pengikut baru, dan mempunyai kewajiban yang sama dengan Mursyidnya, yaitu mengembangkan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Setelah itu akan mendapatkan pengakuan dari puncak pimpinan tarekat ini, dan selanjutnya resmi menjadi mursyid dan dapat mendirikan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di daerahnya sendiri.
Mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda saat ini dibimbing oleh K.H Abdur Rahman Yahya. Beliaulah yang berhak memberikan pembaiatan dan pengajian, disamping itu juga memimpin dzikir-dzikir dan ritual-ritual yang lainya, karena beliau adalah seorang Mursyid.
Sesuai dengan wawancara yang penulis lakukan pada 17 Februari 2006, KH. Abdur Rahman Yahya menceritakan bahwa secara lengkap, silsilah kemursyidan beliau adalah sebagai berikut: K.H Abdurrahman Yahya, dari Syaikh K.H Muhammad Yahya (Malang) dari Syaikh Al-Arif Billah Zainal Makarim Karanggede (Boyolali, Jawa Tengah) dari Syaikh Abdul Syukur Mustafa (Tapang Susukan) dari Syaikh Ibrohim (Kalitan, Surakarta) dari Syaikh Addul Karim (Banten) dari Syaikh Khotib (Sambas) dari Syaikh Syamsuddin (Mekkah) dari Syaikh Muhammad Murod (Mekkah) dari Syaikh Abdul Fatah (Mekkah) dari Syaikh Ustman (Mekkah) dari Syaikh Abdur Rohim (Mekkah) dari Syaikh Abu Bakar (Mekkah) dari Syaikh Yahya (Mekkah) dari Syaikh Hasamuddin (Mekkah) dari Syaikh Waliyuddin (Mekkah) dari Syaikh Nuruddin (Mekkah) dari Syaikh Safaruddin (Mekkah) dari Syaikh Syamsuddin (Mekkah) dari Syaikh Muhammad Al Hataki (Mekkah) dari Syaikh Abdul Azis (Mekkah) dari Syaikh Abdul Qadir Jaeilani dari Syaikh Abi Sa’id Mubaroq Al Mahzumi dari Syaikh ‘Ali Al Hakari dari Syaikh Abi Fajar Athutrhusi dari Syaikh Abdul Wahid Attamami dari Syaikh Abi Baar Assibli dari Syaikh Abi Qosim Junaidi Al Bagdadi dari Syaikh Sari Asaqoti dari Syaikh Ma’ruf Al Kharakhi dari Syaikh Abi Hasan Ali bin Musa Arridho dari Syaikh Musa Kaadhim dari Syaikh Jafar Assidiqi dari Syaikh Muhammad Al Baqir dari Syaikh Zainal Abidin dari Sayyid Husein bin Fatimah Azzahro dari Sayidina Ali Karomallah Wajha dari Sayyidina Muhammad SAW dari Malaikat Jibril, dan dari Allah SWT.
Nasab guru-murid ini sangatlah penting, karena dengan nasab tersebut maka amalan dzikir maupun ajaran yang lain yang di lakukan akan mudah cepat tercapai, selain itu dengan nasab tersebut berarti amalan dan ajaran yang di amalkan memang benar-benar berasal dari Rasulullah SAW.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah mempunyai kaifiyah atau tata cara khusus dalam melakukan dzikir, ini sesuai dengan yang telah ajarkan oleh mursyid-mursyid tarekat tersebut secara turun-temurun.
Tata cara dzikir Tarekat Qadiriyah menurut K.H Abdur Rahman Yahya (wawancara, 15 Februarai 2006), adalah:
1) Membaca istigfar استغفر الله الغفورالرحيم
Sebanyak 3 kali atau lebih.
2) Membaca shalawat atas Nabi Muhamad SAW :
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد واله و صحبه
Sebanyak 3 kali atau lebih.
3) Dzikir لااله إلا الله sebanyak 165 kali, setiap selesai shalat lima waktu. Jika selain selesai shalat lima waktu bisa berdzikir semampunya.
4 ) Ketika membaca lafadz (لإ) dipusatkan pada pikiran, yaitu ditarik mulai dari pusat otak, kemudian kalimat اله dialihkan kearah dada sebelah kanan, kemudian kalimat إلا الله dipukulkan kedada sebelah kiri yang membenarkan hati sanubari, supaya kalimat yang mulia لااله إلا الله itu melewati titik lathaif, antara lain: Latifatu Qalbi, Latifaul Ruh, Latifatul Sirri, Latifatul Khafi, Latifatul Akhfa, dan harus ingat terhadap ma’na kalimat tadi.
5) Jika selesai membaca لااله إلا الله sebanyak 165 kali. Maka terakhir diikuti kalimat do’a.
6) Setelah itu membaca do’a. yaitu:
الهى انت مقصودى ورضاك مطلوبى اعطنى محبتك ومعرفتك
7) Dan setelah membaca doa diatas disusullah dengan do’a yang terakhir dibawah ini :
اللهم صل على سيدنا صلاة تنجنا بها من جميع الاهوالى والافات وتقضى لنا بها جميع الحاجات وتطهرنا بها من جميع السيئات وترفعنا بها اعلى الدرجات وتبلغنا بها اقصىالغيات من جميع الخيرات فى الحيات وبعد الممات
8) Dan diakhiri dengan hadiyah suratul fatihah satu kali, yang ditujukan kepada Nabi Muahammmad SAW dan para Syaikh tarekat, khususnya pada Syaikh Abdul Qadir Jailani, Syaikh Abdul Qasim Junaidi Bagdadi dan kepada Syaikh K.H Muhammad Yahya
Sebagaimana di bawah ini:
الى حضرة سينا محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلى اله وصحبه وسلم ثم الى ارواح مشاخيح اهل السلسلة القدرية والنقثبندية حصوصا لسيدناالشيخ عبدالقادرالجيلإنى وسيدنا الشيخ ابىالقاسم جنيدالبغدادقدس ألله اسراهماالعزيزة الفاتحة....
وحصوصاحضرةالشيخ كياهي محمد يحي وزوجته والاده وذرياتة واصوله وفرعه:الفاتحة....
Sedangkan tata cara dzikir Naqsyabandiyah menurut beliau (K.H Abdurrahman Yahya) adalah :
1) Hadiyah surat fatihah yang tiga kali yang ditujukan kepada Nabi Muhammad, para Syaikh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabadiyah khususnya kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani dan Syaikh Junaihi Al Bagdadi dan kepada kaum muslimin dan muslimat semuanya.
2) Kemudian membaca istigfar tiga kali.
3) Dan kemudian membaca surat ikhlas tiga kali.
4) Kemudian membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW, dan keluarganya
5) Kemudian menghadapkan hati kepada Allah SWT, lalu memohon supaya diberikan kesempurnaan cinta dan marifat kepada Allah dengan lantaran guru mursyid, kemudian dihadirkan rupa guru mursyid yang membaiat dzikir dengan penglihatan hati, kemudian dzikir: الله- الله serta pikiran dihadapkan pada latifatul Qalbi dan selalu ingat tehadap Ismu Dzat yang sempurna .
6) Menongkatkan lidah terhadap langit-langit, dan memejamkan mata serta menundukkan kepala.
7) Bila telah nyata waktu dzikir latifatul Qalbi, maka dengan ijin syaikh mursyid dipindahkan kelatifatul ruh, yang berada dibawah susu kanan sekitar dua jari miring kekanan. Bila telah nyata usia dzikir tadi maka dengan ijin syaikh, dipindahkan kelatifatul Sirri yang berada di dada kiri sekita dua jari, jaraknya miring kedada. Kemudian begitu seterusnya yang melalui latifah tujuh.
8) Membaca do’a
الهى انت مقصودى ورضاك مطلوبى اعطنى محبتك ومعرفتك
Maka dengan demikian sempurnakanlah dzikir Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
2. Pengkajian Kitab.
Dalam pengkajian kitab, ada beberapa metode yang dapat di gunakan. Sebagaiamana yang di katakan oleh K.H. Abdur Rahman Yahya sebagai Mursyid tarekat ini, mengungkapkan bahwa beliau menggunakan beberapa metode dalam pengkajian kitab tasawuf antara lain: metode pembacaan dan pemaknaan kitab tasawuf, hal ini di lakukan terhadap para pengikut yang sudah mampu untuk menulis. Sedangkan bagi para lanjut usia dan jama’ah yang kurang mengetahui baca tulis Bahasa Arab beliau menggunakan metode ceramah. Sehingga dalam hal ini metode pengajaran kitab yang beliau gunakan bervariasi, tinggal melihat situasi dan kondisi jama’ah yang mengikuti pengajian kitab tersebut. Dengan metode yang seperti itu pengajaran tasawuf di pesantren ini dapat mudah di terima oleh para jama’ah dan akhirnya tujuan hakiki dari pengajaran dapat tercapai.
Pengkajian yang beliau lakukan dengan menggunakan kitab Iratul Su’biat, kitab Risalah Lathoiful Sab’ah, Miftahul Jannah, dan kitab-kitab lainnya seperti: Ihya Ulumuddin, Jawahir al-Bukhari, Riyatus al-sholihin, Ta’lim al Muta’allim, Minhajul Amal, Minahu al-Tsaniyah. Dimana dari kitab-kitab tersebut berisi tentang materi-materi tarekat, yang antara lain yaitu:
a. Tentang Penyucian Jiwa (Tazkiyah al-Nafs)
Yakni membersihkan hati dari kotoran yang memusyrikkan, menghapus dirinya dari kecintaan duniawi dan menghilangkan dari hatinya penyakit-penyakit yang menggerogoti yang pada intinya menjadi hijab antara dirinya dengan Allah SWT, baik berupa kemewahan dunia, kekuasaan, dan kekawatiran atas segala sesuatu yang tidak berguna.
b. Metode Membersihkan Hati
Menerangkan tentang dzikir-dzikir dan doa-doa yang dilakukan oleh Nabi, para shahabat dan Ulama yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Semua amalan-amalan tersebut di harapkan akan menjadikan hati akan senantiasa bersih karena mereka akan selalu di jaga oleh Allah dan dosa yang kecil terampuni.
c. Menerangkan Sifat-Sifat Nafsu
Meliputi perbudakan hawa nafsu, kemunafikan, riya, pemarah, takabur, tamak, ujub dan mengklaim yang wajib disembah dan ditaati yang selain Allah SWT, keras kepala dan tamak.
d. Menerangkan Tentang Akhlak Yang Mulia
Menerangkan tentang akhlaq yang mulia yang harus dimiliki oleh seorang muslim, mukmin, dan muttaqin serta bertanggung jawab dan bersifat lemah lembut. Akhirnya mereka akan memiliki akhlak mahmudah (akhlak baik) dan mampu menghilangkan akhlak madzmumah (akhlak jelek). Dengan akhlak tersebut mereka akan mampu melakukan hubungan baik, dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain.
e. Kezuhudan
Pengajaran juga di tujukan untuk membentuk kezuhudan seseorang. Sebagaimana yang telah diketahui penganut tarekat bahwa kezuhudan bermakna ”meninggalkan sesuatu yang membuatnya sibuk dengan menjauhkan diri dari Allah SWT”.
f. Dan memerangkan tentang hal-hal yang lainya, baik dalam melakukan hubungan dengan diri sendiri, dalam melakukan hubungan dengan orang lain, maupun dalam melakukan hubungan dengan Allah SWT.
3. Kegiatan Ritual (Istighatsah, khususiyah, dan manakib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani)
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan K.H. Abdur Rahman Yahya, bahwa disamping mengadakan pengajian tentang tarekat, Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang juga mengadakan dzikir Khushusyiah dan Istighastsah, dan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani.
a. Istighastshah
Menurut K.H Abdurrahman Yahya, istighotsah adalah permohonan bantuan atau pertolongan kepada Allah SWT dari kesulitan dan kemudhorotan melalui bacaan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil. (Wawancara, 15 Februari 2006)
Istighotsah ini di lakuakan untuk memohon petunjuk dan mempermantap atau untuk meningkatkan kualitas ahli tarekat, karena amalan istighotsah ini akan berpengaruh baik terhadap amalan pokok ahli tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ataupun terhadap tingkatan yang ada di tarekat ini.
Istighotshah merupakan seruan kepada Allah SWT agar selalu memberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan, dijauhkan dari mala petaka dan musibah dan supaya diberi kekuatan iman. Sedangkan pelaksanaan istighastshah ini di lakukan pada malam hari, setiap selasa malam setelah sholat maghrib sampai waktu isya’ tiba.
b. Khususiyah
Khususiyah sama halnya dengan istighotshah, hanya saja bacaan di dalamnya berbeda, begitu pula jumlah bacaannya. Waktu pelaksanaan khususiyah ini juga berbeda, yaitu di lakukan setelah selesai sholat asyar pada hari jum’at.
Faedah di adakanya khususiyah menurut K.H. Ahmad Arif Yahya, ketika beliau memimpin khususiyah pada hari jum’at tanggal 3 Februari 2006, adalah:
1. Untuk meningkatkan derajat atau tingkatan orang yang mengamalkan tarekat sehingga orang itu akan lebih cepat sampai kepada tingkatan ma’rifatullah.
2. Untuk mendatangkan hajat atau agar hajatnya segera tercapai.
3. Mengampuni dosa.
4. Menjadi sebabnya istiqomah dalam melakukan ibadah.
5. Mendapatkan derajat yang tinggi baik di dunia maupun di akherat.
6. Memudahkan mendapatkan rizki yang halal.
7. Menjadikan sebab datangnya barokah dan rahmat dari Allah SWT.
8. Membuat hati tenang dan selalu bergatar kepada Allah SWT.
9. Di cintai Allah SWT dan para kekasih-Nya.
10. Di berikan kekuatan iman dan insyaallah mati husnul khotimah.
11. Serta dijauhkan dari mala petaka dan musibah.
c. Pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani
Pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani, merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan tiap-tiap tanggal 11 bulan Hijriyah. Manaqib secara harfiah berarti prilaku baik atau terpuji atas perjalanan hidup orang-orang yang shalih. Jadi manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani berarti perjalan hidup yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani terutama ketika beliau suluk kepada Allah SAW.
Harapan yang dapat diambil pembacaan manaqib tersebut, menurut K.H Abdurrahman Yahya antara lain adalah ibadah, sebab dalam pembacaan do’a-do’a tersebut terdapat uswah hasanah dalam bersuluk menempuh jalan kehadirat Allah SWT, sebagaimana yang di lakukan oleh Syaikh Abdul Qodir Al Jailani ketika beliau bersuluk sampai akhirnya memperoleh maqom ma’rifatullah.

D. Peran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang dalam Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)
Sungguh sebuah fenomena yang sangat mengharukan ketika agama yang berkembang selama ini, hanya berkembang tanpa di isi ruh di dalamnya. Akibatnya banyak orang yang beragama, namun tidak mampu merasakan arti agama yang sebenarnya, banyak orang yang beragama namun akhlak dan tindakan-tindakanya tidaklah mencerminkan bahwa mereka orang yang beragama. Satu bukti nyata dari kondisi tersebut adalah keberadaan Negara kita Indonesia, yang terkenal sebagai Negara agamis bahkan merupakan Negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, dalam realitanya Negara ini termasuk urutan lima besar Negara terkorupsi. Selain itu contoh lain yang saat ini sedang gencar-gencarnya di tangani pemerintah adalah masalah pornografi. Indonesia merupakan Negara yang tingkat pornografinya urutan kedua di dunia (sambutan KH. Baidhowi Muslich dalam acara Peringatan Muharam, tanggal 9 Januari 2006, di Pon-Pes Miftahul Huda).
Mengembalikan ruh agama itulah yang saat ini sangat di butuhkan. Ruh agama inilah yang di namakan dengan ajaran tasawuf dan secara lebih khusus dapat di tempuh dengan jalan mengamalkan ajaran tarekat. Tarekat yang di kembangkan di pondok pesantren Miftahul Huda Malang adalah tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Dengan pengamalan tarekat inilah di harapkan akan mampu membawa kehidupan masyarakat yang bahagia, sejahtera menuju tujuan yang hakiki.
Pada saat yang bersamaan kitapun sadar, bahwa Islam bukanlah sekedar perangkap konsep ideal, tatapi juga amal yang dapat di praktekkan yang akan tetap aktual. Islam bukan sekedar agama langit, tetapi sekaligus juga agama yang dapat membumi (workable).
Islam saat ini kurang mampu berkembang, sekaligus keberadaan Islam semakin jauh dari kemajuan negara-negara non Islam. Hal ini karena mungkin selama ini umat Islam hanya mengangap bahwa sebenarnya ajaran Islam hanya terfokus kepada masalah-masalah ritual dan bagaimana seseorang akan selamat di akherat. Mereka melupakan bahwa sesungguhnya Islam yang sebenarnya, sebagaimana yang di ajarkan oleh Rasulullah SAW adalah bagaimana menjadikan Islam ini sebagai rahmatan lil alamin, yang seluruh ajaranya di jadikan sebagai pedoman dalam seluruh aktifitas hidup, serta bagaimana menjadikan Islam sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.
Islam bukanlah Agama yang memisahkan dunia dan akherat, tetapi bagaimana seseorang dapat menyeimbangkan keduanya. Untuk memperoleh kebahagiaan di akherat seseorang harus melalui dunia karena mereka memang hidup di dunia. Akhirnya bagaimana seseorang dapat menjadikan dunia sebagai kendaraan dalam mencapai kebahagiaan akherat (pengajian: KH. Abd Rahman Yahya, 4 Januari 2006).
Penyesuaian antara dunia-akherat inilah yang sebenarnya sangat di tekankan dalam pengajaran tasawuf atau tarekat. Ajaran tarekat secara umum adalah pengajaran aqidah yaitu dzikir kalimat istmu dzat Allah ataupun laa ilaaha illallah, yang di baca secara istiqomah setiap selesai sholat maktubah dan pengajaranya tentang bagaimana mempunyai akhlak yang baik dan menghilangkan akhlak yang jelek, serta ajaranya tentang bagaimana melalui akhlak tersebut mereka dapat melakukan hubungan yang baik bagi dirinya sendiri, diri sendiri dengan orang lain, maupun diri sendiri dengan Allah SWT. Ajaran inilah yang telah di letakkan oleh Rasulullah SAW sebagai ajaran kehidupan yang harus di amalkan oleh setiap orang Islam. Sehingga denganya umat islam akan maju dan jaya serta mempunyai generasi-generasi yang akan mampu mengubah dunia dari gelap gulita menjadi penuh bercahaya dan selalu mendapatkan ridho Allah SWT.
Untuk memperoleh keberhasilan dalam menjalani kehidupan, sebagaimana penelitian para ahli, bahwa seseorang haruslah mempunyai kecerdasan emosional sekaligus kecerdasan spiritual atau yang di kenal dengan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient). Dari penelitian yang penulis lakukan ternyata kedua kecerdasan tersebut dapat di kembangkan melalui pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, karena memang keduanya mempunyai perspektif yang sama.
Lebih lanjut, KH. Baidhowi Muslich mengatakan bahwa ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang di kembangkan di pondok pesantren Miftahul Huda Malang, bukan hanya sebuah ajaran ritual belaka, tetapi mempunyai makna yang maha penting dalam membangun kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual atau yang di kenal dengan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient), karena ternyata pokok pikiran yang ada di dalam ajaran ini, juga memberikan bimbingan untuk mengenal dan memahami perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, menjalani hubungan dengan orang lain sekaligus dengan Tuhanya, memotivasi diri, serta mengelola emosi dalam berhubungan dengan orang lain, yang di latih melalui pengajaranya dalam menumbuhkan sifat takhalli, tahalli, dan tajalli.
Dari sejarahnya saja menunjukkan bahwa tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dapat di jadikan sebagai wahana dalam menumbuhkan ESQ. KH Abdur Rahman Yahya (wawancara, 17 Februari 2006) menceritakan bahwa, sejarah dari tarekat Qodiriyah adalah berasal dari sahabat Ali r.a yang mendapatkan bai’at langsung dari Rasulullah SAW. Kejadianya adalah ketika ada seorang sahabat yang datang kepada Nabi, kemudian dia mengatakan bahwa rukun Islam telah dia laksanakan, akan tetapi untuk rukun Islam yang berhubungan dengan membayar zakat dan jihad belum mampu dia lakukan. Hal tersebut karena sahabat tersebut hanya memegang agama secara syar’iahnya saja dan belum sampai kepada ruh agama atau maqom hakikat. Oleh karena itu, ketika itu juga yang sahabat Ali r.a berada di samping Nabi Muhammad SAW langsung di pegang tangannya dan di bai’at dengan kalimat Laa Ilaha Illallah dengan bersuara keras, agar dapat mencapai maqom hakikat, sehingga ajaran Islam apapun akan di laksanakan dengan penuh kesadaran dan penuh penyandaran diri kepada Allah SWT tanpa merasa berat sedikitpun. Pembaiatan dari Rasulullah SAW kepada sahabat Ali r.a inilah yang merupakan cikal bakal dari pengamalan tarekat Qodiriyah yang di anggap sebagai dasar dari suatu amalan yang datangnya langsung dari Rasulullah SAW, sehingga ajaranya bukanlah ajaran bid’ah dan tidak berdasar kepada sunah Rasulullah SAW.
Peristiwa tersebut secara garis besar dapat di jelaskan bahwa sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW dengan mengatakan bahwa rukun Islam yang berupa zakat dan jihad belum mampu dia lakukan, menunjukkan bahwa dirinya masih kurang mempunyai kepakaan social, sekaligus masih kurangnya keimanan dan ketakwaannya kepada Allah. Inilah yang menunjukkan bahwa dirinya masih belum mempunyai ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang tinggi. Dirinya masih mengerjakan amal dan aktifitas beragama secara dhohirnya saja. Amalnya masih belum sampai kepada kesadaran diri dan hakikat dari beragama itu sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW saat itu juga membaiat sahabat Ali r.a, untuk meningkatkan amal ibadahnya sampai kepada hakikat keberagamaan yang sebenarnya. Sehingga pada akhirnya amalan Islam baik yang berupa zakat, jihad dan amal-amal yang lainnya dapat di laksanakan dengan penuh kesadaran diri dan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SAW. Inilah yang menunjukkan potensi ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) telah tumbuh dan berkembang secara baik.
Sedangkan untuk tarekat Naqsabandiyah di lihat dari sejarahnya, juga menunjukkan bahwa tarekat ini mempunyai hubungan dalam peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient). Tarekat Naqsabandiyah amalannya berasal dari Abu Bakar r.a, beliau menerima pelajaran spiritualnya pada malam hijrah, ketika ia dan Rasulullah SAW sedang bersembunyi di sebuah gua tak jauh dari Makkah. Ketika di kejar musuh dan bersembunyi di gua itu, kondisi emosi dan psikologi Abu Bakar r.a tidak tenang. Beliau merasa takut dan seluruh tubuhnya bergetar. Hal tersebut karena di sekeliling gua banyak terdapat musuh yang siap untuk membunuh mereka berdua. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah SAW mengatakan “ janganlah engkau takut, karena sesungguhnya Allah bersama kita”. Dan saat itu juga Rasulullah SAW mengajarinya untuk berdzikir dalam hati dengan kalimat Allah. Dzikir diam dan sikap-sikap spiritual yang lainya inilah yang di percayainya kaum Naqsabandy telah di turunkan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar yang kemudian berlanjut kepada murid-muridnya, dan akhirnya di jadikan sebuah sistem oleh Syaikh Baha’ Al Din An Naqsabandy menjadi sebuah aliran tarekat yang di kenal dengan Naqsabandiyah.
Dari peristiwa tersebut menunjukkan bahwa sebelum sahabat Abu Bakar r.a mendapat bai’at dan pengajaran spiritual dari Rasululah SAW, kondisi psikologi dan emosionalnya masih belum bisa terkendali secara baik, demikian juga penyandaran diri dan tawakal kepada Allah SWT masih kurang. Hal ini menunjukkan bahwa kecardasan emosi dan spiritual atau ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masih kurang. Sedangkan setelah beliau mendaptkan bai’at dan pengajaran spiritual dari Rasulullah SAW maka ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) beliau semakin meningkat dengan baik.
Setelah melihat dari sejarahnya, maka saat ini penulis mencoba mengkaji lebih dalam tentang pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah khususnya yang ada di pondok pesantren Miftahul Huda Malang dalam hubunganya dengan peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) bagi masyarakat muslim yang saat ini berada di era atau zaman modern.
Pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di pondok pesantren Miftahul Huda Malang yang akan menumbuhkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual antara lain dapat di lakukan dengan jalan:
1. Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) melalui pengamalan dzikir yang di lakukan secara kontinyu (istiqomah).
KH. Baidhowi Muslich (wawancara, 14 Februari 2006) mengatakan bahwa pengamalan dzikir dalam tarekat Qodiriyah dilakukan dengan keras (yakni bersuara keras). Dzikir utama dalam tarekat ini adalah La Ilaha illallah, yang di baca secara istiqomah setiap selesai sholat maktubah sebanyak 165 kali. Sedangkan amalan dzikir dalam tarekat Naqsabandiyyah merupakan dzikir tahap kedua setelah tarekat Qadiriyah. Dzikir ini di sebutkan sebagai dzikir itsmu dzat, yaitu dzikir dengan lafadz Allah di dalam hati (Dzikrul Qalbi) yang di baca secara berulang-ulang.
Setelah seseorang masuk tarekat, ternyata amaliyah tarekat tersebut membawa dampak terhadap perubahan tingkah laku (akhlaq), ini disebabkan oleh adanya pengaruh dzikir yang begitu kuat dan di lakukan secara istiqomah, yang mempengaruhi jiwa penganut tarekat. Secara singkat dapat di jelaskan bahwa dzikir yang di lakukan dalam ajaran tarekat ini di lakukan dengan cara sang dzakir (orang yang melantunkan dzikir) duduk seperti dalam shalat sambil menghadap kiblat dan harus menutup matanya sambil mengkonsentrasikan fikiranya kepada Allah. Kemudian mengucapkan kata La sembari menarik bunyi seperti dari pusar, mengangkatnya kebahunya, kemudian mengucapkan Ilaha sambil menarik bunyi dari otaknya. Sesudah itu, ia mestilah mengetukkannya, yakni mencamkan kata-kata Illa Allah dengan kuat dalam hatinya, seraya memikirkan bahwasanya Allah sajalah sang kekasih, dan bahwa nama Allah sajalah wujud hakiki dan tujuan hakiki dalam kehidupan. Pelafadan kalimat laa ilaha illallah tersebut melewati latifatus sab’ah yang merupakan tempat akhlak yang baik dan tempat akhlak yang jelek. Dengan selalu memasukkan lafadh laa ilaha illallah pada tempat-tempat latifatus sab’ah tersebut maka akan menimbulkan akhlak mahmudah (akhlak terpuji) dan menghilangkan akhlak madzmumah (akhlak tercela). Sehingga akhirnya mereka akan mempunyai kecerdasan akhlak baik secara pribadi maupun secara sosial.
Dengan adanya akhlak tersebut berarti potensi ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) seseorang dengan sendirinya akan semakin meningkat. Karena pada intinya ESQ merupakan suatu konsep dalam pembentukan kecerdasan akhlak pribadi dan akhlak sosial yang di sandarkan kepada nilai Ketuhanan.
KH. Abdur Rahman Yahya (wawancara, 17 Februari 2006), juga menjelaskan tentang pengaruh yang di dapatkan ketika seseorang mengamalkan dzikir secara istiqomah yaitu menjadikan orang tersebut khusyu’ dalam sholatnya. Karena kebiasaan dzikir yang mereka lakukan akan menghindarkan mereka dari perbuatan-parbuatan yang tercela, sekaligus dzikir juga dapat menghapuskan dosa-dosa mereka, sehingga menjadikan hati dan fikiran mereka bersih. Ketika hati dan fikiran mereka bersih maka akan menjadikan sholat mereka bisa lebih terkonsentrasi kepada Allah dan menjadikanya khusyu’. Dalam Al Qur’an di sebutkan“Dirikanlah sholat untuk mengingatku” Sholat merupakan ibadah pokok dalam islam, sebagaimana di sebutkan dalam hadist, yang artinya “Sholat adalah tiang agama. Barang siapa yang mendirikan sholat berarti dia mendirikan Agama. Barang siapa meninggalkan sholat berarti dia merobohkan Agama”.
Pencapaian khusyu’ dalam sholat sangatlah penting. Karena dengan khusyu’ tersebut mereka baru di katakan telah mendirikan dan melaksanakan sholat dengan sebenar-benarnya, di sini berarti mereka juga telah menegakkan Agama. Dan begitulah sebaliknya ketika seseorang tidak khusyu’ dalam sholatnya, berarti mereka tidaklah mendirikan sholat, dan barangkali merekalah yang bisa merusak Agama Islam itu sendiri.
Khusyu’ dalam sholat juga perlu di lakukan, karena dengan khusyu’ tersebut maka pengaruh dari sholat akan nampak pada orang tersebut. Sebagaimana yang di sebutkan dalam Al Qur’an, yang artinya “ Sesungguhnya sholat itu akan mencegah dari perbuatan yang keji (fakhsya’) dan tercela (mungkar)”. Di sinilah perlunya melakukan sholat dengan khusyu’. Saat ini banyak orang Islam yang walaupun mereka melakukan sholat namun aktifitas kehidupan mereka sangat jauh dari norma-norma kebaikan, mereka masih suka melakukan kejahatan, mereka masih suka mengganggu orang lain dan berbagai macam aktifitas kehidupan yang menggambarkan mereka bukanlah orang yang beradab dan bahkan seperti tidak beragama. Kondisi inilah yang mungkin terjadi karena walaupun orang tersebut melakukan aktifitas sholat namun sebenarnya mereka tidak melakukanya. Aktifitas sholat yang mereka lakukan hanya terlihat secara dzohir tanpa menembus batin mereka. Di sinilah perlunya melakukan sholat secara khusyu’ sehingga pengaruh dari sholat tersebut sampai kepada seluruh aktifitas kehidupan mereka yang menjadi baik.
Pengaruh dari sholat yang khusyu’ inilah yang menjadikan seseorang akan bisa di terima oleh lingkungan masyarakatnya, karena orang tersebut akan selalu berbuat baik dan mampu meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Hal ini berarti orang tersebut telah memiliki ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang tinggi.
Pengaruh dari dzikir dalam Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang lainya yang dapat meningkatkan ESQ yaitu sebagaimana wawancara pada tanggal 11 Februari 2006 yang penulis lakukan dengan Bapak H Sucipto (salah satu pengamal tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah), beliau menceritakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh pengamlan dzikir yang ada pada tarekat itu begitu besar dalam pencapaian keberhasilan kehidupan, antara lain: dengan sendirinya akan membentuk akhlak yang baik sehingga mampu melakukan hubungan baik dan di cintai oleh orang lain, oleh karena itu usaha dan pekerjaan yang di lakukan akan menjadi lancar dan selalu mendapatkan dukungan dari orang lain. Salah satu buktinya adalah usaha yang di lakukan beliau yang berupa percetakan dan sablon semakin maju dan meningkat, bahkan saat ini beliau sudah mempunyai 36 karyawan. Beliau juga menceritakan bahwa dzikir tidaklah menghalangi kesuksesan dalam melakukan suatu usaha. Dzikir yang selalu di ucapkan di manapun (dengan dzikir sirri) akan semakin meningkatkan kepercayaan diri, penyandaran diri kepada Allah yang berarti tidak takabur dan tidak bertingkah laku sekehendaknya, hati akan bisa lebih tenang sehingga pekerjaan akan berjalan dengan lancar, dan masih banyak lagi dampak yang timbul dari melakukan dzikir secara terus-menerus (dzikir sirri) itu, yang kesemuanya tersebut ternyata bisa menimbulkan dampak positif terhadap keberhasilan suatu usaha dan pekerjaan.
2. Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) melalui pencapaian tingkatan maqom lathifah sab’ah.
KH. Baidhowi Muslich (wawancara, 14 Februari 2006) mengatakan bahwa tingkatan lathifah sab’ah haruslah di lalui oleh seorang salik. Dengan tingkatan tersebut seorang salik akan semakin mampu mendekatkan diri dengan Allah SWT serta dengan sendirinya akan menimbulkan akhlaq mahmudah (akhlak terpuji) dan menghilangkan akhlak madzmumah (akhlak tercela), yang dengan kata lain berarti ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) seorang salik dengan sendirinya juga akan semakin meningkat. Latifah Sab’ah tersebut adalah:
1) Lathifatul Qolbi
Merupakan kehalusan hati dengan terhapusnya nafsu lawwamah yang berjumlah sembilan, yaitu: suka mencela, mengumbar hawa nafsu, munafik, sombong, ghibah, riya’, namimah, bohong dan lupa ibadah. Sasaran dzikirnya adalah susu kiri kurang lebih dua jari agak ke kiri sedikit, sebab di situ ada lubang dan selaput putih atau ainul bashiroh sebagai tempat syaitan. Dengan terhapusnya nafsu lawwamah tersebut berarti ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) seseorang akan tumbuh.
2) Lathifatul Ruh
Merupakan kehalusan ruh yang akan memunculkan nafsu mulhimah yang berjumlah tujuh, yaitu: dermawan, qona’ah, rendah diri, senang taubat, sabar, berserah diri. Sasaran dzikirnya adalah di bawah susu kanan kurang lebih dua jari agak ke kanan sedikit. Dengan munculnya nafsu mulhimah tersebut berarti seseorang juga akan mempunyai kecerdasan emosional antara lain mempunyai ketrampilan sosial yang baik yang di gambarkan oleh sikap dermawannya, mempunyai kesadaran diri dan pengaturan diri yang di gambarkan oleh sikapnya yang qonaah, rendah diri, dan sabar. Mereka juga akan mempunyai kecerdasan spiritual yang di gambarkan oleh sikapnya yang senag bertaubat dan hanya berserah diri kepada Allah SWT.
3) Lathifatul Sirri
Merupakan kehalusan perasaan yang akan memunculkan nafsu mutmainnah, meliputi enam macam, yaitu: dermawan, pasrah atau berserah diri kepada Allah, ikhlas, istiqomah, syukur, ridho dan takut maksiat. Sasaran dzikirnya adalah di atas susu kiri kurang lebih dua jari agak ke kanan sedikit. Dengan munculnya nafsu mutmainnah tersebut berarti seseorang secara otomatis juga akan mempunyai ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang tinggi, hal ini karena mereka akan mampu berhubungan dengan baik.
4) Lathifatul Khofi
Merupakan kehalusan kepada sesuatu yang samar dengan bertambahnya nafsu mardiyah yang meliputi enam macam, yaitu: akhlak baik, gemar beribadah, mempunyai sifat belas kasihan kepada siapapun, suka mengajak beribadah kepada orang lain, pema’af dan pemberi nasihat. Sasaran dzikirnya adalah susu kanan kurang lebih dua jari agak ke kiri. Dengan munculnya nafsu mardiyah tersebut berarti seseorang akan mampuanyai kesalehan sosial dengan baik dan sikap tersebut senantiasa di sandarkan kepada nilai Ilahiyyah. Ini merupakan indikasi tumbuhnya ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) pada diri seseorang dengan baik.
5) Lathifatul Akhfa’
Merupakan kehalusan kepada sesuatu yang lebih samar yang tergolong nafsu kamilah, yang meliputi: pandai berfikir, yakin ketika membayangkan, dan yakin kepada sesuatu untuk mengamalkanya. Sasaran dzikir ini adalah pada tengah-tengah dada. Dengan munculnya nafsu kamilah ini, berarti IQ (Intelegency Quotient) seseorang akan semakin meningkat karena mereka akan semakin pandai berfikir dan cerdas. Selain itu mereka juga akan mempunyai EQ atau kecerdasan emosional yang tinggi yang di tunjukkan oleh tindakan keyakinan akan keberhasilan dan pengamalannya terhadap segala sesuatu. Penguasaan ruhiyyah vertikal atau kecerdasan sapiritual mereka di pastikan juga akan meningkat.
6) Lathifatul Nafsi
Merupakan kehalusan otak untuk berfikir dengan terangkatnya sifat amarah bissu’ yang meliputi: kikir, tamak, dengki, bodoh, sombong, pemarah, dan hanyut kepada hawa nafsu. Sasaran dzikirnya adalah: di antara kedua mata dan kedua kening (alis) sampai pada pokoknya otak. Ketika seseorang telah mencapai tingkat ini, berarti potensi IQ, EQ, maupun SQ secara bersamaan akan semakin meningkat, karena unsur-unsur pembangunnya juga terdapat dalam tingkatan latifatul nafsi ini.
7) Lathifatul Qolb
Merupakan kehalusan anggota badan dengan munculnya nafsu rodiyah yang meliputi: dermawan, pandai menyimpan harta untuk beribadah, ikhlas, giat beribadah, dan istiqomah terhadap hasil bai’at maupun ibadah-ibadah yang lainya. Sasaran dzikirnya adalah mulai dari ujung rambut kepala sampai pada ujung kaki. Pada tingkatan ini ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) seseorang akan semakin meningkat, karena mereka mengetahui bagimana harus melakukan hubungan baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya ataupun dengan Allah SWT sebagai penciptanya.
3. Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) melalui pembentukan Akhlak At Takhalliyah, At Tahalliyah, dan At Tajalliyah
Dalam tarekat apapun saja, salah satu dari pada persoalan yang terpenting di dalamnya ialah memperbaiki Akhlak dan menuntun murid mencapai maqam yang tertinggi, dengan kata lain memperbaiki akhlak dan budi pakerti. Dengan akhlak tersebut seseorang akan mampu melakukan menejemen dirinya dengan baik, mampu hidup dan berhubungan dengan orang lain secara baik, dan akhirnya juga mampu serta mempunyai hubungan secara vertikal Ilahiyyah dengan baik pula.
Dari akhlak inilah sebenarnya kecerdasan emosional dan spiritual atau ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) seseorang akan muncul dan berkembang dengan baik. Oleh karena itu pembentukan akhlak ini menjadi suatu hal yang sangat penting dan tidak bisa hanya di anggap sebagai sesuatu yang yang dapat di nomor duakan penangananya.
Kiranya benarlah sebagaimana yang di katakan oleh Rasulullah SAW “sesungguhnya aku di utus, untuk menyempurnakan akhlakul karimah”, karena ternyata cangkupan dan fungsi dari adanya kesempurnaan akhlak tersebut sangatlah besar. Salah satunya adalah dalam pembentukan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient).
Perlu diketahui dalam tarekat, perbaikan Akhlaq merupakan hal yang sangat penting dan utama. Perbaikan dan pembentukan akhlak tersebut menurut KH. Baidhowi Muslih (wawancara, 14 Februari 2006) antara lain:
1. At Takhalliyah
Istilah Takhalli mempunyai arti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Sebagaiman yang kita ketahui bahwa setiap orang pasti mempunyai potensi untuk berbuat kejelekan (sifat tercela), karena setiap orang mempunyai hawa nafsu. Yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat melakukan manajemen terhadap hawa nafsunya tersebut serta mengganti sifat yang tercela menjadi sifat yang terpuji.
Apapun sifat-sifat tercela itu perlu di berantas atau dihilangkan dari jiwa manusia diantaranya adalah sifat tercela yang berasal dari batin, contohnya: hasad (iri hati), naqad (dengki atau benci), su’udzan (buruk sangka), kibir (sombong), ujub (merasa sempurna dari orang lain), riya’ (memamerkan kelebihan), sama’ (cari nama atau kemasyhuran), bakhil (kikir), hubbul mal (cinta harta yang berlebihan), namimah (berbicara dibelakang orang).
Adapun sifat yang tercela yang merupakan maksiat lahir, ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang merusak orang lain atau dirinya sendiri, sehingga membawa pengorbanan pada kerusakan harta benda, tingkah laku, pikiran dan perasaan, misalnya: merusak jalan raya, mencuri, merampok, membuat gaduh dan lain sebagainya.
Sifat-sifat dan tindakan yang tercela itulah yang akan mengakibatkan seseorang tidak mempunyai ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang tinggi, atau dengan kata lain tidak memiliki kecerdasan emosional, apalagi kecerdasan spiritual. Karena dengan sifat sifat tersebut seseorang di pastikan tidak akan mampu melakukan hubungan yang baik dengan dirinya sendiri, hubungan yang baik dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya, lebih-lebih dalam hubungan dengan Tuhan-nya. Oleh karena itu menghilangkan sifat dan tindakan tercela, yang salah satunya di lakukan melalui pengajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ini menjadi sangat penting.
2. At Tahalliyah
Tahalli mempunyai pengertian menghiasi atau mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji. Adapun sifat-sifat terpuji (mahmudah) sangat perlu ditanamkan betul-betul dalam jiwa seseorang sebagai pembersih sifat-sifat tercela (mazmumah). Sifat-sifat terpuji itu antara lain, ialah: taubat (menyesali diri dari perbuatan tercela), khauf (perasaan takut kepada Allah), takwa (penyandaran segala sesuatu hanya kepada Allah), ikhlas (niat amal yang tulus atau suci), sabar (tahan diri dari kesukaran), ridho ( bersenang diri menerima putusan Tuhan), mahabbah (perasaan cinta kepada Allah semata-mata), zikrul maut (selalu ingat akan mati), itsar (lebih mengutamakan kepentingan orang lain), dermawan (suka memberi) dan lain sebagainya.
Apabila seseorang telah mengisi hatinya dengan sifat terpuji setelah hatinya dibersihkan dari sifat tercela, hati mereka akan bercahaya dan mudah menerima kebenaran. Hati yang belum dibersihkan, tak akan dapat menerima cahaya Ilahiyyah dan sulit menerima suatu kebenaran.
Menurut Bapak Sucipto (wawancara: 11 Februari 2006), jika seseorang telah mampu menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, maka mereka akan mudah melakukan hubungan dengan orang lain, mereka akan di cintai oleh orang lain, dan Allah-pun pasti akan meridhoinya. Dalam hal ini, mereka akan ihklas hati dan niatnya selalu tertuju untuk mencari ridho dan melakukan ibadah hanya kepada Allah. Mereka akan ikhlas dalam mengabdi kepada masyarakat, ikhlas bekerja untuk kepentingan agama, bangsa dan negara. Ikhlas memberikan pertolongan dan bantuan, kepada siapapun dan kapanpun waktunya. Sifat terpuji dan tindakan yang demikianlah, yang menunjukkan seseorang mempunyai ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang baik.
Dalam hal ini berarti seseorang yang mengamalkan ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, yang salah satu ajaranya adalah pembangunan akhlak Tahalli (menghiasi diri dengan sifat dan tindakan yang terpuji), akan menjadikan orang tersebut mempunyai ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang tinggi.
3. At Tajalliyah
Tajalli merupakan usaha terakhir dalam perbaikan akhlaq, setelah kita menempuh dua jalan yakni Takhalli dan Tahalli. Dalam hal ini, KH. Baidhowi Muslih menggambarkan hubungan Takhalli, Tahalli dan Tajallai dengan adanya rumah. Hendaknya perawatan rumah tersebut pertama di lakukan dengan membersihkan terlebih dahulu kotoran-kotoran yang ada di dalamnya (Takhalli), setelah itu di lanjutkan dengan menghiasi rumah tersebut dengan berbagaimacam perhiasan (Tahalli), setelah rumah bersih dan penuh dengan hiasan yang menarik maka seseorang di pastikan akan tertarik untuk memasukinya (Tajalli). Dalam hal ini apabila ibarat tersebut di kaitkan dengan seseorang, maka setelah dia taubat dari seluruh dosanya kemudian menghiasi dirinya dengan sifat terpuji, maka selanjutnya Nur atau cahaya Ilahiyah akan masuk dalam dirinya. Jika seseorang telah memiliki akhlak Tajalli, maka Allah menjadi jelas dalam ilmu dan kehidupan jiwa, hijab tersingkap, atau pengaruh pancaran Illahi yang mengandung berkah akan memancar atas dirinya yang di berkati. Akhirnya dia akan menjadi orang yang dekat dengan Allah, di akan selalu mencintai dan di cintai Allah.
Lebih lanjut Bapak Sucipto (wawancara: 11 Februari 2006), menceritakan bahwa setelah beliau belajar mengenai sifat terpuji (tahalli) dan belajar menghilangkan sifat-sifat jelek (takhalli) melalui pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang ada di Pon-Pes Miftahul Huda ini, maka beliau dapat lebih berkembang dalam segala kehidupanya, beliau mampu melakukan manajemen terhadap dirinya, baik waktu, pekerjaan, maupun urusan yang lainya, walaupun beliau saat ini harus memimpin percetakanya dan membawahi 36 karyawan. Beliau juga mampu melakukan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar, bahkan saat ini beliau menjabat sebagai ketua BKM dan ketua Organisasi Kemasyarakatan untuk daerah kelurahan Gading Kasri. Selain itu yang lebih menarik menurut pandangan beliau adalah dalam melakukan hubungan dengan Allah semakin terjalin dengan baik, perasaan semakin dekat dan cinta dengan Allah semakin tinggi, karena menurut pengakuan beliau dalam keadaan bagaimanapun dirinya akan selalu mengingat Allah. Bahkan ketika penulis melakukan wawancara, menurut beliau saat itu juga sedang melakuakn dzikir sirri (dzikir dalam hati). Sehingga benarlah menurut pandangan penulis, sebagaimana yang di katakana oleh Syaik Abdul Qosim, bahwa yang di namakan dengan makrifat adalah orang yang selalu ada tetapi jauh, yang artinya ia selalu bersama dengan orang lain, tetap melakukan hubungan dengan orang lain tetapi hatinya jauh dari mereka dan selalu dekat dengan Allah SWT.
Dalam hal ini berarti orang yang mempunyai akhlak tajalli akan mempunyai derajat yang tinggi baik di mata manusia maupun di hadapan Allah SWT. Dengan munculnya sifat tajalli tersebut berarti seseorang telah menumbuhkan potensi ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) dalam dirinya secara sempurna.
4. Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) melalui ritul-ritual keagamaan yang lainya.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak H. Sucipto tanggal 11 Februari 2006, bahwa ritual-ritual yang di lakukan dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pon-Pes Miftahul Huda Malang, antara lain: Khushusiyah, Istighatsah, dan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani. Kemudian beliau melanjutkan bahwa ternyata manfaat yang dapat di ambil dari kegiatan-kegiatan tersebut tidak sekedar untuk pemenuhan kebutuhan rohani saja, namun banyak memberikan manfaat yang lain, misalnya: dengan adanya kegiatan tersebut akan menambah hubungan dan kedekatan antar jama’ah tarekat, sehingga apabila salah satu dari mereka ada yang mempunyai permasalahan hidup maka yang lain dapat membantunya, selain itu melalui kegiatan-kegiatan tersebut dapat di gunakan sebagai sarana dalam penggalian dana, yang nantinya akan di gunakan untuk membangun masjid, menyantuni anak yatim, membantu orang fakir miskin dan untuk kegiatan sosial yang lainya. Dalam hal ini berarti kegiatan-kegiatan seperti manaqib Syaikh Abdul Qodir Aljailani, Khususiyah, dan Istighotsah serta kegiatan yang lainya, tidaklah hanya terfokus untuk kegiatan ritual belaka, tetapi manfaat yang lebih dari itu sebenarnya juga mampu untuk menumbuhkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) dengan baik. Karena dengan kegiatan tersebut mereka akan mampu melakukan hubungan dengan orang lain sekaligus hubungan dengan Allah SWT.
Selain itu yang menarik dari kegiatan ritual ini dalam hubunganya dengan peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) menurut KH. Abdur Rahman Yahya (wawancara, 15 Februari 2006) adalah adanya bacaan-bacaan asmaul husna maupun ayat-ayat Al Qur’an tertentu yang di baca ketika ritual ini di laksanakan. Menurut beliau, teryata amalan-amalan dzikir khusus tersebut mampu menumbuhkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) seseorang. Hal ini menurut penulis mirip dengan yang di katakan Ary Ginanjar Agustian bahwa asmaul husna merupakan sumber suara hati seseorang, yang di sandarkan kepada nama-nama Allah yang mulia.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa asmaul husna merupakan nama dan sifat Allah yang maha agung yang terdapat dalam Al Qur’an. Ternyata asmaul husna merupakan sumber dari segala suara hati seseorang (God-Spot), yang mampu menumbuhkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) dari orang yang mampu meresapi dan mencari hakikat makna di dalamnya. Misalnya, dengan menggunakan acuan sifat Allah yang berupa Ar Rahman maka seseorang akan mampu menumbuhkan dorongan suara hati yang berupa sikap mau mengasihi dan bersikap kasih sayang terhadap orang lain, dengan acuan sifat Allah yang berupa Al Kholiq maka seseorang akan mampu menumbuhkan dorongan dalam hatinya yang berupa sikap kreatif dan ingin menciptakan hal-hal yang baru, dengan acauan sifat Allah yang berupa As Sami’ maka akan tumbuhlah sikap mau mendengarkan dan memahami orang lain (empati), dengan acuan sifat Allah yang berupa Al Qowiyyu maka akan tumbuhlah sikap untuk memiliki kekuatan dan semangat yang tinggi dalam melakukan berbagai macam aktifitas kehidupan serta tidak mudah menyerah. Demikian halnya dengan menggunakan acuan sifat-sifat Allah yang lainya yang berjumlah 99 (asmaul husna), maka seseorang akan mampu menumbuhkan dorongan dalam hatinya untuk berbuat dan beraktifitas sesuai dengan sifat Allah tersebut.
Dalam hal ini, berarti asmaul husna dan ayat Al Qur’an yang sering di baca dalam ritual tarekat Qodiriyah wa naqsabandiyah tidaklah hanya berorientasi pada kegiatan ritual semata, tetapi yang lebih hebat dari itu ternyata bacaan-bacaan yang ada di dalamnya mampu menumbuhkan dan meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) seseorang ketika mereka memang benar-benar mau meresapi arti yang sebenarnya serta mau mengaplikasikan dalam kehidupan mereka.
Dari penjelasan di atas tentang pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di pondok pesantren Miftahul Huda Malang dalam upaya meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masyarakat muslim di era modern, penulis dapat mengambil benang merah bahwa ternyata pengamalan tarekat tersebut dapat di jadikan sebagai upaya dalam meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual masyarakat muslim yang hal tersebut memang sangat di butuhkan, karena mereka saat ini sedang berada di zaman modern yang penuh dengan kerusakan dalam berbagai bidang kehidupan.
Bila di telusuri dari kondisi zaman ini, memang masyarakat modern identik dengan pemisahan dirinya dari kehidupan irrasional bahkan hal-hal yang di kategorikan sebagai non rasionalitas. Mereka hanya mengakui eksistensi dari hal-hal yang bersifat materiil dan yang dapat di raba, di rasa, di teliti dan ilmiyah. Oleh karena itu nilai-nilai, norma dan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat modern semakin memudar, dan diganti oleh pola hidup materialis dan menghambakan diri kepada kebendaan untuk mencapai kepuasan keduniaanya semata. Hal inilah yang akan mengakibatkan kerusakan dalam berbagai bidang kehidupan.
Manusia modern yang seperti itu sebenarnya adalah manusia yang sudah kehilangan makna kehidupan yang sesungguhnya, ia pasti akan resah setiap kali akan mengambil keputusan, ia tidak tahu apa yang di inginkan, untuk apa langkah kehidupanya, bahkan iapun kadang tidak tahu siapa dirinya, bagaikan orang yang terkurung dalam kerangkeng. Manusia modern akhirnya banyak yang frustasi dan berada ke dalam ketidak berdayaan serta kegagalan dalam berbagai aktifitas kehidupanya.
Dari kondisi tersebut maka sangat di butuhkanlah adanya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual bagi seluruh masyarakat muslim yang saat ini sedang berada di zaman modern. Dari penelitian yang penulis lakukan ternyata pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah mampu di jadikan sarana dalam peningkatan dua kecerdasan tersebut, karena ternyata akibat atau dampak yang di timbulkan dari pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ini dapat di jadikan sebagai upaya dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient). Dengan dua kecerdasan tersebut (EQ plus SQ) maka masyarakat muslim akan mampu menyesuaikan dan menyepadankan antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrowi. Mereka tidaklah terjerumus dalam kehidupan yang semakin rusak, akan tetapi mereka akan mampu membawa dirinya tetap berada di jalan kebenaran. Sehingga nantinya mereka akan selamat di dunia dan akherat.

BAB V
KESIPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Setelah penulis melakukan pengkajian teoritis maupun penelitian lapangan, maka penulis dapat menyimpulkan hal tersebut antara lain:
1. Pondok pesantren Miftahul Huda Malang selain selain menerapkan sistem pengajaran salafiyah, juga menerapkan pengamalan ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Metode yang di gunakan dalam pengajaran tarekat ini adalah:
a. Pembaiatan di sertai dengan melakukan dzikir. Dzikir dalam tarekat Qodiriyah lebih mengutamakan penggunaan cara-cara dzikir keras (dzikir jahr) dalam menyebutkan kalimat nafyi wa al itsbat, yakni kalimat laa ilaaha illallah sebanyak 165 kali setiap selesai sholat maktubah. Sedangkan dalam Naqsabandiyah di sebutkan sebagai dzikir itsmu dzat, yaitu dengan lafad Allah di dalam hati (dzikrul qalbi), di baca sebanyak 1000 kali atau lebih.
b. Pengkajian kitab, antara lain: Ihya Ulumuddin, Jawahir al-Bukhari, Riyatus Al-Sholihin, Ta’lim Al Muta’allim, Minhajul Amal, Minahu al-Tsaniyah, maupun kitab-kitab salafiyah yang lainya.
c. Kegiatan ritual yang lainya seperti, istighotzah, khususiyah, dan pembacaan manakib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani.
2. Jama’ah yang mengikuti tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang terdiri dari masyarakat umum yang melingkupi seluruh wilayah Malang, selain itu juga terdapat santri yang ikut mengamalkan tarekat ini. Walaupun para penganut tarekat ini sudah termasuk dalam kategori masyarakat yang maju, namun dalam hal keagamaan mereka mempunyai antusias yang besar untuk selalu mengikuti berbagai macam kegiatan dan ritual keagamaan, termasuk pengamalan ajaran tarekat ini.
3 Ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang ternyata tidak hanya berperan sebagai sebuah ajaran ritual belaka, tetapi mempunyai peran yang maha penting dalam membangun kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual atau ESQ (Emotional-Spiritual Quotient), karena ternyata pokok pikiran yang ada di dalam tarekat ini, juga memberikan bimbingan untuk mempunyai kecerdasan akhlak pribadi dan sosial, mampu melakukan manajemen pribadi dan melakukan hubungan baik dengan orang lain, yang semuanya itu di dasarkan kepada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Upaya yang di lakukan pesantren ini dalam peningkatan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual melalui Ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah terhadap para penganutnya antara lain:
a. Peningkatan ESQ melalui pengamalan dzikir yang di lakukan istiqomah.
b. Peningkatan ESQ melalui pencapaian tingkatan maqom lathifah sab’ah.
c. Peningkatan ESQ melalui pengajaranya dalam menumbuhkan sifat takhalli, tahalli, dan tajalli.
d. Peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) melalui ritul keagamaan seperti istighotzah, khususiyah, manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani dan kegiatan-kegiatan sosial.

B. SARAN
Walaupun secara umum menunjukkan adanya kesesuaian antara landasan teori dengan kenyataan yang ada di lapangan mengenai manfaat yang di timbulkan dari pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah terhadap peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masyarakat muslim, namun untuk menambah kebaikan di masa berikutnya penulis berharap hendaknya:
1. Pengamalan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Miftahul Huda Malang, hendaknya tidak hanya merupakan ritual keagamaan semata, namun juga di gunakan sebagai wahana dalam meningkatkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) masyarakat muslim.
2. Hendaknya pesantren ini tetap melakukan upaya pengajaran Agama Islam dalam usaha meluruskan dan membimbing manusia menuju insan kamil, yang akhirnya mereka akan selamat dan bahagia di dunia dan akherat.

1 komentar:

  1. Terimakasih telah di publikasikan hasil penelitian saya. Itu adalah hasil penelitian skripsi UIN Malang 2006.

    Semoga bermanfaat.. amin

    BalasHapus