Senin, 28 Februari 2011

Ia Berkata (Rumi)

Ia berkata, “Siapa itu  berada di pintu?” Aku berkata, “Hamba sahaya, Paduka.” Ia berkata, “Mengapa kau ke mari?” Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.” Ia berkata, “Berapa lama kau bisa bertahan?” Aku berkata, “Sampai ada panggilan.” Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah Bahwa, demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan. Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.” Aku berkata, “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.” Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu juling.” Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu, mataku terbebas dari dosa.” .



Bait-bait syair bernuansa religius di atas adalah nukilan dari salah  satu puisi karya Jalaluddin ar-Rumi, penyair sufi terbesar dari Persia.  Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan  perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu,  puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah  –kedalaman makna dan keindahan bahasa–yang menyebabkan puisi-puisi Rumi  sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum atau sesudahnya. Di kalangan para pecinta sastra tasawuf, nama Jalaluddin ar-Rumi tidak  asing lagi. Karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarkat Muslim,  tetapi juga masyarakat Barat. Karena itu, tak mengherankan jika karya  sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama lengkap Jalaluddin  Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi ini berpengaruh besar terhadap  perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya. .  Rumi dilahirkan di Kota Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604  H dan wafat di Kota Konya, Turki, pada 17 Desember 1273 M/672 H. Sejak  kecil, ar-Rumi dan orang tuanya terbiasa hidup berpindah-pindah dari  satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pernah tinggal di Nisabur (Iran  timur laut), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki), Laranda (Iran tenggara),  dan Konya. Meski hidup berpindah-pindah, sebagian besar hidup ar-Rumi  dihabiskan di Konya yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). .  Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang  berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Tarekat  Maulawiah–sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah  sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan  Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai  tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indra dalam  menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda  penyakit itu.  Cinta untuk Tuhan Ar-Rumi dikenal karena kedalaman ilmu yang dimilikinya serta kemampuan  dalam mengungkapkan perasaannya dalam bentuk puisi yang sangat indah dan  memiliki makna mistis yang sangat dalam. Ia memilih puisi sebagai salah  satu medium untuk mengajarkan cinta sejati (Tuhan). Lirik-lirik  puisinya banyak mengedepankan perasaan cinta yang dalam kepada Tuhan.  Maka itu, tak mengherankan jika ia mengungguli banyak penyair sufi, baik  sebelum maupun sesudahnya.  Karya-karya puisi ar-Rumi juga mengandung filsafat dan gambaran tentang  inti tasawuf yang dianutnya. Tasawufnya didasarkan pada paham wahdah  al-wujud (penyatuan wujud). Bagi ar-Rumi, Tuhan adalah wujud yang  meliputi. Keyakinan ini tidak selalu merupakan keyakinan terhadap  kesatuan wujud yang menyatakan bahwa segala seuatu itu adalah Allah atau  Allah adalah segala sesuatu. Kesatuan hamba dengan Tuhan, dalam tasawuf  ar-Rumi, dipatrikan oleh rasa cinta yang murni.  Pengetahuan mengenai ajaran tasawuf tidak ia pelajari sejak usia dini.  Masa kecilnya justru lebih banyak dipergunakan Jalaluddin ar-Rumi untuk  menimba ilmu agama, terutama terkait dengan hukum Islam. Pendidikan  pertama ar-Rumi diperolehnya dari ayahnya sendiri, Bahauddin Walad  Muhammad bin Husin, yang merupakan seorang tokoh dan ahli agama Islam  penganut Mazhab Hanafi. Selain itu, ia juga belajar pada Burhanuddin  Muhaqqiq at-Turmuzi, seorang tokoh dan sahabat ayahnya. Atas saran  gurunya ini, ia kemudian menimba ilmu pengetahuan di negeri Syam  (Suriah).  Dengan pengetahuan agama yang luas, ar-Rumi dipercaya untuk menggantikan  Burhanuddin sebagai guru di Konya setelah sang guru wafat. Di samping  sebagai guru, ia juga menjadi dai dan ahli hukum Islam (fakih).  Perubahan besar dalam hidup ar-Rumi terjadi pada tahun 652 H. Di usianya  yang menginjak 48 tahun, ia mengubah jalan hidupnya ke arah kehidupan  sufi setelah bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana, Syamsuddin  at-Tabrizi. Ia sangat terpengaruh oleh ajaran sufi itu sehingga ia  meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi serta  memasuki kehidupan sufi.  Rumi telah menjadi sufi berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya  berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah  ikut berperan mengembangkan emosinya sehingga ia menjadi penyair yang  sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, Rumi  menulis syair-syair yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan  Syams Tabriz . Ia juga membukukan wejangan-wejangan gurunya itu yang  dikenal dengan nama Diwan Syams Tabriz . Buku ini juga memuat inti  ajaran tasawuf ar-Rumi.  Di samping termuat dalam Diwan Syams Tabriz , inti ajaran tasawuf  ar-Rumi juga banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang terkenal,  al-Masnawi . Buku ini terdiri atas enam jilid dan berisi 20.700 bait  syair. Karyanya ini berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf  sesudahnya. Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis oleh para  ahli dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, dan Arab.  Al-Masnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pertama kali,  buku ini diterjemahkan ke bahasa Jerman pada tahun 1849. Namun, yang  diterjemahkan hanya sepertiga bagian dari keseluruhan isi Al-Masnawi .  Hasil terjemahan dalam bahasa Jerman ini diterbitkan di Kota Leipzig dan  mengalami cetak ulang pada tahun 1913.  Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Sir James Redhouse  pertama kali diterbitkan pada tahun 1881. Kemudian, sebanyak 3.500 baris  puisi pilihan dari Al-Masnawi diterjemahkan lagi oleh Whinfield ke  dalam bahasa Inggris. Terjemahan puisi pilihan yang terbit di London  tahun 1887 ini mendapat perhatian besar dari masyarakat sehingga tahun  itu juga dicetak ulang. Volume kedua diterjemahkan oleh Wilson dan  diterbitkan di London tahun 1910.  Baru pada tahun 1925 hingga 1950, proses penerjemahan buku Al-Masnawi  dilakukan secara menyeluruh oleh Reynold Alleyne Nicholson. Selain  menerjemahkan buku ini, Nicholson juga menambahkan uraian serta  komentarnya untuk melengkapi terjemahannya. Langkah Nicholson yang  menerjemahkan karya ar-Rumi ini diikuti oleh salah seorang muridnya, AJ  Arberry, yang menerjemahkan sejumlah kisah pilihan yang diterbitkan di  London pada 1961.  Teori kefanaan Di samping sebagai penyair sufi yang menganut paham wahdad al-wujud ,  ar-Rumi juga merupakan peletak dasar teori kefanaan. Pendapatnya tentang  kefanaan tergambar dari ungkapannya, ”Apakah arti ilmu tauhid?  Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa. Seandainya kau  ingin cemerlang sebagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap)  seperti malam; dan luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara Wujud,  seperti luluhnya tembaga dalam adonannya. Dengan begitu, kau bisa  mengendalikan genggamanmu atas ‘Aku’ dan ‘Kita’, di mana semua  kehancuran ini tidak lain timbul dari dualisme.”  Sementara itu, suasana pada saat sedang fana digambarkan oleh ar-Rumi  sebagai berikut. ”Nuh berkata kepada bangsanya, Aku bukanlah aku. Aku  bukanlah tiada lain Tuhan itu sendiri. Apabila ke-aku-an lenyap dari  identitas insan, tinggallah Tuhan yang bicara, mendengar, dan memahami.  Apabila Aku bukanlah aku, adalah aku tiupan napas Tuhan. Adalah dosa  melihat kesatuan aku dengan-Nya.”  Dalam pandangannya, setiap peristiwa kefanaan selalu diikuti oleh baqa ,  yaitu tetapnya kesadaran sufi kepada Tuhan. Pada saat sedang baqa ,  kesadaran akan Tuhan melandasi kesadaran seorang hamba. Kata ar-Rumi,  ”Kesadaran Tuhan lebur dalam kesadaran sufi. Bagaimana si awam  meyakininya. Pengetahuan sufi adalah garis dan pengetahuan Tuhan adalah  titik. Eksistensi garis amat tergantung pada eksistensi titik.”  sya/dia/berbagai sumber  Tarian berputar sang sufi Selain dikenal sebagai seorang penyair sufi, Jalaluddin ar-Rumi juga  merupakan pendiri Tarekat Maulawiah atau Jalaliah. Tarekat ini ia  kembangkan bersama sahabatnya, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad.  Tarekat Maulawiyah atau Jalaliah adalah sebuah tarekat sufi yang  terkenal dan banyak dianut di Turki dan Suriah. Di Barat, tarekat ini  dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para darwis yang  berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini  melakukan tarian berputar-putar yang diiringi oleh gendang dan suling  dalam zikir mereka untuk mencapai ekstase .  Menurut sebuah riwayat, tarian yang dilakukan oleh Ar-Rumi dilakukan  tanpa kesengajaan. Tarian itu justru dilakukannya ketika dirinya merasa  sedih sepeninggal gurunya, Syamsuddin Tabriz, yang dibunuh oleh warga  Konya. Rumi benar-benar merasakan kehilangan sang panutan, laksana  kehidupan tanpa sinar matahari. Hingga pada suatu hari, seorang pandai  besi yang bernama Shalahuddin membuat Rumi menari-nari berputar-putar  sambil melantunkan syair-syair puitis akan kecintaannya kepada Tuhan dan  gurunya.  Dari sinilah, Jalaluddin Ar-Rumi menjalin persahabatan dengan  Shalahuddin untuk menggantikan kedudukan sang guru. Bersama Shalahuddin  yang memukul gendang, Rumi pun menari dan menari untuk mengungkapkan  penghambaan dirinya dalam menghibur dan mendekatkan diri pada Tuhan.  Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari  kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang  membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai  jadi yang dicintai. Bagian hanya Allah yang layak untuk dicintai.  Dari caranya menemukan hakikat cinta untuk Tuhan, Kota Konya yang sempat  sepi menjadi ramai kembali berkat tarian-tarian cinta yang berputar  untuk Tuhan. Bahkan, banyak pengikut-pengikutnya di berbagai negara di  dunia melakukan hal yang sama sebagai bentuk kecintaan kepada sang guru  dalam menemukan Tuhan.  Suatu hari, Rumi pernah berkata kepada anaknya, Sultan Walad, bahwa Kota  Konya akan menjadi semarak. ”Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi  semarak dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang  khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.”  Kini, perkataan Rumi itu terbukti. Setelah sekian lama terlelap oleh  sejarah, Kota Konya hidup kembali berkat sang sufi. ”Kota Anatolia  Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis  Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.  Kenyataannya memang demikian. Lebih dari tujuh abad, Rumi bak bayangan  yang abadi mengawal Konya, terutama kepada pengikutnya, the whirling  dervishes , para darwis yang menari. Setiap tahun, pada 2-17 Desember,  jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin,  mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.  Siapakah sesungguhnya manusia yang telah menegakkan sebuah pilar di  tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? ”Dialah  penyair mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris,  Reynold A Nicholson. ”Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab  suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi, Al-Masnawi .  Bahkan, cucu ar-Rumi, Sulthanul Auliya Maulana Syekh Nazhim Adil  al-Haqqani, kagum dengan kakeknya tersebut. Ia berkata sebagai berikut.  ”Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan. Saya mencintainya dan  saya mengaguminya, saya memilih jalannya, dan saya memalingkan muka ke  jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih  yang abadi. Dia adalah orang yang saya cintai, dia begitu indah. Oh ,  dia adalah yang paling sempurna.  Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah  sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah  rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.”Itulah  Jalaluddin a-Rumi, sang sufi penganut cinta sejati untuk Tuhannya.  Sumber : Republika Newsroom

Dikutip Dari: <a href="http://www.2lisan.com/agama/ajaran-cinta-sejati-jalaluddin-ar-rumi/">http://www.2lisan.com/agama/ajaran-cinta-sejati-jalaluddin-ar-rumi/</a></div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar