Minggu, 06 Maret 2011

Kitab Kuno

KITAB ADIPARWA

Adiparwa adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata.
Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa).
Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik.
Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa.
Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata.








Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya: (di anyam dalam cerita bingkai).
a Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana).
b Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
c Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
d Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
e Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
f Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.
g Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
h Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
i Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
j Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
k Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan sang Widura.
l Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
m Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Bahagian yg terpenting :
Mangkatnya Raja Parikesit. Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.
Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak.
Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu).
Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Beliau mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah.
Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan.
Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para patihnya.
Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.
Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja.
Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan.
Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka.
Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka.
Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara.
Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara.
Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya.
Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya,
Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.

Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra.
Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya.
Beliau adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.

Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura.
Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera.
Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang.
Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja.
Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya.
Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang.
Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.

Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama.
Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa.
Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada.
Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya.
Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra.
Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur.
Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.
Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan.
Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.

Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala.
Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri.
Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik.
Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria.
Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, “Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta”. Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, “Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh”.
Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa.
Hukuman dari perbuatan yang menggangu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa.
Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka.
Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno.
Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada.
Dari hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat

Bagian penting cerita
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Beliau memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda.
Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya.
Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta.
Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra.
Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada.
Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya.
Kisah pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci).
Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan.
Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta.
Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya.
Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.
Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.

Kisah Sang Garuda dan para Naga
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri.
Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka.
Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas.
Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda.
Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari.
Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta.
Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”.
Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”.
Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu.
Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang.
Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Bahasa dan sejarah
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu.
Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).


Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan.
Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.
Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli.
Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa].
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja.
Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa.
Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja.
Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam.
Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.
Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.

KITAB PRIMBON SUNAN BONANG
(KITAB PRIMBON SUNAN BONANG)
Bismi’llahi’rrah’mani’rrahimi, wa bihi nasta’in
alhamdu lillahi rabbil alamin,
wa shalatu ‘ala rasulihi Muhammadin wa washabihi ajma’in.
Sunan Bonang
Nyan punika caritanira Shaich al Bari : tatkalanira apitutur dateng mitranira kabeh ; kang pinituturaken wirasaning Usul Suluk – vvedaling carita saking (2) Kitab Ihya ‘ulum aldin lan saking Tamhid – antukira Shaich al Bari ametet ®) i(ng) ti(ng)kahing sisimpenaning nabi wali mukmin kabeh.


PUPUH I
Mangka akecap Shaich al Bari – kang sinalametaken dening pangeran : e-Mitraningsun! sira kabeh den sami angimanaken wirasaning Usul Suluk i(ng)kang kapetet ti(ng)kahing anakseni ing pangeran ; miwah kawruhana yan sira pangeran tunggal, tan kakalih; saksenana yan sira pangeran asifat saja suksma mahasuci tunggalira, tan ana papadanira, kang mahaluhur. e Mitraningsun ! den sami amiarsaha, sampun sira sak malih ; den sami aneguhaken, sampun gingsir idepira.
Iki si lapale tingkahing anakseni ing pangeran : “Wa ash’hadu an la ilaha illa llahu wah’dahu, la sharika lahu wa ash;hadu anna Muhammadan rasulu llahi”.
(3) Tegese ikU: ingsUn anakseni | kahananing pangeran kang anama Allah, kang asifat saja suksma, langgeng kekel wibuh sampurna purba qadim sifatira mahasuci, orana pangeran sabenere anging Allah uga, pangeran kang sinembah sabenere kang agung.
e-Mitraningsun ! sang siptaning lapal “ora” iku: dening sampun awit itbat karihin, nora malih anaksenana i(ng)kang nora yakti ; tanpa wiyos idepe wong iku mene.
Kalawan ingsun anakseni yan baginda Muhammad kawulaning Allah kang sinihan, ingutus agama islam iya iku i(ng)kang tinut dening nabi wali mukmin kabeh.
e-Mitraningsun ! karana satuhune lapal “nora” iku: nora malih angorakena satuhuning Allah pangeran, nora malih angorakena pange(ra)n siya siya – tegesing siya siya (4) iku kadi ta ana | peken barang kakasihe: nora malih. Yan mo(ng)konoa salah tunggal den orakena kupur uga wong iku mene.
Kewala si lapal “nora” iku: sikeping wong kang sinung wasil paningale kang antuk pastining iman sakadare ika. Kewala lapal „nora” iku: i(ng)kangandelingaken mahasucining pangeran jan tunggal tanpa kufu’ iku siptane kang anduweni sabda iku.
Lan norana papadaning Allah pangeran. E-Mitraningsun Sang siptane lapal kang ingorakaken iku iya i(ng)kang orana pisan papadaning Allah pangeran. Tegesing sang sipta iku : dening mantep ananira uga kang andelingaken ing mahasucinira ing piambekira, mapan orana kang Iyan saking Allah pangeran. Kaya apa ta idepe wong iku mene yan anaha papadaning pangeran, duk sadurunge angucap (5) “orana pangeran” iku, | wus pasti ing idepe yan anging Allah pangeran kang sabenere, kang sinembah kang pinuji kang tunggal andadeken satuhune kang agung.
Mangka a(na)bda Shaich al Bari: e-Mitraningsun! karana i(ng)kang napi iku sawusing itbat, karana, duk angucap: “orana pangeran” iku, wus awit itbat: “anging Allah uga pangeran kang sabenere”. Iku salamete ujar iku.
Anapon kaping kalih, kang ingitbataken i(ng)kang anama Allah kang asifat saja purba langge(ng) kekel agung mahasuci : iku wiyos ing napi-itbat. Utawi pastining napi-itbat iku lungguhe ing kawula uga. Kang ingitbataken ta kahananing Allah uga kang asifat saja, mapan saos kang inganakaken lan kang ingorakaken – iku sang sipta – tan Iyan ananira uga, kang andelingaken (6) maha | sucining piambekira, kewa(la) si pangestuning kawula iku anut umiring saking pangakening wah’dahu la sharika lahira anakseni ing tunggal ing katunggalaning mahasucini(ng) piambekira.
Mangka anabda Shaich al Bari: e-Mitraningsun ! karana satuhune ingsun anakseni: anging Allah pangeran kang sabenere kang anitah angreh ing sembah puji kabeh dadi syuh sirna paningalingsun ing jiwaraga iki ; tuwi si ing sembah puji ika, anging kang saja mahasuci kewala langgeng amuji pinuji ing pamujinira, tan owah tan gingsir, tan asifat waliwali saja purba tanpa wiwitan tanpa wekasan.

PUPUH II
e-Mitraningsun! aja sira kadi ujaring wong sasar : iki si ujaring wong sasar iku, AbduI Wahid arane : mangka angucap AbduI Wahid ibnu Makkiyyah – anak pandita Mekah – ika, atunggul sastra tan (7) | apatut kalawan tegese : iki si lapale :
“Al’atlu qadimun wa huwva nafsul mutlaqi wa huwa dhatu’llahi ta’ala”.
Tegese: kang liwung saja iku, iya iku dhatu’llah, sabener-benere pangeran kang sinembah.
walakin laisa lidhatihi waqifun, tatapi ta napining Allah liwunging Allah iku nora (wikan) yan suwunga.
Walakin(na) qabla chalqi(l) rasuli Muhammad(in),
tatapi ta sadurunging andadeken nabi Muhammad anging sira pangeran kang ana dewek tanpa rowang, norana kawula sawijia, kadi ta angganing sungging sadu runging andadeken, panuli(s) sadurunging anulis : ija iku tegesing liwung napi dhatu’llah nora ing devveke, norana i(ng)kang angawikanana ing dewekira, norana (ingkang) amujia ing anane anging sifate amuji ing (8) date – iku sadurung(ing) andadeken | rasulullah – norana sakutunira nora kaya apa : kaya iku liwung napi dhatu’llah. Anapon sawusing andadeken rasulullah iku mina(ng)ka kanyatahan ing dhatu’llah, ija rasulullah iku saosik lawan dhatu’llah iya, iku i(ng)kang awertaha pardana kabeh iya i(ng)kang pardana iku saosik lawan sih nugrahaning Allah iya sakatahing dumadi iki mina(ngka) tuduhing Allah”.
Mangka anabda Shaich al Bari : e-Mitraningsun ! pamanggihingsun ta nora mongkono kaya Abdul Wahid iku. Karana satuhune pangucape Abdul Wahid iku kupur ing patang madh’hab. Dhatu’llah denarani napi nora ing deweke, kalawan sira pangeran den arani durung andadeken ing rasulullah, durung andadeken ing sawiji-wiji : iku kupure. Karana satuhune kahananing (9) pangeran saja purba | karihin sadurung ana(ning) rasulullah kalawan sadurung ananing sawiji-wiji kahananing Allah mahasuci lan sasifatira chaliq, ananira saja langgeng amuji pinuji ing piambekira purba tan asipat waliwa(li), mapan langgeng kekel ananira mahasuci, tan bastu-jisim tanpa timbangan, tanpa lalawanan rehing langgeng ananira mahasuci.
Mangka anabda Shaich al Bari : e – mitraningsun! Abdul Wahid angucap: kang liwung den tegesaken maring ora : ikupon kupur, karana tegesing liwung iku suksmaning pangeran mahasuci saja ananira, tan ana wikana ing suksmanira tan Iyan piambekira uga punika reke tegesi(ng)kang liwung saja wruh ing suksmanira piambek.
Kadi ta kecping Abdul Wahid sakatahing dumadi denarani tuduhing Allah : ikupon kupur. Satuhune (10) tegesing tuduh iku | sifatullah, utawi anuduhaken iku sifat nugrahaning Allah : iku ana korup ing paekan tuduh lan anuduhaken iku dadi ingaran salwiring dumadi iki tilas kanyatahaning tuduh sipat nugrahaning Allah ika tan ana i(ng)kang akarya;

PUPUH III
e – Mitraningsun ! ana si kecaping wong sasar satengah; „i(ng)kang ana iku Allah; i(ng)kang ora iku Allah” , den tegesaken oraning Allah iku nora andadeken. I(ng)kang angucap iku kapir. Kang nora denarani ana gawene, den tegesaken: kang ora iku andelingaken mahasucining pangeran, nora dumeling mahasucining pangeran iku. Yan tan anaha, nora karane dumeling mahasucining pangeran iku dening ora, kadi ta angganing wong alinggih dewek ing asepi kederan dening ora. Iku njata(ne) Yen (11) sasar. | Mahasuci sira pangeran saki(ng) kadia kecap iku! Karana satuhune sira pangeran kang mahatinggi kang mahaluhur suksma mahasuci tan kadihinan dening ora, tan sarta kalawan ora, tan kederan dening ora rehing langgeng ananira mahasuci pastine tanpa tuduhan.
e-Mitraningsun ! mboya kang ora iku – kaia wirasaning sastra kadia sipating pangeran sifatulsalbi, tegese : sifating pangeran mahasuci lan kadi sawiji-wiji.
Anapon lam(pahing) salab iku : dudu malih sifating pangeran dudu malih sifating machluq, kewala si salab iku tantan andelingaken padudoning kawula gusti, tegese : sifating pangeran tan kadi sifating machluq sifating machluq tan kadi sifating pangeran, tatapi ta salab iku nora jan (12) angemaha dat, dat sipating pangeran sami angema salab, | beda salab iku lan kang ora iku – kang tan kinarsaken dening Pangeran – dadi nora andelingaken mahasucining pangeran : iku pamanggihingsun ing sastra. Utawi i(ng)kang andelingaken mahasucining pangeran iku sarira kanugrahan saking sih nugrahaning pangeran uga : iku kang angestoken anut umiring saking (sih) pangakenira andelingaken mahasucinira yan tunggal tan kakalih. Iku wiyosing anakseni ika, mapan sabdaning wong ‘arif ika nora anguninga napi itbat malih anging wiyose kewala kang ingitbataken : iya kadi iku wiyose sampurnaning napi itbat iku dening sampun anunggal paningale.
Mangka anabda Shaich al Bari kang sinung rahmat dening pangeran; singgih puniku kang atuduh marga agung abener : e-Mitrani(ng)sun ! kalawan ingsun (13) anakseni satuhune anging | Allah kang asifat saja asih anjateni tan antara sapolahi(ng)kang sinihan, amenuhi sih nugrahanira dadi nir anani(ng)kang sinihan tan sah anut i(ng)gek ing sihing dhatu’llah Iku wiyosing panarimani- (ng)kang lewih lewih ika, karana reke yan tan mangkanaha, wiyose idepe wong iku nispra tur ajnyana, tan wruh ing wadine.
Mangka matur Rijal ing Shaich al Bari : Sarwia subakti, ya guru amba ! anenggeh ta reke osiking jiwaraga puniki sarta lan sih nugrahaning pangeran?.
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! Iya ujarira iku anging maksih amilang paekan, ingsun ta, Rijal, ora mongkono. Osiking jiwaraga iku enir, anging dhatu’llah kewala kang angandeh anirnaken anam(ng)kang sinihan ika, mapan ta reke panarimani(ng)kang lewih lewih iku saos(s)aosing martabating pamanggih : kang (14) pinanggih | ananira kang tunggal tanpa kufu’ kang asifat saja (mahasuci) sasifatira apaekan kadi asma’nira, sangangpuluh (sa)sanga(ng) jangkep dateng nama Allah. Tegese (sangangpuluh) (sa)sanganing tunggal tegese paekaning sasifatira tan Iyaning ananira uga.
Mangka matur Rijal : sarwia subakti, anuhun i(ng) jeng, ya guru amba, Shaich al Bari ! Kadi punendi ing tampa tegesing dalil : “tekane saking Allah ulihe maring Allah”?
Ma(ng)ka anabda Shaich al Bari : e Rijal! Tegese : puji saking Allah (kang) pinujeken anging Allah, tegese : paningal saking Allah kang tiningalan anging Allah. Iku salamete. e Rijal! ujaringsun ta : tekane saking tan Iyan, ulihe maring tan Iyan.
Mangka matur Rijal : ya guru amba! kadi punendi siptane andika tuwan puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari) : e Rijal! Tegese : ujaringsun iku sang sipta kadi ta upamaning angilo (15) anane osike tingale | wawayangan ika kang angilo uga iku tegesing “saking” ika. Anapon tegesi(ng) “tan Iyan” kang angilo andulu dinulu tan Iyan pandulunira uga. Iku wiyose ujaringsun iku.
Mangka anabda Shaich al Bari : e Mitraningsun ! Kadi ta ujaring Shaich Abdul Wahid : “sira pangeran denarani dereng andadeken ing sawiji-wiji lan durung anjateni ing rasulullah”, pangucape Shaich Abdul Wahid iku kupur. Kadi apa ta sira pangeran andadeken iku awiwitana awekasana? Karana satuhune kahananing pangeran kang mahaluhur asifat saja agung mahasuci langgeng kekel andadeken anjateni purba qadim tan asifat waliwali tan owah tan gingsir tanpa wiwitan tanpa wekasan rehing langgeng ananira mahasuci.
(16) Mangka anabda Shaich al Bari : e Mitraningsun ! | Lan ingsun anakseni kahananing Allahu ta’ala asifat saja asih anjateni anir(n)aken a(ng)ganteni ing sasolahing sarira kanugrahan dadi enir ananing sarira kanugrahan kaganten kalingan anane dening wibuhing sih, kahanani(ng)kang anjateni kewala kang angalingi anging ananira uga kang asifat saja urip wruh kawasa aningali amiarsa akarsa anabda purba mahasuci langgeng kekel ame(ng)ka tan owah tan gingsir amuji-pinuji asih sinihan ing piambekira.
e Mitrani(ng)sun ! Iki si lapale :shahidtu nafsi,tegese : sira pangeran anakseni ing mahasucining piambekira agungaken i(ng) sifat kahananira purba ing dewekira tunggal ing katunggalanira agung ing kagunganira ratu. ing karatonira langgeng amuji-pinuji i(ng) piambekira.
(17) Mangka anabda Shaich al Bari : | e Mitraningsun ! Iku sampurnaning anakseni i(ng)kang kapeta ing shahadat ika, iku wiyosi(ng)kang winuwus akeh-akeh ika.

PUPUH IV
Mangka matur Rijal : sarwia subakti, ya guru amba!
Kadi punendi wirasaning sastra punika : mas’alah ‘ishq ‘ashiq ma’shuq?.
Mangka anabda Shaich alBari: e Rijal ! Tegesing ‘ishiq iku sifatira, tegesing ‘ashiq iku ananira, tegesing ma’shuq iku af’al ira, mapan paekaning sasifatira tan Iyaning ananira, mapan sasifatira sarta andadeken tan anantaranira anani(ng)kang agawe lan kang ginawe, tan ana kari karuhun, tegese : tansah ing karsa parekipun kadi sartanira andadeken chaliqu’Imachluq kun fa yakun, iku tegesing sarta kang agawe kalawan kang ginawe, mapan sadurung inganaken ananingkang jinaten lan anani(ng) kabeh iki, uwus pasti ing kawruhira tekani(ng) waktune (18) dadi ing | mangko, iki tan siwah ing karsanira.
e Rijal! ingsun ta mengkene : kang ‘ishq-dhatu lah, kang ‘ashiq-dhatullah, (kang) ma’shuq-dhatullah.
Mangka matur Rijal: ja guru amba! Kadi punapa sang sipta andika tuwan puniku?
Ma(ng)ka akecap Shaich alBari : e Rijal ! tegese ujaringsun iku ‘ishq-dhatullah : birahi ing ananira, tegesing ‘ashiq-dhatullah : kang biniraheken ananira, tegesing ma’shuq-dhatullah : kang birahi tan Iyaning ananira uga. Ika ta ingidep dening tan amarna paekan malih. Iku salamete, nora kaja ujaring wong sasar mangkana kecape : tegesing ‘ishq‘ashiq iku duk durung birahi, tegesing duk lagi birahi, tegesing ma’shuq ambiraheken iku ija ruh idafi iku ma’shuq ing af’alullah. Kang angucap iku kupur!

PUPUH V
Ana wong sasar malih angucap : iya namane iya karsane, (19) iya namane iya date, iya dat(e) iya | karsane. Iku amor ing paekan, tan wruh ing panunggale : iku karane (yen) sasar.
Mangka anabda Shaich al Bari : e Mitraningsun ! Ana kecaping wong sasar malih, K a w i b a t a n i y a arane, atu(ng)gul sastra, anging tan apatut lan tegese, tan apatut lawan budi, miwah ing Usul Suluk, kadi ta ing Tamhid, ing Ihya ‘ulum aldin norana kapanggih dening-sun – iku nyatane yen sasar! kadi angrupakaken sifating pangeran, kadi angapesaken sifating pangeran, kadi akecap : sakatahing dumadi iki sifating Allah, kadi anganakaken ingkang nota, kadi ama’dumaken ing Allah iku kupur ! ; akecap : endi sifating Allah? kang angucap iku dadi kapir.
Tegese angapesaken i(rig) sifating pangeran : sifating pangeran ora mateni ora andadeken ora anjateni ora weh (20) rijeki pasti kang | angucap iku dadi kapir dening anganakaken ingkang ora. Tegese (iku) ama’dumaken ing pangeran angucap : Allahu ta’ala ora ing deweke, ma’du(m) binafsihi - kang angucap iku dadi kapir.
Ma(ng)ka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi puniku, dadia kapira pun temen puniku i(ng)kang akecap mangkaten punika?
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! Kang angucap iku kapir tenien – Allahu ta’ala denarani ora andadeken lan angapesaken sifating pangeran, lan amurbaken ingkang ora, lan amor paekaning sifating pangeran : mapan narakane kang angucap iku awet kapetekaneng dasaring narakani(ng) wong kapir.
Tuwin antepe kawruhe wong mongkono iku : paningal(e) iki paningaling Allah, sifate iki sifating a) Allah, pakarjane (21) iki pakaryaning Allah, pangucape iki pangucaping | Allah, mapan tegesing Allah iku dat, mangkana malih : osiking jiwaraga iki osiking Allah ija iku traping Allah asung eling asung awas kadi ta u(pa)mani(ng) gelepung wos (s)atu(ng)gal ketan satu(ng)gal, mangka winor : esak punapa ta yan aranana ewos. e Rijal! ika nyatane yen sasar, mapan beda iku lawan andikaning pangeran ing dalem Qur’an:
“maraja bah’raini yaltakiyan(i) bainahuma barzachim la yabghiyani”.
Tegese : kadi patemoning sagar,a kalih asin lawan tawa, anta arane iku, aworeneng rana. Nyatane tegese; ora kena aranana sagara, tan kena aranana toya tawa, utawi ta i(ng) jenenge iku anta, tegese iku dening linewih saking toya kabeh dadi anarima namaning sigihing sagara. (22) Anapon ing sampurnane iku ta tan ana | panarimane, anging sagara kewala kang angandeh anar(n)aken ing toyane tawa, mapan i(ng) karone iku langgeng apadudon tanpanisih kang anjateni lan kang jinaten. Nora kaja patemoning wong sasar mangkana, kang pasti kekel .sasoring narakani(ng) wong kapir ndening kataksisaning tampane. Karana satuhune sasmitane iku sampun kataksisani(ng) tampane andeandene kaJawan kang ingandekandekaken den kagrahita dene kang sinung awas, katampanana ing ati, sampun ing Iesan kewala. Kewala si ande-ande iku ingambil raket ing paningali(ng) kang sinihan. Mahasuci sasipating Allah saking atiti(m)ban, gana lan kawoworana, kadi lapal :
kama’lnasu ghara fi’lbahri, tegese : kadi ta wong asilem i(ng) sagara (23) tegese : kaliputan dening | sagara, tegese : tan lumiring i(ng-) ikalihe malih, la yaltafit,tegese : tan emut ; utawi sasmitane lapal malih idha ja’a ‘lmataru fi ‘lbah’ri, tegese : tatkala teka udan iku ing sagara, (wa) yusamma ‘lbah’ra, tegese : ingaranan sagara.
Utawi sasmitane lapal malih, kadi ta kecaping pandita satengah :
fa waqtan yakunu (‘l)abdu rabban,(tegese tatkalaning fana kawula iku awiyos sira pangeran, bila shakkin,tegese : sampun sak malili, (la ‘abda), tegese : norana kawula sawiji-wijia
illa ‘lrabbu, tegese : anging sira pangeran kang saja angandeh anir(n)aken anani(ng)kang sinihan. Iku salamete ujar iku kabeh.

PUPUH VI
Mangka akecap Shaich al Bari: e Ridjal ! Anaudjaring wong sasar malih, Karramiyyah arane : kang iman tawh’id ma’rifat iku den arani tetep ing pangeran, den (24) karepaken dene wong | sasar iku : sira pangeran aneguhaken ing piambekira yen purba tanpa kufu’ iku tegesing iman, sira pangeran anu(ng)gal paningaling piambekira iku tegesing tohid, sira pangeran awas andulu-dinulu ing ananing piambekira – iku tegesing ma’rifat.
e Rijal! Kupure iku ; iman tohid ma’rifat iku den tegesaken maring paekaning wujud tunggal : iku karane (yen) sasar. Karana satuhune iman tohid ma’rifat (iku) titiga iku martabat lungguhe ing kawula, tetep i(ng) kang sinihan, dede iman tohid ma’rifat ing Allahu ta’ala. Dudu i(ng)kang angucap iku iman tohid ma’rifat tetep ing pangeran, kang angucap iku dadi kapir! e Mitraningsun ! Kalawan sira aja angucap kadi pangucaping wong sasar ika, manawa sira dadi kapir, mapan akatah. angucap kadi anutur ujaring wong sasar iku, (25) sami atunggul sastra. Aja sira gumawok, | sampun gingsir idepira; balikan sira den awas angawikani ing awakira lan aja pegat mushahadahira ing pangeran.
Tegesing awakira iku sarira kancegrahan : singgih puniku mina(ng)ka paesanira enggenira awas ing sih nugra(ha)ning pangeran. Ye(n) tansah anugrahani asung wruh, anjateni ing sarira kanugrahan, mapan solahing sarira kanugrahan iku tan antara lan sih nugrahaningkang anjateni ; dadi sira aja tumingal ing Iyan, tumingala sira ing sih nugrahaning Allahu ta’ala uga, dadi sira antuk madyaning tingal salamet sira ing dunya dateng ing aherat, antuk sira jenenging manusya. Lamon ugi sira nora mongkonoa ing tingkahira iki, yakti kapaung tingalira iku mene. Satuhune ananing pangeran kang asifat saja langgeng mahasuci tan Iyan ananira uga, kang tan bastujisim ananira kang purba andadeken kang asifat suksma (26) jati | tan anuksma tan sinuksma tan awor lan salwiring (du)madi kabeh, rehing langge(ng) anani(ng)kang purba, mapan ananira mahasuci suksmanira wibuh sampurna elok mahamulya mahatinggi mahaluhur, utawi ananira tan ana wikana ing suksmanira tan Iyan(ing) piambekira kang wikan ing suksmanira pribadi.

PUPUH VII
e Mitraningsun! Lamon ana wong angucapa mengkene, kapir : sifat iku ana ing dat, asma’ iku ana ing deweke iku pon kupur! Mengkene salamete : asma’ ning dat tan Iyaning ananira (ananira) kang asifat saja langgeng mahasuci, kang purba andulu dinulu ing ananira, kang mahasuci amuji-pinuji ing piambekira.
e Mitraningsun! Lamun ana wong angucapa mengkene “sipat sipat, edat edat” ikupon kapir, apa ta kahanan roro iku yan mongkonoa. Satuhune mengkene salamete (27) paekani(ng) sasifatira tan Iyaning ananira. |
e Rijal, mitraningsun ! Ana ujaring wong sasar *Mutangiyah arane akecap : Apa tegese idepe iku denarani ora kapurba : Allahu ta’ala nora amurba, mapan jenenging kawula iki ora, apa ta purbane, mapan mantep pandelenge : Allahu ta’ala nora amurba, mantep amuji pinuji ing deweke, apa ta karane yen amurbaha? Kang angucap iku dadi kapir.
e Mitraningsun ! Kalawan ta kang orana araharahe, kang orana kajatine kang tan awarna kang tan kaya apa nden arani mahasuci purba andadeken iya kang sinembah tunggal. Iku panga(ng)geping wong sasar, *Muntanengiyah arane.
Utawi ana wong sasar sawiji, ‘Arabiyah arane, akecap : sadurunging ana jagat iki kabeh nama Allah pon dereng nyata lan dereng ana iku dat ; mangkana malih dat (28) | iku anyatakaken ing asma’nira, sarta lan dadine jagat iki kabeh, ingupamakaken dat iku kadiangganing wiji-sawiji awit agodong akembang awoh iku sami amuji ing wit, lintang nikmate rasane manise godong sekar woh iku. Singgih puniku rahasya kabeh rahasyaning wit, norana rahasya wawaneh ; kabeh iku rahasyaning wit : (i)ya iku tegesing dat samata ika tanpa sifat tanpa af’al. Tegese iku : date qadim, sifate af’ale muh’dath anging dat kewala kang ana dewek tanpa rowang. Mangkana malih kahanane jagat iki kabeh rahasyaning dhatu’llah, mapan pujining kabeh iki iya amuji ing dewekira iku. Tegesi(ng)kang amuji ing date kang pinuji ing date kang aningali Allah. Tegese jagat iki kabeh gelaring wiji sawiji, maksih sawiji, tan ana wawaneh, kadi ta ang(29)gani(ng) wesi | bariyuh sawiji, wonten dadi tumbak, dadi duhung tatah wadurig panyukur, dadi usu cacatut
edom kadut, linebur pinalu dadi tosan malih : dene si asale saking wesi sawiji mulih kadjatine sawiji. Mangkana rnalih osiking jiwaraga iki osiking dhatu’llah paningaling kawula iki rahasyaning dhatu’llah. Kang angucap iku pasti kinekelaken sasoring narakaning (wong) kapir kang anembah ing brahala ika.
Mangka anabda Shaich al Bari : e Mitraningsun ! Ana si sabda kang kocap ing sastra ika kadi ta andikaning dalil dateng ing h’adith :
alinsanu sirri wa ana sirruhu,
tegese andika iku : rahasyaning manusya iku rahasyani(ng)-sun, ingsun pon rahasyane. Tegese iku : dening rahasyaning manusya iku tansah dinaten i(ng) sih saking pa(nga)kening sihing dhatu’llah dadi rahasyaning manusya (30) iki tansah anarima angestoken umiring | pangakening sih rahasyaning dhatu’llah. Iku wiyosing panarimaning manusya kang linewih sinelir ika, mapan sira pangeran kang saja asih angasihi ing piambekira iku minargaken panarimaning lisaning manusya, kewala si sihi(ng) kawula iku minangka walesaning angasihi edat ing sifat af’alira, dadi darma malesi kewala lisaning kawula iki.
e Mitraningsun ! sira pangeran agelar ing kawidagdanira anyata(ka)ken ing saniskara kabeh kasaktenira dat-sifat-af’alira. Kalawan kawruhana salwiring pakaryanira norana apakarana saking kawula utawi anaha sakedep netra ing angenangene, anaha uga apakarana saking kawula kupur.

PUPUH VIII
Kalawan ta sira sami aulaha saca, nden akehakeh wedinira lan awiranga sihing pangeran, aja sumambarana kalawan sira angrasanana;
1. mamanising asepi
2. mamanising (31) | aluwe
3. mamanising urip
4. mamanising rame
5. mamanising lara
6. mamanising pati.

Mangka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi mamanising asepi puniku kalawan mamanising aluwe? Mangka anabda Shaich al Bari : e Rijal! Tegesing mamanising asepi iku tan keneng apasah tansah akarwan lulut lan pangeran Iku wiyosing asepi ika (i).
Anapon mamanising lapa iku kawruhana jeroning lapa iku tansah angrasani ni’mat saking sih nugrahaning Allah. Iku wijosing lapa ika.
Anapon mamanising agesang iku : kawruhana jeroning uripira iku tansah lumampah ing pakening sabda purba – wisesaning pangeran. Iku wijosing aurip ika.
Anapon mamanising arame (iku) : kawruhana jero(ning) rame iku yan sati(ng)kah-polah iku minangka pangi(n)(32)tipanira dadi katingalan sih nugrahaning pangeran | kewala. Iku wijosing arame ika.
Anapon mamanising alara (iku): kawruhana jeroning alara iku angrasani pakenake iku, ing enenge ing osike ing pangaduhe ing pangesahe, iku mina(ng)ka pamudjine. e Ridjal ! Yen sira wruha ing awakira iku, yen tansah angrasani ni’mat saking sih nugrahanira sadum parentahira, mapan tan antara kang amolah lawan kang pinolah! Iku wijosing lara ika.
Anapon mamanising pati iku : kawruhana jeroning pati iku ye(n) tansah jinaten ing sih tan sinung mulat i(ng)kang Iyan malih, dadi nir patine kandeh kaganten kalingan anane dening wibuhing sih, (ing) anani(ng)kang saja asih anjateni kewala tan Iyan anani(ng)kang sajaagesang langgeng amuji-pinuji andulu dinulu ing pandulunira. Iku wiyosing pati ika.
Lamon ugi nora mo(ng)konoa, i(ng)kang atapa iku | (33) tingale saparti h’aywan tingale z’ahir batine wong iku sato uga!
e Mitraningsun! Mapan kang sinung wikan iku wasil paningale ing pangeran, tan ana patine, salamet ing dunya, urip ing aherat. Kang nem parkara iku ta poma ®) den sami kalampahan denira den sami kacep kabeh.
PUPUH IX
Ma(ng)ka matur Rijal : ya guru amba! Punapa ta puniku lampahing wong lewih?
Mangkaanabda Shaich al Bari : e Rijal! (Lam)pahing wong lewih iku kabeh yen ta sira wikana, mangkana luputa ing paningalira iku kabeh, mapan sakatahi(ng)kang karasa i(ng)kang tiningalan miwah ing osike jiwaraganira iku kabeh, ing enenge, ing duka-cipta nastapane kabeh iku dudu lan deweke saparti batang lumampah ; anging lumampah lan idining sih kaharsaning pangeran ugi. (34) Ika mina(ng)ka sapatemonira lan | pangeran, mapan reke osiking jiwaraganira iku sarta lan sih nugrahaning Allah, tatapi osiking jiwaraga iki sarta lan dhatu’llah, tegese : tan aganti lan pangawasaning Allah. Anapon kawula kang sinung sampurna tingale maring anane jaga(t i)ki kabeh i(ng) rupane ing solahe dadi kedape tingale anging wiyosing tingal iku : sira pangeran kewala.
e Rijal! De(n) wruh sira ing anane awakira iki, karane ing anane ing patine duk sira durung dadi, aduwe paran €) sira samana, utawi si ing tembe dening maksih ina ing jenengira iki, tegese dening kalintang tanpa derbe ^). Utawi aderbe paran sira samana, mapan ananira iki ingupamakaken kadiangganing wawajangan, kewala sidening kinarsaken enggening anunggal (pa)ningalira i(ng)kang angilo pribadi, kang aningali tiningalan kang (35) asih sinihan tan Iyan(ing) | piambekira. Kewala si panduluning kawula iki pina(ng)ka cihna panduluni(ng)-kang asih (asih) sinihan ing dewekira dadi nir panduluni(ng)kang si(ni)han kawibuhan dening sihira kang saja aningali, kewala si panduluning kawula iki darma amalesi.
Ma(ng)ka jan ana akecapa mengkene : kang angilo iku nora aningali wawayangan, kang angucap iku dadi kapir. Kalawan ta sira adja gingsir lamun dinedeken ing wong, den apageh idepira. Yen malih sira gingsira, tan antuk pastining kawruh kalawan iman, karana wong kang angluputaken iku ana kang olih marga abener iku, ana kang olih marga sasar. Anapon kang olih marga abener iku : tingkahe wong iku arep pada pada nora malih amelag rarasan sajane amamarahi winarahwarahan, tan ajun dadosa patakenan angilapaken agelisa mengeti ®(36) ing salamete, tan ayun agungena ing awake, | tan ajeng angakena ing kabisane, tan ayun akarya-karya, tegese : dening asanget awedi lan awimng ing pangeran : iku reke cihnaning wong sinalametaken, sinung marga abener dening pangeran, iya iku kang sinung wasil paningale antuk idep tan pegat sinalametaken ing dunya dateng ing aherat.
Anapon kang a(ng)luputaken a(n)tuk marga sasar iku, angilapaken tan asadya amamarahi amalaku ing idep(e), agungaken ing kabisane ayun ing hormataning wong kalingan dene awake dening agungaken ing kabisane. Utawi tingkahe wong kang mongkono iku pancanetra sawadiane oliha ing karsane dene si i(ng) sad-yane arep dadia pangulu utawi lampahe kabisane arep kapiarsaha ndening wong akeh aduwe ‘ilmu sakecap agepeh den wejangaken abungah aburu alemaleman. Iku reke ©(37) | cihnaning wong sinungan jaza’ dening pangeran tan pegat susahe arubiru, tan eca atine dening awet amet gingsiraning wong dene si arep kasihana ndene samasane machluq. Ikpe lah kang kinaumaken lan Iblis - la’natu’llah.
e Mitraningsun! Sira kabeli adoha sira saking wong sasar lampahe kang mo(ng)kono iku, manawa sira katularan sasar; balikan sira anedaha sakauraa kalawan kang sinihan ika, i(ng)kang tansah ing sihing pangeran, anedaha sira sing patulunging pangeran.
e Mitraningsun! Kalawan ta sira aja nga(m)bil dedening wong, utawi aja sira murtadd ing samitranira kang asih ing sira. Kupur hukume ! Tegese asih iku amamarahi kawruh kang sabenere. Wenang mitra iku yan ti(ng)galena, yen wus nyata pangucape iku yen sasar, selang
iku si aja sira mu(ng)kir pisan tedakena ing pangeran, sang(38)ka(na)ne abalika ®| agelisa atobata ni(ng)kaha malih kalawan
rabine. Iku salamete. Kalawan ta sira aja anyipta dunya, kalawan aja sira murtadd sami-saminira islam!
e Mitraningsun! iya kang keneng sakawan parkara iku, kalintang kinagedegan dening pangeran. Wong kang mo(ng)kono iku mesum ing dunya dateng ing aherat. e Mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami saminira islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah.
PUPUH X
Mangka anabda Shaich al Bari : (Ru’yatu’llahi) arus tan arus.
Mangka matu(r) Rijal : ya guru amba! Kadi punendi tegese andika tuwan puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari : e Ridjal! tegesing ru’yat iku : aningali ing pangeran, ing aherat lan mata kapala, ing dunya lan mata ati. Nora arus ing dunya aningali ing pangeran iku lan mata kapala, kalawan arus (39) ing tembe | aningali ing pangeran iku lan mata kapala. Tegesing mata kapala iku, paku(m)pulaning sakatahing paningal kalintang dening sira pangeran asung ni’mat anampurnaken ing paningali(ng)kang sinihan. Ingucapaken kang paningal iku kadiangganing pati ing undake ta lisah, kadi ta pisang mentah nyadam mateng ing undake dalu, kadi ta angganing sasi tanggal sapisan, ana kang kadi tanggal pi(ng) kalih, ana kang kadi tanggal pi(ng) tiga- ing undake ta kadi purnamasada ®.
Tegese iku ta kabeh dening saja mundak martabate sinampurnaken tingale dening pangeran dadi tan sak tingale ing dat-sifat-af’alira ; mapan kang tiningalan bila tashbih, kang aningali pon bila tashbih.
Mangka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi sa(ng) sipta andika tuwan puniku?
Mangka anabda Shaich al Bari : e Rijal! Siptane iku ®(40) ta | dening jinaten sinampurnaken tingale dadining tingale mantep kadi duk dereng ana mangkana – ma(ng)kana siptane iku – anging anane kang sadja anampurnaken kewala, kang langgeng amuji-pinuji ing piambekira.
Nora arus ing aherat aningalana ing Allah lan mata ati : iya iku salamete ujaringsun : “tan arus” ika. e Mitraningsun ! Beda kadi ingishtarataken wulan ika kadi kang kocap ing sastra : andikaning h’adith dateng wali mu’min kabeh :
innakuni satarawna rabbakum yawma ‘lqiyamati kamatarawna ‘lqamara fi lailati ‘lbadri,
(tegese:) karana satuhune sira kabeh aningali ing dina kiyamat ika kadi ta sira aningali wulan ing wengining tanggal pi(ng) padbelas,
amma damiru ‘lqamari ‘llahu munazzahun bila kaifiyyatin c),
Anapon kang linamiraken dateng ing sasi iku pangeran uga mahasuci kang tiningalan tan kadia ande-ande tan kataksisana. |
(41) Mangka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi sasmitane linamiraken dateng ing sasi puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! . Siptane iku dene tan nyatanira aningali ing pangeran dadi inga(m)bil sa(ng) siptaning sasi ika raket i(ng)kang tiningalan ing(kang) aningali ing pangeran mapan bila tashbih sasifatira, ing mangkin pon boya esak denira angawikani ing ananira tan bastu djisim rehing langgeng ananira mahasuci.
Mangka anabda Shaich al Bari : e Rijal! Nora kaja ujaring wong sasar mangkana ora kecape : satuhune kang tiningalan ing tembe kadi wulan iku nora maring kang tiningalan nora maring kang aningali ma(ng)ka kang angucap iku dadi kapir. (a’udhu bi’llahi) minha!

PUPUH XI
Mang(ka) akecap Shaich al Bari kan g sinampurnakaken iman(e) tohide ma’rifate dening Allahu ta’ala e Mitraningsun! Den sami awa(s) sira ing pangeranira, den ©(42) sami angestokena, | kalawan sira anglaranana sarira tegesing anglarani sarira iku : aja sira sukasuka awakira — kalawan ta aja mamaesi pangan(ira) panga(ng)genira turunira ing dunya. Atinira aja madep ing Iyan balikan sira asukansukanana akalangena lan pangeran.
Mangka matur Rijal : Sarwia subakti, anuhun ing jeng, ya guru amba! Kadi punendi kang iman singgih dede puniku, i(ng)kang tohid singgih kabeh, kang ma’rifat dede kabeh?
Mangka anabda Shaich al Bari : e Rijal! Kang iman singgih dede puniku dening paningaling iman ambedakaken ingkang ala kalawan kang abecik. Utawi panggawe ala nden kawruhi yan tan kinatujon dening pangeran. Iku karaning siptaning iman singgih dede.
Anapon kang tohid singgih kabeh : dene si paningaling tohid iku, tan lumiring ing singgih dede malih, kang den. ® (43) tingali tan Iyan pinangkane kewala dadi | ing tohid singgih kabeh.
Anapon kang ma’rifat dede kabeh ndene si awase paningale iku kang tunggal maring pangeran iku, dede sajatine tingale dadi syuh sirna tingale dening kandeh, kaganten kalingan tingale dening tingali(ng)kang sadja aningali tiningalan tan Iyan paningalira uga, tunggal kang aningali kabeh. Iku wiyosing “pamuji kang amuji kabeh.
PUPUH XII
Mangka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi ma’rifat (t)igang prakara punika, kadi kang kocap ing sastra : ma’rifatu dhati ‘llah, ma’rifatu sifati ‘llah, ma’rifatu af’ali ‘llah), kadi punendi sang siptane katiga punika?
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! Tegesing ma’rifatu dhati ‘llah : kawruhana ananing pangeran kang mahaluhur yan tunggal tan kakalih sasifatira sadja langgeng kekel mahasuci tan bastu-djisim tanpa arah tan
(44) ® misra | tan awor tan anuksma tan sinuksma, rehing langge(ng) ananira mahasuci wonten ing iskinira ing piambekira langgeng ing karatonira tan owah tan gingsir ing pa(ng)lilanira.
Anapon ma’rifatu sifati ‘llah : kawruhana kahananing pangeran asifat h’ayyun : urip langgeng tan kalawan nyawa, angawikani tan kalawan budi, kawasa tan kalawan anggauta, aningali tan kalawan aksi, amiarsa tan kalawan karna, akarep tan kalawan angenangen, angandika tan kalawan lati swara, langgeng kekel mahasuci tan kadi ing dumadi kabeh.
Anapon ma’rifatu ‘laf’al : kawruhana sifat-pakaryaning pangeran : akarya tan kalawan parbot, asung tan kalawan asta, amejahi tan kalawan karga. Iku tegesing ma’rifat tigang warna ika.
Anapon cihnanira yan asifat urip sadja ana wruh (45) kawasa iya anguripi angawasakaken Iwiring | kawasa kabeh, yan anguripi Iwiring urip kabeh : iku enggene nyata. Lan ta sira den sami bakti nastiti paken, lan den aseruh wedinira ing pangeran. Lan raksanen pangucapira saking kadi pangucaping wong sasar punika : demi akecap, dadi kapir, mapan kecap iku medal saking wicarane atine, medal i(ng) lisane, kadi ta wong aguguyon : “ingsun ing tembe sapuluh taun iki arep milu dadi kapir”, demi angucap kadi iku dadi kapir.
e Mitraningsun! Pira wangene idepira! Sakecap sakedap nora yan sira mongkonoa, tan kapira. Kadi ta ujaring wong sasar, manjing kataksisan ing atine, Ka b a t a n I y a h arane, kecape ta : sira pangeran ma’dum binafsihi sira pangeran napi. Demi akecap dadi kapir.
PUPUH XIII
e Mitraningsun ! Aja awasta sira aja wong kang mo(ng)kono iku, karana mesum i(ng) dunya (a)herat (46) amitraha sira sampun, tatapi | ta akatah ujaring wong sasar kang Iyan saking puniku, kadi ta ing kina S h a i c h Supi, Shaich Nuri, Shaich al Djaddi, sami akecap, kagepok ing ujar sasar, mangka kinupuraken denira Imam Ghazali kang awasta ‘Abdu ‘larifin. Tuwi sakatahing sisyane masaek titiga ika sami kinen atobata lan kinen ani(ng)kaha malih kalawan rabine. Mangka akecap masaek titiga ika sami atu(ng)gul sastra, yan sira pangeran ora andadeken. Akecap Shaich al Djaddi :
“alawwahi ‘llahu ta’ala qabla (kulli) shai’in tegese iku : dihin sira pangeran ora andadeken, sadereng ana sawiji-widji iki“.
Ingsun malih ama(ng)geri : sira pangeran dihin sadja andadeken langgeng tan ama(ng)sa, tan asifat wali-wali tanpa wiwitan tanpa wekasan.
Jata sun aturaken dateng padjenganira Imam Ghazali – rah’matu ‘llahi ‘alaihi.
Ma(ng)ka matur Rijal: ja guru amba ! Kadi punendi (47) masaek | titiga punika sami tumut amarek ing Imam Ghazali?
(Mangka akecap Shaich al Bari): e Rijal! Sami tumut masaek titiga ika amarek ing Imam Ghazali : demi katingalan mangka tiningalan masaek titiga ika. Winanpaosaken : a’udhu bi’llahi minha : anglindung amba ing Allah, dohena amba saking marga sasar.
……man ittaba’a ‘lhuda moga lah sira anuta ing margaabener, mapan kinawikanan Shaich Supi, Shaich Nuri, Shaich al Djaddi sami kagepok ing ujar sasar.
Yata ingsun ingulukan salam denira imam Ghazali : Alsalamu ‘alaikum, ya Shaich al Bari, kang sinalametaken dening pangeran kang rinaksa dening Allah saking kagepoka ing marga sasar : punapa karsa tuwan ?
Mangka ingsun atur jawab anapani i(ng)kang (ng)andika imam Ghazali — rahmatu ‘llahi ‘alaihi : ya imam Ghazali kang jinungjung darajate ndening pangeran i(ng)kang amadangi ing wong akatah : amba matur (48) ing tuwan jen Shaich Supi, Shaich Nperi, | Shaich al Djaddi sami akecap: “Allahu ta’ala nora andadeken”.
Mangka angandika imam Ghazali amaca : a’udhu bi’llahi minha, ya Shaich Supi! (Ap)a siptane ujar tuwan puniku ?
Jata matur Shaich Supi : ya imam Ghazali! Nora idep amba yan pastia kadi punika : Sira pangeran tan andadeken iku, kewala si sang siptane kecap amba puniku kadi sabdaning wong ‘arif kang karem kahanane paningale ing pangucape ing kahananing Allah dadi amba angucap : Allahu ta’ala ora andadeken.
Mangka angandika imam Ghazali : ya Shaich Supi! kupur tuwan ing patang madh’hab dening tuwan akecap anakisaken sifating pangeran karana ujar tuwan puniku awit angorakaken angapesaken sifating pangeran iku karan tuwan kupur. Tuwan tegesaken kadi kecapi(ng) wong ‘arif ika : nora mongkono sabdaning wong ‘arif (49) ika, kewala si | semune wong ‘arif iku kadi lapal iki sang siptane :
la ya’rifu …….. la yanz’uruha la yunkiruha ®), tegese : wong ‘arif iku nora kabar ing anane, nora enget ing paningale ing pangeran, nora weruh : tegese iku ta sang siptaning jinaten kandeh kaganten kalingan anane pangucape paningale dening ananing sih nugrahaning pangeran kewala, i(ng)kang asung fana’. Mangkana sang siptaning wong ‘arif ika ora kaja tuwan mo(ng)kono, anakisaken sifating pangeran : iku karan tuwan kagepoking ujar sasar, kagepok ing wong Mu’tazilah.
Mangka angandika imam Ghazali : ya Shaich al Djaddi! Apa siptane ujar tuwan puniku?
Ma(ng)ka matur Shaich al Djaddi : ya tuwanku imam Ghazali! kecap amba kadia puniku Allahu ta’ala ® (50) nora andadeken puniku — saderenging | ana rasulu ‘llah sawiji-wiji dereng ana lawh’ qalam ‘arsh kursi swarga naraka, awang-awang uwung-uwung, ikupon norana; sawuse sirna kabeh, ikipon maksih mangkana uga, anging sira pangeran uga dewek tanpa rowang nora andadeken dewekira : iku mah’alling dhat mulaq jatining ma’dum binafsihi, nora ing deweke : iku tegesing tunggal ing katu(ng)galanira, ratu ing karatonira, agung ing kagunganira, mangka nyata ing kahananing Muhammad, angarsaken ing panggawenira, nyata ing saniskara kabeh.
Mangka imam Ghazali akecap — kang linewihaken kapanditanira, kang tiningalaken ing lawh’ almah’fuz i(ng) jerone wetenge ibunira, i(ng)kang winenangaken angiket Usul Suluk ing jerone wetenge ibunira — : ya Shaich al Djaddi! Kupur lah tuwan ing patang madh’hab, mapan kahananing Allahu ta’ala dihin sadja purba akarsa (51) teka | ta sira arani bodo, sira arani mukup dereng akarsa, dereng andadeken, sifating pangeran dera arani ama(ng)sa-ma(ng)sa. Iku kupurira. Yen ta baya i(ng)sun wenanga amejahana ing sira, supaya sira sun gantung sungsang tur sarwi sun pedang kalintang-linta(ng) denira cala-culu ing pangucapira. Karana satuhune mahasuci sifating pangeran saki(ng) kadia ujarira iku!
Anapon kahananing Allahu ta’ala qadim sasifatira miwah saderenging ‘alam iki kabeh anging kahananing Allah kang asifat sadja langgeng mahasuci sasifatira dewekira tanpa kufu’ sadja suksma asih langge(ng) andadeken tanpa wiwitan tanpa wekasan tan asifat wali-wali. Karana satuhune sifating pangeran suksma langgeng mahaluhur ananira kang asifat sadja tan kena ucapakena : “dereng andadeken, (52) sampun andadeken ‘alam iki kabeh”, angi(ng) | kahanan ika suksma akaharsa langgeng andadeken, mapan sifatira ‘alimu ‘Ima’lum, chaliqu ‘Imachluq, qahiru Imaqhur, qadiru ‘lmaqdur kun fajakun : endi ta uwus-durungira andadeken?
Mapan ananira kang asifat sadja agung ing kagunganira, ratu ing karatonira, tunggal ing katunggalanira, amuji ing piambeki(ra), miwah sasampune djaga(t iki) kabeh inganaken, langgeng ananira tan owah tan gingsir ing piambekira dawak : tan beda ananira lan sahananing ‘alam lan saderenging ‘alam, ananira uga kang sadja langgeng kekel mahasuci maksih ing karatonira tan owah tan gingsir.
Mangka ingandikan Shaich Nuri : ya Shaich Nuri! Sira pangeran tuwan kecapaken – nora andadeken iku apa sang siptane ?
Mangka matur Shaich Nuri : ya imam Gha(za)li! Kadi punika kaharsa amba : djagat puniki kabeh nora (53) dadi de(ning) nama, dadi | dening panggawe?
Ma(ng)ka imam Ghazali angandika : ya Shaich Nuri! Kupur idep tuwan puniku ! Apa ta kahanan roro iku asma’ sifat iku : satuhune kahananing pangeran asifat sadja andadeken sasifatira chaliq, mapan sifatira tan Iyaning ananira.
Hai’atu ‘lwujud hai’atu ‘lmafhum : mangkana ing balike hai’atu ‘lmafhum hai’atu ‘lwujud : endi ta wawahe iku, mapan paekaning wujud tunggal tan kakalih, mapan sifatira sifating dat, (af’alira) af’aling dat, utawi ja(ti)ning asma’ iku kakalih paekane asma’u (‘l)sifat asma’u ‘ldhat iku paekaning sasifatira tan Iyaning ananira. Anapon chaliq machluq iku pasti kahanan kalih, tan apisah.
Ma(ng)ka imam Ghazali angandika: ya Shaich Supi, Shaich al Djaddi, Shaich Nuri! chilaf idep tuwan puniku, kupur tuwan ing patang madh’hab.
©(54) Ma(ng)ka masaek titiga punika sami aneda | tinobataken (den)ing imam Ghazali.
Mangka angandika imam Ghazali — kang sinung rah’mat dening pangeran : ya Shaich Supi, Shaich al Djaddi, Shaich Nuri, nora kawasa amba anobatakena walining Allah, Abecik yan tuwan atobata piambek ing pangeran wong sowa(ng) sami amarenana idep tuwan kang kupur puniku. Yen ta baja tuwan tan amarenana ing idep tuwan kupur puniku, supaya tuwan linungsur jenengira wali dening pangeran miwah sakatahing wong sanak tuwan sami anganyarana iman kalawan (n)i(ng)kah lan tuwan tobatena.
Amba amiarsa kang ngandika nabiyyu’llah, salla’llahu ‘alaihi wasallama — tur amba ingandikan piambek – e imam Ghazali! Lamun ana manusya akecap me(ng)kene “kahananing Allah nora asih, nora ‘ngasihi, nora andadeken, asma’ nira nora andadeken”, anirnaken (n)ugrahaning pangeran (55) lan amor paekaning sifating pangeran, | lan kang aliyanaken sifating pangeran, angapesaken sifating pangeran, e imam Ghazali! aja esak lah kapirena wong kang mongkono iku, dudu umatingsun, kalawan ta Allahu ta’ala aken angulatana pangeran wawaneh lan kinen angulatana panutan Iyan saking nabi Muhammad. Yan tan amarenana atobata pakecapi(ng) kang kupur iku supaya sira salameta!
PUPUH XIV
e Mitraningsun! Singgih puniku kang pawetra imam Ghazali ing i(ng)sun kalawan masaek titiga ika.
e Mitraningsun! Atutur malih imam Ghazali : i(ng)kang ngandika nabiyyu’llah, ‘alaihi ‘lsalam, tinutur ing i(ng)sun lan masaek titiga ika : ya Shaich al Bari, Shaich Supi, Shaich al Djaddi, Shaich Nurir miwah samongko kang (ng)andika nabiyyu’llah salla’llahu (56) ‘alaihi wasallama, kalawan malih pamanggihingsun ing sastra : Poma sira | aja anakisaken sifating pangeran saderahing angenangenira anakis(ak)ena sifating pangeran. Anapon kang (tan) kinarsaken dening pangeran tan ana
kajatine, telase iku ta dening tan kinarsaken dening pangeran tan ana pisan iwa mangkana nora luput ing kawruhing pangeran kinawruhan sami pisan tan asifat waliwali, tegese dening lewih mahasucinira langgeng kekel ing karatonira beda lan awangawang ingkang ana kadjatine ika, mapan kang ingaran awangawang iku : netra kalih, sawidji awang-awang kang ana kajatine, kang sawiji kang orana kajatine. Muwah ulatana selaning pitung bumi (selan)ing pitung langit, lan selaning lintang selaning wedini(ng) sagara, lan sajabaning bumi langit, selaning ciptariptaning ati : ikupon ora kapanggih. Tegese iku dening tan (57) kitiarsaken karaning | tan ana pisan.
e Mitraningsun! Jen ana angucapa mengkene : kupur! : “Awangawang iku nora dinadeken” …. kupur ! tegese : angapesaken sifating pangeran. Mengkene salamete : kang tan kinarsaken awangawang kang tan ana kadjatine; kang kinarsaken awangawang kang ana kajatine, mapan sira pangeran andadeken saniskaraning dumadi kabeh saki(ng) nora dadi ana kadi ta reke sira pangeran tan pegat tan asifat wali-wali, utawi andadeken kang alembut lewih le(m)bute saking banyu, (ana) lembute malih geni lewih le(m)bute, ana lewih lembut malih kukus lewih le(m)bute, ana lembut malih angina lewih lembute, ana le(m)but malih antara lewih le(m)bute, ana le(m)but malih dharrah lewih le(m)bute — ana ing jeroning awangawang — ana kang lewih le(m)bute malih (58) sini(m)pen dening pangeran saking purba kaharsaning | pangeran andadeken tan kena dinugeng budi anging kaharsanira dawak kadi ta kang dinadeken sajagat salaksa patang ewu, iwa mangkana iku anereh saking kang (ng)andika nabiyyu’llah (Muhammad al)Mustafa : …… tegese iku ta dening witing dumadi iku witing kanugrahan. Tan ana nabi lewih utama Iyana Nabi Muhammad (al)mustafa kang pina(ng)ka panutup nabi. Iwa mangkana kahananing pangeran kang lewih mahasuci anjateni ing kakasihira, malah inga(na)ken kadi tunggal dening saking seruning sihira jinaten ing sifat-dat-af’alira dadi nir ananira kang jinaten anging kari anane kang anjateni kewala. Mangkana malih anani(ng) wali mu’min kabeh i(ng)kang ananggung titipan kadi ta iman tohid ma’rifat kabeh iku saking kang sih barkat nabiyyu’llah (Muhammad) (al)mustafa dening awiyos kapit ing sihing pangeran lan kang (ng)andika nabi — ‘alaihi ‘lsalam, (59) i(ng)kang | atuduh marga abener — witing kanugrahan iku lewih demite.
e Rijal! Mapan ta reke saderenging ana iku sampun angema ana ingaran ‘adam mumkin.
e Mitraningsun! Mangkana malih sira aningali salwiring dumadi kabeh iki den tunggal ing paningalira tan Iyana kang kadulu kang andsideken kewala.
e Rijal! ikupon maksih serik : tingale ing sampurnane iku ta lamon uwus (s)ima tingale, kantun kang asung awas kewala aningali tiningalan asih sinihan ing piambekira.
e Rijal, mitraningsun! Beda kadi ma’dum sirf ika dene tan kinarsaken, karaning tan ana pisan. e Rijal, mitraningsun! Ana pandita iku kang apaesan ma’dum.
Mangka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punapa sang siptane puniku?
Mangka anabda Shaich al Bari kang sinukan dening Allah : e Rijal ! Sang siptane udjar iku sambi (60) liwat | sampun kataksisan ing tampa, kewala si iku dening djinaten ing dat-sifat-af’alira dadi kahananingkang sinihan ika kadi nora kadi duk durung ana mangka(na), babatange labete gandane sadidik pon norana kari dening kalindih kaganten kalingan anane deri(ng) kang sadja asih anjateni i(ng)kang amibuhi langgeng kekel asih sinihan ing piambekira. Iku kang papanggeran imam Ghazali saking kang barkat andika rasulu’llah, ‘alaihi (‘lsalat) wa ‘lsalam.
e Mitraningsun! Yata atutur malih imam Ghazali ing i(ng)sun.
Mangka matu(r) Rijal : ya guru amba! Punapa kang pinituturaken ing tuwan ?
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! Singsapa wruh ing sisimpenan limang parkara iku, ma(ng)ka antuk sisimpenaning nabi wali mu’min kabeh. Muwah singsapa anyecep sisimpenan limang parkara, ma(ng)ka wruh ing (61) jiwaragane yen kandeh kaganten anane dening | wibuhing sih, anani(ng)kang anjateni, dadi syuh sirna jiwaragane tan Iyan anani(ng)kang sadja purba akaharsa langgeng kekel mahasuci, tan owah tan gingsir, tan a(sifat) wali-wali, anging ananira uga kang asih asifat sadja urip wibuh kawasa aningali amiarsa anabda purba langgeng kekel ing karatonira. Miwah singsapa angawikani ananing pangeran, duk sira durung ana sawiji-wiji iki kabeh lawh’ qalam ‘arsh kursi dereng ana awangawang uwunguwung.
Ma(ng)ka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi siptane puniku?
Ma(ng)ka anabda Shaich al Bari : e Rijal! Tegese iku sang siptaning sampurnaning ma’rifat kadi ta sira tan wikan ing pangeranira utawi ing ananira mangko iki mantep ka’lma’dum, tegese : kadi duk durung ana mangkana tan beda (62) lan saderenge ana lan sawuse ana waluja | mulih maring jatine kadi duk dereng ana, anging kang asifat sadja langgeng kekel mahasuci ratu amengka tan owah tan gingsir, tuwi nora beda ananira saderenging ‘alam lan sawusing ‘alam lan sahananing ‘alam, anging ananira uga kang langgeng kekel maksih ing karatonira tan owah tan gingsir pasti ananira kang asifat suksma wibuh, langgeng mahasuci tanpa tuduhan.
PUPUH XV
Ma(ng)ka anabda Shaich al Bari : e Mitraningsun Ana kecaping wong sasar satengah: “Lam yalid walam Yulad” iku den arani sifating pangeran : ikupon kupur. Apa ta sira pangeran asifata oraora anakanak kalawan kang inganakanakaken puniku kang tan inganakanakaken lungguhe sifating pangeran “Lam yalid walam yulad” iku tegese sifatira mahasuci ora anak-anak, tan inganakanakaken (63) | ora malih awit ora.
Utawi si singsapa angraosi sifating pangeran awiyos ta awit salab, iku kupur, e Rijal, mapan ing(kang) aran salab iku den(ing) awiyos awit sifating pangeran mahasuci : iku salamete.
Mangka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi kang ingucapaken kadi wirasani(ng) sastra : siptaning Usul punika dhatu‘llah kewala?
Ma(ng)ka anabda Shaich al Bari : e Rijal! Ijaiku sikepi(ng) wong ‘arif : tingale iku dening awiyos karihin aningali kahananing Allah asifat suksma langgeng mahasuci dihin purba akaharsa andadeken, tan awiwitan tan awekasan, tan a(sifat) wali-wali kadi ta sang siptaning wong ‘arif ika Awangawang-uwunguwung mumtani’u ‘lwujud iku kang den karya paesan kadi talapal : (ja’isu) ‘lwujud af’alu (64) ‘llah. Jenenging qadim wadjibu ‘lwujud sifatu ‘llah, | ja’isu ‘lwujud af’alu ‘llah, mumtani’u ‘lwujud dhatu ‘llah.
Anapon jenengi(ng) qadim : wajibu ‘lwujud, tegese sifating pangeran pasti sadja ana ing piambekira, mapan ananira nora beda lan saderenging ‘alam lan sawusing ‘alam, langgeng panglilanira tan ovvah tan gingsir ananira (tan owah tan gingsir ananira) kang agesang asifat sadja wibuh sampurna langgeng kekel mahasuci.
Utawi lamun ana akecapa mengkene : kupur! – tegesing wajib sadja iku kupure mapan jenenging wadjib iku lungguhe ing kawula kang sinihan, mapan — sadurunging anani(ng)kang sinihan, kewala si ika pasti ing kawruhing pangeran — sira pangeran kang asifat sadja aken teka ing waqtune dadi anani(ng)kang sinihan teka angestoken yan jenenging qadim wadjibu ‘lwujud (65) sifatu ‘llah sifatira pasti sadja | ana dadining sifate pangestuning ®) sinihan ika kaganten dening sifatu ‘llah.
Mangka matur Rijal : Sarwia subakti, anuhun i(ng) jeng, ya guru amba ! Tegesing ja’isu ‘lwujud af’alu ‘llah kadi punendi?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Rijal! Tegesing ja’isu ‘lwujud afalu ‘llah pakaryaning wali mu’min kabeh iku pracihnaning sifat pakaryaning pangeran. Anapon jenenging ja’isu ‘lwujud iku jenenging kawula uga, wenang ana wenang ora.
(Mangka) matur Rijal : Kadi punendi wenange ana wenange ora puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Rijal! Wenange ana iku dene si anane iku mina(ng)ka lantaran (eng)gening mulat ing wujudu ‘llah ing sifatu ‘llah af’alu ‘llah ya’ni yen ana kang andadeken.
Ma(ng)ka matu(r) Rijal : ya guru amba! Tan wenange ta kadi punendi?
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! Tan (66) wenange iku sawusing awasi(ng) | ‘wujudu ‘llah sifatu ‘llah af’alu ‘llah utawi katiga iku kinarja pangilon pangi(n)tipaning nabi wali mu’min kang utama.
(Mangka) matu(r) Rijal : ya guru amba! Tegesing mumtani’u ‘lwudjud dhatu’lHlah kadia punendi?
(Mangka akecap Shaich al Bari) : e Rijal! Tegese iku sang sipta sambi liwat tan dadi wiyosing tingal kang mumtani’ iku, uta(wi) wiyosing tingal puniku dateng kahananing suksma kewala.
e Rijal! Lamun ana manusya akecapa mengkene : “mumtani’ iku den senggeh edat, atawa si edat den aranana mumtani’” — wong iku lah kupur kapir.
Utawi mengkene salamete : Anani(ng)kang sinihan iku jinaten ing dat-sifat-af’alira dadi nir anani(ng)kang jinaten, malah kadi nora dening kandeh kaganten kalingan anane dening wibuhi(ng) sih, ing kahananingkang sadja (67) andjateni kewala | i(ng)kang anampurnaken.
e Rijal! Ija iku kang papa(ng)geran imam Ghazali kang tinutur maring i(ng)sun, mapan norana wong saruparu(pa)ne kang ader(be)ni sikep sisimpenan kadia sipta iku, wong kang pinilih sinelir dening pangeran, wong kang sinung wasil paningale kang kadi kilatlaksanane : iku kang anduweni sipta iku.
e Mitraningsun ! Den sami sira angimanaken ing tuturingsun iki, lan ani(ng)gahana sira kadi sikeping wong sasar ika, mapan angandika imam Ghazali : kawruhana wong sasar iku tekaning akir jaman maksih ana dene si sisyarie masaek titiga ika nora enti dene anobataken dening kalingan sagara gunung iku kang tan wruh gurune yen tinobataken iku kang maksih angaruaru calaculu pangucape iku i(ng)kang amuruk kababaraken ujar sasar tekaning mangke maksih sasar dene (68) si maksih | wite masaek titiga ika sakatahe malih kang anut maksih mangkana uga dadi kapir dene si iku maksih angimanaken ujare gurune. Bahagya temen ingkang abalik, kang anut i(ng)kang (ng)andika imam Ghazali, i(ng)kang katutur ing sastra iki kabeh!
PUPUH XVI
Mangka akecap Shaich al Bari maring mitranira kabeh : e -Mitrani(ng)sun! Den sami tetep sira kabeh ing salat limang waqtu. Kalawan sira asidekaha saleh, asidekaha sirr, asidekaha rahasya.
Ma(ng)ka matu(r) Rijal : ya guru amba ! Kadi punendi ing jero(ning) salat puniku anarika iman atawa nora ?
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! yen si anaha : serik salate, yen si norana : kapir.
Ma(ng)ka matur Rijal : sarwia subakti, anuhun ing jeng, ya guru amba! Kadi punendi salamete ing tampa sabda tuwan puniku?
(69) (Mangka akecap Shaich al Bari) e Rijal! | Karaning salating wali mu’min tan serik tan kapir dening kendit anut kang sebut nabiyyu ‘llah, ‘alaihi (‘lsalat) wa ‘lsalam, — iku karaning tan serik tan kapir, mapan reke kang sinebut andika nabiyyu ‘llah : bila tashbih dadi enir anane, kabeh pon norana kari dening jinaten ing dat-sifat-af’alira dadi kandeh kaganten anane dening wibuhing sih, (ing) ananingkang anjateni. Mangkana ta jeroning salati(ng) wali mu’min iki wiyose pon mangkana uga kadi lapal iki sang siptane :
wa ‘li’tiqadi wa ‘limani wa ‘Itauh’idi wa ‘lma’rifati.
e Rijal! Karane lewih sembah-pujine wali mu’min iku den kawruhi sembah-pujine iku yen tansah jinaten ing sih pinurba rineh dadi ulate maring kang (70) amurba angreh ing enggene sirna | dening kandeh kaganten kalingan dening wibuhing sih, ing ananingkang anjateni : mantep sira pangeran langgeng aurip amuji ing piambekira, mapan Allahu ta’ala amuji ing piambekira iku minargaken ing ra(ha)sya, panarimaning manusya njinataken ing kakasihira. Kewala si lisanmg manusya iki darma amalesi, mapan sembah-pujine nora tingale kang maring pangeran iku pasti dudu sajatine wijose kewala si
iku Iwir pawana marg(an)e tulupane : iku salamete kabeh.
Ma(ng)ka matur Rijal : ya guru amba! Kadi punendi tegesing asidekah saleh?
Ma(ng)ka akecap Shaich al Bari : e Rijal! Tegesing asidekah saleh iku asung(sung) tan ana ‘ngawruhi, angabakti tan ana wikan, mushahadah tan ana pegate.
(Mangka matur Rijal Tegesing asidekah sirr kadi punendi ?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Rijal! (71) Tegesing asidekah esir iya kang tan pegat asrah | jiwaragane ing pangeran lan kang tan pegat angecani atining wong. Tegesing asidekah rahasya iku iya kang andjateni ing kawruh i(ng)kang sabenere lan asung ngelmi ing wong kang tan ana upayane.
Mangka matu(r) Rijal : sarwia subakti, anuhun i(ng) jeng, ya guru amba ! amba amanggih lapal kadi punika qablakum * dhatu ‘llah ma’akum dhatu ‘llah ba’dakum dhatu ‘llah, kadi punendi — ja tuwanku ! — sang siptaning lapal puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Rijal! Siptane iku dening tan amilang paekaning sifat malih, mapan saderenging ana i(ng)kang ingandikan iku, anging kahananing Allah kang langge(ng) asifat mahasuci sadja angandika : mo(ng)kono siptane kabeh iku.
e Rijalu‘llah! Sira mitraningsun kang lewih saking mitraningsun kabeh — sangkane sira sunwastani Rijalu’llah, wong lanang ing Allah, dening asanget lampahira lan dening alungid siptanira : (72) iku | tegesing lanang iku.
PUPUH XVII
Ma(ng)ka matur Rijal : ya guru amba, Shaich al Bari! – kang sinalametaken iman(e) tawh’ide ma’rifate deni(ng) Hyang mahaluhur : Kadi punendi kecapira Shaich Nuriman dateng ing Shaich Atim :
“Tuwan aningali ing Allah” ? ; kecapira Shaich Atim : “Aningali amba ing Allah” ; ma(ng)ka akecap Shaich Nuriman: “Yen tuwan aningali ing Allah, supaya tuwan nora kawasa aningalana wawaneh !”…. kadi punendi sang siptane Shaich Atim punika?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Rijal! Siptane Shaich Atim iku dene si sakatahe kang den piarsa kang den ucap iku awiyos maring pangeran kewala tingale siptane Atim iku, e Rijal, karana wong aningali ing pangeran iku sarta lan pangeran dadi ora aningali ing wawaneh.
Matur malih Rijal : ya guru amba! Kadi punendi siptanipun Shaich Nuriman akecap dateng ing (73) Atim: “Tuwan tiningalan dening pangeran?”; | kecaping Shaich Atim: “Tiningalan ingsun dening pangeran” kecaping Shaich Nuriman: “ya Atim ! lamun tuwan tiningalan dening pangeran, supaya kang wawaneh nora aningali ing tuwan”; akecap Shaich Atim : “Iya kang wawaneh nora aningali ing amba” ma(ng)ka matur Ri jal : kadia punendi sang siptane puniku ?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Rijal! Siptane Atim iku dene si sakatahe kang tumingal iku tan ana waneh ingkang aningalaken tan Ijan sira pangeran kang aningalaken dadi siptane Atim iku maring kang asung tingal kewala sadja langgeng aningali tiningalan anakseni sinaksen angawikani kinawikanan asih sinihan tan Iyan piambekira.
e Rijal !. Siptanira imam Ghazali : tunggal wiyose i(ng)kang aningali pangeran i(ng)kang tiningalan pangeran.
(74) Mangka | matu(r) Rijal : ya guru amba! Kadi punendi siptane puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Ridjal! tegese sipta iku dene syuh sirna paningale ing djagat kabeh dadi siptane iku tan Ijan sira pangeran kewala kang sadja andulu dinulu ing piambekira.
e Rijal, mitraningsun kabeh! Den sami amiarsaha ing tuturingsun iki! Kalawan sapisan ingsun lumampah ing ara-ara iman, suntingali tindakingsun ika sarta lan idining sih nugrahaning pangeran. Sasampun ingsu(n) lumampah ing ara-ara iman, tumindak ingsun ing ara-ara tawh’id ; yata suntingali tindakingsun ika tan katon : kang katingalan deningsun ika kahananing Allah kewala. Sasampun ingsun lumampah ing ara-ara tawh’id, lumampah ingsun ing ara-ara ma’rifat: norana kahananingsun : tingalingsun kang maring pangeran pon nora (75) ana. | Tegese iku dening sampun anunggal tingal dadi nir tingalingsun ika ing tingal tunggal kang tiningal kang sadja andulu dinulu ing pandulunira.
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal! Kadi ta palajaraning wong ‘arif (al’arifu) : “gharaqtu fi bah’ri ‘l’adami” wong ‘arif iku karem ing sagara ora.
Ma(ng)ka matu(r) Rijal : ya guru amba ! Kadi punendi sang siptaning “sagara ora” puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Rijal ! Sang siptane iku patemoning wong ‘arif kang ora iku dening djinaten dadi nir anane, malah kadi duk durung ana mangkana.
e Mitraningsun ! Ora sun kalewihaken i(ng) wong atapa kang kaliwat sangete kasuta(pa)ne, dereng ta ichlas atine.
Sapisan ingsun lumampah kalintang sangete lampahingsun ika ; ing kerejete atiningsun ika mengkene : mangko (76) baya | ingsun teka ing lampah kang lewih.
Mangka ana swara kapiarsa deningsun : “e Shaich al Bari! Lampahira baya kang dinadeken api naraka ika tinampikaken maring anggautanira kabeh”. Singgih ta saking sih patulunging pangeran tan koninga lampahingsun punika.
Yata wonten swara malih maring i(ng)sun : “Ya Shaich al Bari! Mangko baja sira teka ing lampah kang aluhur anglungguhi sira, yan tan lumampah mulih tanpanembah tanpamuji.” Mandaha ta ingsun lumampaha karana (bi)rahi lan ayun kapiarsa apened supaya ingsun tinulan dening pangeran kinen angulatana pangeran wawaneh lan kinen angulatana panutan Ijan saking rasulu’llah, ‘alaihi ‘Isalam.
e Mitraningsun, (ora sun) kalewihaken wong kang (77) aderbeni | kapanditan lan kawruh kang abener, dereng ta ichlas atine. Sapisan ingsun ginaduhan ngelmu kapanditan lan kawruhing masaek, ing kerejete atiningsun ika : mangko baya ingsun ideping hukum kang ewuh ingkang asamar-samar ika.
Yata ana swara kapiarsa deni(ng)sun : “e Shaich alBari! . sira baya kawulaning Allah kang wuta tuli bisu ika.” Saking sih patulunging pangeran tan koninga kawruh lan (ng)elmu kapanditan ika.
Wonten swara malih kapiarsa deningsun : mangko sira linewih dening pangeran alungguh ing kapanditanira malih yan tanpanembah tanpamudji tanpa tingal. Mandaha ta banggi ingsun aderbeni kawruh lan (ng)elmi kapanditan ika, miringa baya ingsun ing dunya lan kalulutana (78) deni(ng) wong, supaya | ingsun ingaranan acacayad dening pangeran dening kalintanglintang sangete bendunira.
Mangka akecap Shaich al Bari : e Rijal, mitraningsun ! ora sun kalewihaken wong kang aderbeni bangsa ka(ng) kaliwat luhure, i(ng)kang aderbeni kagungan kang kaliwat gunge, dereng ta ichlas atine.
Sapisan ingsun sinungan bangsa aluhur dening pangeran, kalawan kagungan kalintang gungingsun lan deningsu(n) amertani ing wong kasihan: ing kerejete atiningsun ika : Mangko baya ingsun sinung bangsa aluhur kalawan kagungan kang agung iki.
Yata wonten swara kapiarsa deni(ng)sun : “e Shaich al Bari! Sira baya kawulaning Allah kang *ema bahagyaika.” Saki(ng) sihing pangeran tan koninga bangsa kaluhuran ika kalawan (ka)gungan kang agung ika, kang (79) katingalan deningsun ika sih | wilasaning pangeran.
Yata ana swara malih kapiarsa deningsun : e Shaich al Bari! Sira baya kawulaning Allah kang serik ika.
Yata ilang panguningani(ng)sun kang maring pangeran.
Won(ten) swara malih maring ingsun : “ya Shaich al Bari! Mangko (baya) sira alungguh ing bangsanira kang aluhur mulih maring kagunganira malih.”
Yan ta banggi ingsun agungena ing bangsaningsun kalawan kagungan ika supaja ingsun ingaranan munafiq.
Mangka akecap Shaich al Bari : e Mitraningsun! Den abecik-becik lampahira, den ichlas, sampun kaprikaken sarira, kalawan ing kawruh sampun kadi wong sasar kang pinasti sinasaraken.
Ma(ng)ka matur Rijal : ya guru amba! Kadia punendi kang pinasti sinasaraken puniku?
Kang saur Shaich al Bari : e Rijal! kang pinasti sinasaraken iku iya kang akecap: osiki(ng) jiwaraga iki (80) osiking dhatu’llah, kang | akecap : napi Allah itbat iku Allah ; kang akecap : kawula nora pinurba, sira pangeran nora andadeken, nora amurba : iya iku kang* pinasti (sinasaraken) dening Allah, kang kinekelaken ing soring narakaning wong kapir.
e Mitraningsun sadaja! Iki si mitraningsun Rijalu‘llah sundjudjuluki : den tiruha dening mitraningsun kabeh : kang kadi macan tanagane, kang kadi kilat laksanane, kang sunjujuluki urip tan kalawan nyawa, kawasa tan kalawan anggauta, aningali tan kalawan aksi, amiarsa tan kalawan karna.
Mangka matur mitranira kabeh : ya guru amba, Shaich al Bari! Punapa tegese sabda tuwan puniku?
(Mangka akecap Shaich al Bari e Mitraningsun sadaya! Tegesing Rijalu’llah iku : urip sarta lan pangeran, pangawasane Rijalu’llah iku sarta lan pangawasaning (81) Allah, pamiarsane Rijalu’llah iku sarta lan | pamiarsaning Allah, kadi ta* kang sabda baginda Abu Bakr, radiya ‘llahu ‘anhu : ra’aitu rabbi birabbi.
Tegese : wong kang aningali ing pangeran iku sarta lan pangerane : iku salamete ; tegese : telas-telase ta iku kabeh dudu lan deweke. Tegese wirasaningsun iku : lamun ugi lampahe tingale wong iku ora mongkonoa, pasti wong iku salah, kekel soring narakaning wong kapir.
e Mitraningsun! Mangkana malih tingalira iku kabeh sarta kalawan ing sih purba kaharsaning pangeran ugi i(ng)kang anugrahani asung awas ing kawula kang sinihan lan ta sira den alus (ing) tampanira, inglampahira den aturut-turut kalawan ta sira aja aliliwatan aja alilinyokan, aja pranesa karana wong aliliwatan iku mambet ajnjana (82) tur kasariran, wong kang | mongkono iku ora karana Allah karana shaitan : satuhune wong kang mongkono iku angrurusak anggingsir lampahing wong karan(a) Allah. Wong mongkono iku tan kena dera cekela ujare rehing ara-uru tan pegat sinusahaken atine dening pangeran sakatahe malih i(ng)kang anut mangkana uga susahe atine.
e Mitraningsun! Den sami sira akecapa becik-becik kalawan lampahira z’akir batin anuta kang sarengat, andika rasulu’llah salla ‘llahu ‘alaihi wa sallama asih pramuleha sira ing rasulu’llah, ‘alaihi ‘lsalam marganira anampani sih nugrahaning pangeran. Deni(ng) kang sih andika rasulu’llah, ‘alaihi ‘lsalam, sira iki awiyos kapit (83) ing sih, karihin sihing pangeran kalawan | kang sih rasulu’llah salla ‘llahu ‘alaihi wa sallama.
Mitraningsun! Iku titinggalingsun ing sira kang awet poma anak -putunira sami wekasen, sami anuta wirasaning tuturingsun iku kabeh, karana manawa anut ing wuwusi(ng) wong sasar.
e Mitraning(sun) sadaja ! Baula si akeh yen ingsun, tutura sawirasaning sastra iku anging sira den sami awedi ing pangeran. Aja sira salah simpang, sami sira amriha kasidan.
Tammat carita cinitra kang pakerti * Pangeraning Benang.

KITAB MUSARAR JAYABAYA
Juli 1, 2008 pada 1:53 pm (KITAB MUSARAR JAYABAYA)
Kitab Musarar inganggit
Duk Sang Prabu Jayabaya
Ing Kediri kedhatone
Ratu agagah prakosa
Tan ana kang malanga
Parang muka samya teluk
Pan sami ajrih sedaya
Milane sinungan sakti
Bathara Wisnu punika
Anitis ana ing kene
Ing Sang Prabu Jayabaya
Nalikane mangkana
Pan jumeneng Ratu Agung
Abala para Narendra
Wusnya mangkana winarni
Lami-lami apeputra
Jalu apekik putrane
Apanta sampun diwasa
Ingadekan raja
Pagedhongan tanahipun
Langkung arja kang nagara
Maksihe bapa anenggih
Langkung suka ingkang rama
Sang Prabu Jayabayane
Duk samana cinarita
Pan arsa katamiyan
Raja Pandhita saking Rum
Nama Sultan Maolana
Ngali Samsujen kang nami
Sapraptane sinambrama
Kalawan pangabektine
Kalangkung sinuba suba
Rehning tamiyan raja
Lan seje jinis puniku
Wenang lamun ngurmatana
Wus lengah atata sami
Nuli wau angandika
Jeng Sultan Ngali Samsujen
“Heh Sang Prabu Jayabaya
Tatkalane ing sireku
Kandhane Kitab Musarar
Prakara tingkahe nenggih
Kari ping telu lan para
Nuli cupet keprabone
Dene ta nuli sinelan
Liyane teka para”
Sang Prabu lajeng andeku
Wus wikan titah Bathara
Lajeng angguru sayekti
Sang-a Prabu Jayabaya
Mring Sang raja pandhitane
Rasane Kitab Musarar
Wus tunumlak sadaya
Lan enget wewangenipun
Yen kantun nitis ping tiga
Benjing pinernahken nenggih
Sang-a Prabu Jayabaya
Aneng sajroning tekene
Ing guru Sang-a Pandhita
Tinilar aneng Kabah
Imam Supingi kang nggadhuh
Kinarya nginggahken kutbah
Ecis wesi Udharati
Ing tembe ana Molana
Pan cucu Rasul jatine
Alunga mring Tanah Jawa
Nggawa ecis punika
Kinarya dhuwung puniku
Dadi pundhen bekel Jawa
Raja Pandhita apamit
Musna saking palenggahan
Tan antara ing lamine
Pan wus jangkep ing sewulan
Kondure Sang Pandhita
Kocapa wau Sang Prabu
Animbali ingkang putra
Tan adangu nulya prapti
Apan ta lajeng binekta
Mring kang rama ing lampahe
Minggah dhateng ardi Padhang
Kang putra lan keng rama
Sakpraptaning ing gunung
Minggah samdyaning arga
Wonten ta ajar satunggil
Anama Ajar Subrata
Pan arsa methuk lampahe
Mring Sang Prabu Jayabaya
Ratu kang namur lampah
Tur titit Bathara Wisnu
Njalama Prabu Jayabaya
Dadya Sang Jayabaya ji
Waspada reh samar-samar
Kinawruhan sadurunge
Lakune jagad karana
Tindhake raja-raja
Saturute laku putus
Kalawan gaib sasmita
Yen Islama kadi nabi
Ri Sang aji Jayabaya
Cengkrameng ardi wus suwe
Apanggih lawan ki Ajar
Ajar ing gunung Padhang
Awindon tapane guntur
Dadi barang kang cinipta
Gupuh methuk ngacarani
Wus tata denya alenggah
Ajar angundang endhange
Siji nyunggi kang rampadan
Isine warna-warna
Sapta warna kang sesuguh
Kawolu lawan ni endang
Juwadah kehe satakir
Lan bawang putih satalam
Kembang melathi saconthong
Kalawan getih sapitrah
Lawan kunir sarimpang
Lawan kajar sawit iku
Kang saconthong kembang mojar
Kawolu endhang sawiji
Ki Ajar pan atur sembah
“Punika sugataningong
Katura dhateng paduka”
Sang Prabu Jayabaya
Awas denira andulu
Sedhet anarik curiga
Ginoco ki Ajar mati
Endhange tinuweng pejah
Dhuwung sinarungken age
Cantrike sami lumajar
Ajrih dhateng sang nata
Sang Rajaputra gegetun
Mulat solahe kang rama
Arsa matur putra ajrih
Lajeng kondur sekaliyan
Sapraptanira kedhaton
Pinarak lan ingkang putra
Sumiwi munggweng ngarsa
Angandika Sang-a Prabu
Jayabaya mring kang putra
“Heh putraningsun ta kaki
Sira wruh solahing Ajar
Iya kang mati dening ngong
Adosa mring guruningwang
Jeng Sultan Maolana
Ngali Samsujen ta iku
Duk maksih sami nom-noman
Sinom
Pan iku wus winejang
Mring guru Pandhita Ngali
Rasane kitab Musarar
Iya padha lawan mami
Nanging anggelak janji
Cupet lelakoning ratu
Iya ing tanah Jawa
Ingsun pan wus den wangeni
ari loro kaping telune ta ingwang
Yen wis anitis ping tiga
Nuli ana jaman maning
Liyane panggaweningwang
Apan uwus den wangeni
Mring pandhita ing nguni
Tan kena gingsir ing besuk
Apan Maolana Ngali
Jaman catur semune segara asat
Mapan iku ing Jenggala
Lawan iya ing Kediri
Ing Singasari Ngurawan
Patang ratu iku maksih
Bubuhan ingsun kaki
Mapan ta durung kaliru
Negarane raharja
Rahayu kang bumi-bumi
Pan wus wenang anggempur kang dora cara
Ing nalika satus warsa
Rusake negara kaki
Kang ratu patang negara
Nuli salin alam malih
Ingsun nora nduweni
Nora kena milu-milu
Pan ingsun wus pinisah
Lan sedulur bapa kaki
Wus ginaib prenahe panggonan ingwang
Ana sajroning kekarah
Ing tekene guru mami
Kang nama raja pandhita
Sultan Maolana Ngali
Samsujen iku kaki
Kawruhana ta ing mbesuk
Saturun turunira
Nuli ana jaman maning
Anderpati arane Kalawisesa
Apan sira linambangan
Sumilir kang naga kentir
Semune liman pepeka
Pejajaran kang negari
Ilang tingkahing becik
Negara kramane suwung
Miwah yudanegara
Nora ana anglabeti
Tan adil satus taun nuli sirna
Awit perang padha kadang
Dene pametune bumi
Wong cilik pajeke emas
Sawab ingsun den suguhi
Marang si Ajar dhingin
Kunir ta ingsun
Nuli asalin jaman
Majapahit kang nagari
Iya iku Sang-a Prabu Brawijaya
Jejuluke Sri Narendra
Peparab Sang Rajapati
Dewanata alam ira
Ingaranan Anderpati
Samana apan nenggih
Lamine sedasa windu
Pametuning nagara
Wedale arupa picis
Sawab ingsun den suguhi mring si Ajar
Juwadah satakir iya
Sima galak semu nenggih
Curiga kethul kang lambang
Sirna salin jaman maning
Tanah Gelagah wangi
Pan ing Demak kithanipun
Kono ana agama
Tetep ingkang amurwani
Ajejuluk Diyati Kalawisaya
Swidak gangsal taun sirna
Pan jumeneng Ratu adil
Para wali lan pandhita
Sadaya pan samya asih
Pametune wong cilik
Ingkang katur marang Ratu
Rupa picis lan uwang
Sawab ingsun den suguhi
Kembang mlathi mring ki Ajar gunung Padhang
Kaselak kampuhe bedhah
Kekesahan durung kongsi
Iku lambange dyan sirna
Nuli ana jaman maning
Kalajangga kang nami
Tanah Pajang kuthanipun
Kukume telat Demak
Tan tumurun marang siwi
Tigang dasa enem taun nuli sirna
Semune lambang Cangkrama
Putung ingkang watang nenggih
Wong ndesa pajege sandhang
Picis ingsun den suguhi
Iya kajar sauwit
Marang si Ajar karuhun
Nuli asalin jaman
Ing Mataram kang nagari
Kalasakti Prabu Anyakrakusumo
Kinalulutan ing bala
Kuwat prang ratune sugih
Keringan ing nungsa Jawa
Tur iku dadi gegenti
Ajar lan para wali
Ngulama lan para nujum
Miwah para pandhita
Kagelang dadi sawiji
Ratu dibya ambeg adil paramarta
Sudibya apari krama
Alus sabaranging budi
Wong cilik wadale reyal
Sawab ingsun den suguhi
Arupa bawang putih
Mring ki Ajar iku mau
Jejuluke negara
Ratune ingkang miwiti
Surakarta semune lintang sinipat
Nuli kembang sempol tanpa
Modin sreban lambang nenggih
Panjenengan kaping papat
Ratune ingkang mekasi
Apan dipun lambangi
Kalpa sru kanaka putung
Satus taun pan sirna
Wit mungsuh sekutuh sami
Nuli ana nakoda dhateng merdagang
Iya aneng tanah Jawa
Angempek tanah sethithik
Lawas-lawas tumut aprang
Unggul sasolahe nenggih
Kedhep neng tanah Jawi
Wus ngalih jamanireku
Maksih turun Mataram
Jejuluke kang negari
Nyakrawati kadhatone tanah Pajang
Ratu abala bacingah
Keringan ing nuswa Jawi
Kang miwiti dadi raja
Jejuluke Layon Keli
Semu satriya brangti
Iya nuli salin ratu
Jejuluke sang nata
Semune kenyo musoni
Nora lawas nuli salin panjenengan
Dene jejuluke nata
Lung gadhung rara nglingkasi
Nuli salin gajah meta
Semune tengu lelaki
Sewidak warsa nuli
Ana dhawuhing bebendu
Kelem negaranira
Kuwur tataning negari
Duk semana pametune wong ing ndesa
Dhuwit anggris lawan uwang’
Sawab ingsun den suguhi
Rupa getih mung sapitrah
Nuli retu kang nagari
Ilang barkating bumi
Tatane Parentah rusuh
Wong cilik kesrakatan
Tumpa-tumpa kang bilahi
Wus pinesthi nagri tan kena tinambak
Bojode ingkang negara
Narendra pisah lan abdi
Prabupati sowang-sowang
Samana nglaih nagari
Jaman Kutila genti
Kara murka ratunipun
Semana linambangan
Dene Maolana Ngali
Panji loro semune Pajang Mataram
Nakodha melu wasesa
Kadhuk bandha sugih wani
Sarjana sirep sadaya
Wong cilik kawelas asih
Mah omah bosah-basih
Katrajang marga agung
Panji loro dyan sirna
Nuli Rara ngangsu sami
Randha loro nututi pijer tetukar
Tan kober paes sarira
Sinjang kemben tan tinolih
Lajengipun sinung lambang
Dene Maolana Ngali
Samsujen Sang-a Yogi
Tekane jaman Kala Bendu
Ing Semarang Tembayat
Poma den samya ngrawuhi
Sasmitane lambang kang kocap punika
Dene pajege wong ndesa
Akeh warninira sami
Lawan pajeg mundhak-mundhak
Yen panen datan maregi
Wuwuh suda ing bumi
Wong dursila saya ndarung
Akeh dadi durjana
Wong gedhe atine jail
Mundhak taun mundhak bilahining praja
Kukum lan yuda nagara
Pan nora na kang nglabeti
Salin-salin kang parentah
Aretu patraping adil
Kang bener-bener kontit
Kang bandhol-nbandhol pan tulus
Kang lurus- lurus rampas
Setan mindha wahyu sami
Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa
Ilang kawiraningdyah
Sawab ingsun den suguhi
Mring ki Ajar Gunung Padhang
Arupa endang sawiji
Samana den etangi
Jaman pitung atus
Pitung puluh pan iya
Wiwit prang tan na ngaberi
Nuli ana lamate negara rengka
Akeh ingkang gara-gara
Udan salah mangasa prapti
Akeh lindhu lan grahana
Dalajate salin-salin
Pepati tanpa aji
Anutug ing jaman sewu
Wolung atus ta iya
Tanah Jawa pothar pathir
Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna
Dene besuk nuli ana
Tekane kang Tunjung Putih
Semune Pudhak kasungsang
Bumi Mekah dennya lair
Iku kang angratoni Jagad kabeh ingkang mengku
Juluk Ratu Amisan Sirep musibating bumi
Wong nakoda milu manjing ing samuwan
Prabu tusing waliyulah
Kadhatone pan kekalih
Ing Mekah ingkang satunggal Tanah Jawi kang sawiji
Prenahe iku kaki Perak lan gunung Perahu
Sakulone tempuran Balane samya jrih sajagad
Kono ana pangapura
Ajeg kukum lawan adil
Wong cilik pajege dinar
Sawab ingsun den suguhi Iya kembang saruni
Mring ki Ajar iku mau Ing nalika semana
Mulya jenenging narpati
Tur abagus eseme lir madu puspa
Dhandhanggula
Langkung arja jamaning narpati
Nora nana pan ingkang nanggulang
Wong desa iku wadale
Kang duwe pajeg sewu
Pan sinuda dening Narpati
Mung metu satus dinar
Mangkana winuwus
Jamanira pan pinetang
Apan sewu wolungatus anenggih
Ratune nuli sirna
Ilang tekan kadhatone sami
Nuli rusak iya nungsa Jawi
Nora karuwan tatane
Pra nayaka sadarum
Miwah manca negara sami
Padha sowang-sowangan
Mangkana winuwus
Mangka Allahu Tangala
Anjenengaken Sang Ratu Asmarakingkin
Bagus maksih taruna
Iku mulih jeneng Narpati
Wadya punggawa sujud sadaya
Tur padha rena prentahe
Kadhatone winuwus
Ing Kediri ingkang satunggil
Kang siji tanah Ngarab
Karta jamanipun Duk semana pan pinetang
Apan sewu luwih sangang atus anenggih
Negaranira rengka
Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi
Ratu Perangi anulya prapta
Wadya tambuh wilangane
Prawirane kalangkung
Para ratu kalah ngajurit
Tan ana kang nanggulang
Tanah Jawa gempur
Wus jumeneng tanah Jawa
Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi
Tetep neng tanah Jawa
Enengana Sang Nateng Parenggi Prabu ing Rum ingkang ginupta
Lagya siniwi wadyane Kya patih munggweng ngayun
Angandika Sri Narapati
“Heh patih ingsun myarsa
Tanah Jawa iku
Ing mangke ratune sirna
Iya perang klawan Ratu Prenggi
Tan ana kang nanggulangi
Iku patih mengkata tumuli
Anggawaa ta sabalanira
Poma tundhungen den age
Yen nora lunga iku
Nora ingsun lilani mulih”
Ki Patih sigra budhal
Saha balanipun
Ya ta prapta tanah Jawa
Raja Prenggi tinundhung dening ki Patih Sirna sabalanira
Nuli rena manahe wong cilik
Nora ana kang budi sangsaya
Sarwa murah tetukone
Tulus ingkang tinandur
Jamanira den jujuluki
Gandrung-gandrung neng marga
Andulu wong gelung
Kekendon lukar kawratan
Keris parung dolen tukokena nuli
Campur bawur mring pasar
Sampun tutug kalih ewu warsi
Sunya ngegana tanpa tumingal
Ya meh tekan dalajate
Yen kiamat puniku
Ja majuja tabatulihi
Anuli larang udan
Angin topan rawuh
Tumangkeb sabumi alam
Saking kidul wetan ingkang andhatengi
Ambedhol ponang arga
KITAB WEJANGAN MAHA PRANA JATI
Juli 29, 2008 pada 4:21 pm (KITAB WEJANGAN MAHA PRANA JATI)

Oleh : Bp. R.S KOESOEMOWARDOJO
BAB : SASTRATJETA (2)
Sejatine aksara Jawa iku saka penemune Pujangga Jawa ing jaman kuna. Aksara jawa iku ora mung perlu kanggo nulis utawa nyateti kedadian-kedadian kang wigati bae, nanging uga yimpen kawruh rupa-rupa. Mengkono ugo bab anane gamelan sarta wajang purwa, iku kang ngarang
suwargi Kanjeng Sunan Kalijaga ing desa Kadilangu Demak, iku uga ngandut kawruh batin lan lahir. Terange kaya kang kasebut ing ngisor iki :
Gamelan kang diweruhi dening wong akeh (masyarakat) iku isine mung bab kesenian, gending lan lagu utawa irama. Nanging kajaba iku salugune uga isi kawruh bab kawuksman, ilmu jiwaning manungsa.
Wayang Purwa, kang lumrah mung isi lelakoning manungsa ing jaman kuna, nanging saklugune uga isi kawruh bab duduk selehe utawa dununge jiwaning manungsa.
Kacarita ing Negara Ngalengka, kang dadi aran Prabu Dosomuka, duwe sadulur nunggal rama itu telu, sing loro lanang, sijine wadon aran :
1. Kumbakarna.
2. Wibisana.
3. Ayu Sarpakanaka.
Iki salugune dadi simbul utara plambange wadining kawruh kebatinan, kang ngenani wataking manungsa, terange mangkene :
1. Dosomuka iku dadi sanepane napsu amarah.
2. Kumbakarna iku dadi sanepane napsu aluamah.
3. Wibisana iku dadi sanepane napsu mutmainah.
4. Sarpakanaka iku dadi sanepane napsu supiyah.

Mangkono plambang kang sumingit ana ing wayang Purwa, ngemut pituduh bab kawruh lahir lan batin. Mangkono uga wadine kang sumimpen ana ing dalam aksara Jawa (Carakan) malah luwih wigati maneh.

Aksara Jawa iku jumlahe mung ana 20 iji, yaiku :
1. Ha 11. Pa
2. Na 12. Da
3. Ca 13. Dja
4. Ra 14. Ja
5. Ka 15. Nya
6. Da 16. Ma
7. Ta 17. Ga
8. Sa 18. Ba
9. Wa 19. Ta
10. La 20. Nga

Carakan iki ora mung kanggo nulis laying bae, nanging duwe wadi kang kang tumuju marang kawruh kebatinan, terange mangkane :
Aksara kang sepisan aran Ha, dene pungkasane aran Nga, dadi kang 18 iji liyane iku minengku dening aksara Ha lan Nga, tegese Ha lan Nga iku “Hangen-hangen” utawa “Hangin”. Uripe manungsa era bisa pisah kalawan Hangen-hangen lan Hangin, yen sak karone iku ora ana,
manungsa mau aran tilar donya. Dadi nyata yen carakan mono nyimpen wewedining uripe manungsa.
Kajaba aksara 20 warna mau, ana tambahane aksara silihan limang rupa, yakui A.I.U.O.E. limang aksara iki aran aksara “suwara”, terange mangkane, ora dumunung ana ing jaba lan ing njerone badaning manungsa wondening aksara 20 iji mau, dibagi dadi rong golongan :

GOLONGAN KANG SAPISAN
20 iji dipecah dadi telung bagian, yaiku :
1. Ha lan Nga
2. Na, Tha, Ra, Ka, Dha, Ta, Sa, Wa, La
3. Pa, Da, Dja, Ja, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha
Tegese :
Ha lan Nga, iku angen-angen utawa angin, Na, Tja, Ra, Ka, Dha, Ta, Sa, Wa, La, iku babahan hawa sasange lahir.
Pa, Da, Dja, Ja, Nja, Ma, Ga, Ba, Tha, iku babahan hawa sasanga batin.

GOLONGAN KANG KAPINDO
20 iji mau dipecah dadi patang bagian:
1. Ha, Na, Ca, Ra, Ka
2. Dha, Ta, Sa, Wa, La
3. Pa, Da, Dja, Ja, Nya
4. Ma, Ga, Ba, Tha, Nga
Tegese :
Ha, Na, Ca, Ra, Ka = ana utusan.
Dha, Ta, Sa, Wa, La = pada salawa = tukaran.
Pa, Da, Dja, Ya, Nya = pada sektine.
Ma, Ga, Ba, Tha, Nga = pada mati kabeh.

Keterangan kang luwih ceta maneh mangkene :
* Ha na ca ra ka, karepe wis ana utusaning Allah, yen ing saat iku wis mlebu ing petung kurang 20 dino bakal tilar donya.
* Dha ta sa wa la , ing wektu iki kahanane lahir lan batin wis ora cocok, mratandani yen patine wis kurang 15 dino maneh.
* Pa da ja ya nya, ing wektu iku kahanane lahir lan batin dadi gumolong tetap teguh, ora ana rasa owah gingsir, ilang was sumelang, iki tegese nompa sasmita yen patine wis kurang 7 dina maneh.
* Ma ga ba tha nga, ing wektu iku rasaning lahir lan batin wis ora duwe karep apa apa, iku mratandani wis tumeka ing janjine urip ninggal donya.
Wondene aksara suwara A I U O E, iku melindungi jasate manungsa ana ing alam donya lan akerat. Supaya tambah gamlang maneh, diterangke sarana nganggo gambar kaya kang kasebut ing gambar iki :
Keterangan :
No. 1 tumeka No. 8 iku tegese badaning manungsa,
No. 1 tumeka III iku tegese alaming manungsa, alam wadag, jaga melek.
Wondene bunderan kang ora ana nomere iku, tegese panguwasane Gusti Allah.
SASMITANING PATI
Mungguh kang dadi tonda tandaning sasmitaning pati iku mangkene :
Ing sakawit yen sira tangi turu, duwe pangrasa rasaning pikir lan atimu, ora tetep seneng, duwe pangrasa kang during tau ngalami serta rasaning lakuning napas ora kaya adat saben, tegese wis kurang lancar. Yaiku tanda yen wis ana utusan saka Pangeran bakal mati kurang 20 dina. Iku nyatane sastratjeta tjarakan mau.
Ing kono sira wayahe masrahake jiwa lan raga marang Gusti Allah, mantrane mangkene : Ingsun masrahake kang dadi panguwasaning Pangeran wolung prakara, yaiku Roh, Napas, Budi, Iman, Pangrasa, Pamiarsa, Paningal lan Panggonda. Muga pada muliha marang asalika saka kodrat
Ingsun.
Yen wis masrahake mangkono wajib sira ngurangi kareping wolung prakara iku, kaya kang kasebu ing ngisor iki :
1. Roh, napase roh kudu disirnakake, umpama maune sadurunge tompa sasmita karem banget ngumpuli marang wanita, sakiki banjur ora ngumpuli wanita maneh.
2. Napas, napsuning napas kudu disirnakake, tegese umpama kepetuk mungsuh ora kena sengit, ora kena napsu marang sapa bae, atine kudu digawe sabar, pulatan kudu sumeh, yen rumongsa duwe dosa marang sapa bar, inggal jaluk panggapura, rasane sing nganti kandas ing lahir batin.
3. Budi, ilangana krentenging budi kang ora iklas-lila sanajan duwe bonda mayuta juta regane, anak bojo kang kinasih kabeh iku lilakna = iklasna, paribasane samendang pinara sewu wis ora bakal dieman neh.
4. Iman, sampurnakna imanmu, tegese kabeh tindak lakumu kang sarwa pasrah lan sabar mung gumolong meleng sawiji tumuju marang sediyamu kang sejati, bali marang asal mula mulanira.
5. Pangrasa, golongan tekatmu, aja duwe pangrasa kang ora becik, sanajan sira krungu wong omong kang ora tata, umpamane sira dipisuhi, iku tampanen kanti pangrasa kang becik, aja nganti obah atimu, duwe pangira marang liya kang ora becik, iku uga ora kena. Cekake kabeh kedaden ing alam donya iki becik kabeh, dadi pangrasamu mung nrima ( nompo kabeh kahanan kang ala lan becik digawe pada ).
6. Pamiarsa, napsuning pangrungu kudu disirnakake, tegese aja ngrasakake suwara kang sarwa nikmat lan nyenengake utawa gawe bungahing atimu. Dadi karepe aja nganti trima marang sakwernaning suwara kang ana ing alam donya.
7. Paningal, sirnakna napsuning paningal, tegese aja nganti duwe (weruh) marang rerupan apa bae kang asal saka alam donya.
8. Panggonda , pangambu sirnakna, tegese aja nganti kena panggandaning pangambu, gonad sedep arum wangi aha nganti manjing ing sanubarimu,kang kudu diesti mung gandane diri pribadi.
Kang kapindo : yen wis ngrasa bisa nguwasani lahir lan batin, tegese wis bisa kasembadan apa kang dadi sediyane, hananging ing kono isih apa rasa bungah lan susah. Manawa bungah rasane luwih bungah banget, yen susah uga mangkono rasane nganti kandas ing batin. Paribasane nganti ora kena diukur susahe.uga banjur krungu suwara kang selawase durung tau krungu, lan ora katon sapa kang nyuwara mau lan uga mambu gonda kang durung nate gonda, kaya mambu gandane bayi kang nembe lahir saka biyunge. Yen weruh rerupan ya rupa kang sarwa elok ya iku tanda yen utusan mau lagi poncakara (perang) iku tegese wis kurang 15 dina maneh bakal tilar donya. Ya iki buktine : Dha, ta, sa, wa, la.
Yen wis ana tanda mangkono, ya iku wis tutuk wayahe masrahake gawa kang asal saka Bapa lang Biyung, mantrane mangkene :
Ingsun masrahake kang dadi panguwasane Bapa lan Biyung wolung bab, yaiku : kang asal saka Bapa, getih, daging, kulit, uteg, dene kang saka Biyung : balung, sungsum, urat, jeroan, pada muliha marang asal ira saka kodrat Ingsun.
Yen wis masrahake mangkone iki, sira tumuli semadi kaya wulangan bab semadi kang sapisan ing ngarep. Manawa tata carane semadi mau wis dilakoni kabeh, sira mujia mangkene : “Ashadu tibaning rasa Allah, patemone Rasullulla, sampurnane iya Rasullullah”.
Puji iki di ucapke yen wayah arep turu lang tangi turu. Nanging yen arep turu kudu moca uncine mangkene : “Niat Ingsun turu, badan gumuling atiku eling, roh madep imanku tetep”. Dene yen tangi turu wacane mangkene : “Sirrullah kang mati, dattullah kang urip.”

KANG KATELU
Manawa pikiran wis krasa ora ajeg, tegese nggrambyang utawa cat eling cat lali, lan ambuning napas uga wis beda karo adat sabene, iku tetepi sasmita mratandani kurang 7 dina maneh tumeka ing pati, yaiku nyatane Pa, da, dja, ya, nya.
Ing kono wektune neguhake utawa golongake pikiran, was sumelang kudu disirnakake, aja kuwatir apa apa, mung kang esti rasa lila legawa. Lila marang kabeh donya branane, wis wancine didumake marang ahliwarise, yen duwe kawruh (ilmu) apa bae uga wajib lang inggal di tampakake (diwejangake) marang sapa bae kang pantes lan bisa nompa.
Legwa masrahake jiwa ragane marang Gusti Allah, rasaning ati nganti lega (iklas) wus ora ana barang sawiji kang den akoni. Ing kono kari rasa sucining batin kang ana. Yen duwe welas (welingan marang anak putu apa sadulur lan liyane, inggal tuturana (kahirna) perlune supaya yen wis tumeka wancine muling ing alam baka, wis ora ragu ragu apa mandek tumulih dadi bisa gawe padang dalane dewe.

KANG KAPING PAPAT
Manawa sira wis krasa arep turu bae, (tansah ngantuk) iku pratanda yen kekuwataning paningal wis kumpul ana ing uteg, iku tegese wis mlebu wayah tinggal donya yaiku Ma ga ba tha nga.
Ing kono sira kudu ngatur lan jaga, aja nganti ana rasa owah gingsir, sanajan mung samendang pinara sewu. Kang ana mung awas lan eling marang isi sarine kawruh kang wis sira rungkebi, kumpul gumolong dadi siji ana ing agen agenmu tumuju marang kang sira sediya.
Yaiku retine Ha lan Nga kang hamengku lan murbawasesa kabeh kang dumadi.
oooooo0000000ooooooo
AUM AWIGNAM NASTU NAMAS SIDDAN
Tegese
RAHAYUWA SAGUNG KANG DUMADI
Ing kono yen sira mambu gonda amis, kaya ambune getih nalika lahire jabang bayi, iki mertandani yen isih eling marang bab kadonyan kayata : eling marang donya branane, eling marang kekasihe lsp, iki gawe peteng dalan kang tumuju marang kasampurnan sejati.
Yen mambu batin iki tegese isih eling marang anak putune utawa para sadulure lan mitrane, iki anggawe binggunge dalan mring kasidan jati yaiku godane ari ari (bing-bing).
Yen mambu wangur, yaiku godaning kawah yen kena pangaruhe goda wangur iki tegese isih emut marang pengertine (ilmu) iki gawe ragu raguning pangerti kang tumuju marang sampurnaning pati.
Yen gonda wangi, iku ambune bungkuse bayi, yen kena pengaruhe gonda wangi iki martandani isih eling marang Allah, iki gawe salah panganggep ing tujuane kasampurnan.
Yen mambu sedep kaya ambune bayi kang wis resik, iku tanda yen isih eling lan ngakoni dadi makluk (kawula) iki kang gawe sampurnane dumadi, mulih marang mula mulanira. Iki nyatane aksara suwara A.I.U.O.E tegese : A = Aku, I = Iki, U = Urip, O = Oleh (nompa), E = Eklas, rahmat.
Dadi aksara suwara iku kang hamengkoni ing badaning manungsa ana ing alam donya nganti tumeka ing watesing alam akerat.
Ana ing wektu iki kang den arani sa’at “sakratil mauti”, wancine ngaleh enggon, waktu pisahe jiwa lan raga. Yen patrap anggonmu nata badan patitis, kaya kang jinarwa ing wulangan Semadi, kayata : sumelehing badan, lakune napas, pamelanging cipta lan sapiturute bener inggal lakuning rasa lan pangrasa ora gumyur, ing kono wayahe wahyunira wis katon ngegla tanpa warana banjur ngucapa mantram mangkene :
Ashadu kahanan Ingsun, iloha rupan Ingsun, Allah pangeran Ingsun, iya Ingsun kang nuhokake marga kang padang urip tan kena lali, lara tan kena ing pati, dhatles tan ana krasa.

Ooooooooooo000000000000oooooooooo

Ing ngisor iki katerangan bab sandangane aksara Jawa, mangkene :
Wiwit saka pangkon, (paten) iki tegese panggonan Roh, karepe sampurnaning urip, manungsa sakwise tilar donya , nyatane wis ilang sipate, nanging isih ninggal asma.
Roh iku dumunung ana ing uteg, mongka uteg iku ana ing njero sirah, iku dadi sandangan wulu (hulu), tegese sirah ya iku pokok dumadine badan wiwit saka sirah.
Sandangan “Suku” (sukon), tegese dadi cagake badan wadag.
Taling iku tegese “kuping” pamiarsa, pangrungu ana ing kuping.
Taling tarung, Irung dumunge pangambu.
Pepet, tegese ketutup, dununge ana ing napas, mangon ing jantung, yaiku kang nglakokake getih, dadi jantung iku kaya dene lawang dalaning getih mlebu metune mratani ing badan sakojur.
Jantung iki piranti pokok ing badaning manungsa, ya dadi dalane Prana kang kawasa hanjalari marang urip.
Cedak dumunung ona ing sanubari;
Lajar dumunung ana ing Iman = relung hati.
Wigjan dumunung ana ing Pangrasa weteng = waduk
Telung sandangan iki kang aran “Panjigek suwara” sebab dadi wakile engetan lan kapinteran lahir sarta batin. Wondene sandangane cokra, ana ing mripat, ing teleng aran manik. Keret iku irenge mripat, teleng = kang kapanggonan manik.
Pingkal, putihe mripat. Kabeh iki sinebat aran “Wijanyana” sebab dadi wakile aksara kang bisa muni bebarengan.
Kajaba kuwi ana maneh tembung kang aran :
Na, Sa, Dha, Tha iki aran “Murdanio” banjur ana maneh , Nya, Sa, Tja, Dja iki aran Talwio , tegese kabeh aran Triloka yaiku alaming manungsa, kaya kang diterangake ing wulangan sapisan.
Dene tembung “Tataprunggu” yaiku aksara kang didadekake ongka (nomer) kaya kang kasebut ing ngisor iki :
Ga :ongka siji dadi perlambange kawitan sampurnane manungsa.
Ngalelet ngka loro, dadi perlambange lakuning manungsa mesti pinaringan timbangan dening Pangeran, kayata anane wong lanang lan wadon, Awan lan bengi, lara lan waras, beja lan cilaka, urip lan mati, Kawula lan Gusti.
Ngapingkal ngka telu , tegese netepake keyakinaning manungsa pinasti kudu nompa lang nglakoni lelakon pangawane dewe salawase ana ing alam donya, supaya aka nganti ngeluh ngresah, sebab pepastining urip wajibe kudu ngambah ing alam telung rupa yaiku :
1. Alam jaga (melek),
2. Turu,
3. Tilar donya (mati) jalaran iki wis ora bisa diuncati maneh.
Mamiring ngka papat iku tegese nyatane Allah dadi sesembahane kabeh mahluk, ora wujud ora arah ora panggonan lan ora katon, uga ora kena kinaya ngapa. Lan uga dadi plambange asal kedadiane badan wadaging manungsa saka anasir patang rupa, yaiku :
Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. Banyu. Mangkono uga anane klebating manungsa iku ana papat.
1. Wetan, yaiku lambange nalika Bapa lan Biyung pada sapatemon,
2. Kidul, yaiku plambange nalika Bapa lan Biyung kumpul,
3. Kulon, iku plambange nalika Bapa lan Biyung nganakake Dhat nanging mung darma dadi lantaran bae,
4. Lor, iku plambange nalika lahire jabang bayi.
Makurung ngka lima, iki maksude panguwasane Gusti Allah, nalika wiji isih ana ing guwa garbaning Bapa lan Biyung, Bapa iku mung saderma dadi lantaran dumadining jabang bayi. Makurung tegese dadi kalima pancer, lan jumenenge ana ing satengahe keblad.
E : dadi angka nem, maksude Eklas terange Eklas iku ana nem warna yaiku :
1. Rila,
2. lali,
3. lulus,
4. eling,
5. langgeng,
6. sumarah (pasrah).
KETERANGAN :
1. RILA, tegese kelangan apa bae wis ora getun,
2. LALI tegese lali marang dhat sipate, maksude lali ing badan lan jiwane ditinggal ana ing alam donya.
3. LULUS , nglulusake selawase urip kanti nikmat lan manfaat,
4. ELING, eling marang angale lan eling marang mula mulanira,
5. LANGGENG, ora bakal owah ngingsir maneh, terus langgeng asmane,
6. SUMARAH yaiku masrahake jiwa ragane katur marang Pangeran.
La :dadi ongka pitu, iki tegese tetepe lakuning wayah (jam) kang ora tau blinjani, kayata lakune srengege, mesti wayahe tetep, mula para Pandita iku pada nganggo watak pitu.
Pa palya :dadi ongka wolu, iki karepe nuduhake lakuning semadi kang tumuju marang Suksma Kawekas, ana wolung bab, aran “Hasta Brata” keterangane kaya kang kacetak ana ing wulangan ngarep.
Ja :ongka sanga, tegese anane babahan hawa sasanga.
Das = nul :tegese dadi tanda marang ajining angka, jen das mau dumunung ana ing sangarepe ongka, tegese ajine(regane) ongka mau dadi suda, aran winengku, dikuwasani. Nanging yen das ana ing burining ongka iku tegese regane angka mau banjur dadi mundak duwur, aran hamengku nguwasani (tulada Rp. 00.1 lan Rp. 1,00).
Kajaba iku ana maneh karepe, yen wujud mung das tok iku tegese ora duwe pangadji (ora duwe rega)utawa suwung dadi karepe badan wadage manungsa iku yen wis di unjadi ing suksma, wis ora ana gunane jalaran wis suwung lan wis ninggal sipate, kang kari mung asmane.
Ana maneh candake sasmita sandi kang wujud tembung ( ukara) siji nanging mengku karep rong rupa, yaiku :
Ka ta pa ga ba iki aran Alpa Prana.
Ka ta pa ga ba iki aran Maha Prana.
Tegese “Alpa Prana” iku kawula) dadi anane kawula.
Tegese ”Maha Prana” iku Gusti ) lan Gusti.
Keterangane mangkene :
Kawula (titah = mahluk) iku kadunungan apes lan lali, sebab titah iku bisane dadi luhur kudu nglakoni (duwe laku), mula dikaya ngapa pintere manungsa ora bakal bisa madani kalawan panguwasane Pangeran. Sebab manungsa tansah binuntel ing kamarkaning alam donya. Mula biasane kelakon sediyane iku mung gumantung marang lila legawane anggone masrahake jiwa ragane marang Pangeran.
Wondene Gusti Allah mula sinebut ora makan ora jaman, lan tan kena kinaya ngapa, sebab Panjenangane kang nglimputi sumarambah ing sakabehe kang para dumadi, kang bisa diweruhi dening manungsa kodrate panguwasane.
Tingkah patrape Semadi wis diterangke ana ing ngarep, dadi yen manungsa wis bisa netepi ing pituduh mau banjur ngeremake mripat kang alon-alon lan dedasar ati sabar. Ing kono sira bakal manjing ana ing alam kang peteng dedet lelimangan wis ora kena diumpamakake maneh. Ing kahanan iku ana kang nyebut aran “Tapel Adam”. Yen wis mangkono inggal ngucapa mangkene ”
Pangrasa Suksma Luput, iya pangrasane Nyawa kang mulya, iya pangrasane Suksma. Suksma ilang tan kena ing pati.
Yen wis mangkono sira bakal weruh/meruhi papan padang nerawang handelahi tanpa wewayangan, jembar tanpa tepi ora ana keblate, ora ana ngisor lan duwur, kang katon mung suwung sepi lan rasa kang tentrem ayem. Kedadian iki saya panguwasaning Roh = uteg. Mulane roh uteg bisa duwe panguwasane kang mangkono mau, jalaran dek nalikane isih ana ing alam donya babadan wadag, dayane tanpa nganggo wates ukuran. Sebab badan sakojur iki dikuwasani dening uteg (kawruh) lan pinteram/ kapinteran mula aran Yang Maha Luhur.
Yen kena panguwasaning kaluhurane Suksma, banjur ora duwe karep apa apa, iya iku kang sinebut aran Mangeran Suwug, tegese ora ana barang kang sinediyam Manawa kerem kandeg ana ing kono, bakal dadi Ratuning jin lan peri.
Yen cahya padang mau banjur ilang, sira bakal pirsa cahya kang blerengi kaya sunare srengege, iki kedadian saka napas. Mula kaya mangkono awit dek isih ana ing alam donya nganggo badan wadag. Napas iku maweh cahya ing badan sakojur. Ing kono aran Yang Maha Mulya.
Yen kena pangaruhe kamulyane Suksma, yaiku kang sinebut Mangeran wujud, sebab ing kono duwe karep arep nganakake warna rupa, tegese duwe sediya nitis, manjelma maneh, yen kliru sediyane banjur dadi retuning danyang dan prayangan.
Yen cahya kuning, iku kedadian saka Budi, sebab nalika isih ana ing alam donya, Budi iku gawe sucining badan sakojur, ing kono aran Yang Maha Suci. Yen kena pengaruhe kasuciane Suksma, agawe sucining Jiwa, kang aran Mangeran konta (gambaran kang ora ana wujude). Mula banjur gawe ragu raguning (gojak gajek) lan yen kandeg ana ing kono, bakal dadi retuning setan.
Yen cahya kuning banjur musna, banjur weruh cahya ireng, yaiku kedadian saka Iman, sebab nalika isih ana ing alam donya Iman iku nguwasani badan sakojur, ing kono aran Yang Maha Kawasa, yen kena pangaruhe kuwasaning Suksma, banjur duwe karep nindakake penguwasaning Jiwa, yaiku kang aran Mangeran ana (wujud), tegese deweke ngakoni diri pribadi yen klelep ing kono bakal dadi retuning Bekasakan nunggal bangsa lan setan, nanging luwih kasar.
Yen cahya ireng mau banjur ilang, ganti dadi cahya putih iku kadadian saya pangrasa, sebab nalika isih ana ing alam donya, pangrasa mau ngebeki ing badan sakojur mula aran Yang Maha Agung, yen kena pengaruhe Aguning Suksma, bakal nitis dadi bangsane manuk.
Yen cahya putih mau musna, bakal/banjur weruh cahya abang iki kedadian saka pangrungu (pamiarsa) awit pamiarsa mau dek nalika isih ana ing alam donya masesa ing badan sakojur, mula aran Yang Maha Wasesa, yen kena pengaruhe wasesane suksma, bakal nitis dadi kewan galak.
Yen cahya abang wis ilang, bakal pirsa cahya kang wening (bening) iki kedadian saka paningal, awit maune dek isih ana ing alam donya paningal iku gawe purbaning badan sakojur, mula aran Yang Maha Purba, yen kena daya pengaruhe purbaning suksma, bakal nitis dadi kewan kang urip ana ing banyu.
Yen cahya wening musna, banjur pirsa cahya kang monca warna, yaiku ireng, abang, putih, kuning lsp, iki kedadian saka pangambu, nalika isih ana ing alam donya hanyamati ing badan sakojur, mula aran Yang Maha Manon, tegese meruhi samubarang kalir kang bakal tumeka sinebut Soca Batara, wondene asale cahya monca warna mau kedadian saka anasir patang prakara, yaiku Bumi, Geni, Angin, lan Banyu.
Keterangane Mangkene :
1. Cahya Abang : Asal seko geni, dumunung ana ing jantung, dadi napsu amarah, mula kena pengaruhe cahya abang bakal nitis dadi manungsa kang sugih nepsu (murka).
2. Cahya Ireng : Asal saka bumi, manggon ana ing waduk (weteng) dadi pangrasa, watake ngongsa utawa kesusu mula yen lena pengaruhe cahya ireng, nitis dadi manungsa kang sugih pangerten lahir.
3. Cahya Putih : Kedadian saka angin, manggon ana ing sanubari dadi sabar, yen kena pengaruhe iki bakal nitis dadi manungsa kang sugih kawruh kebatinan.
4. Cahya Kuning : Asal saka banyu, dumunung ana ing uteg, dadi kawruh lahir lan batin, dayane bisa weruh (nimbang) kedadian ala lan becik, bener lan luput, iki bakal nitis dadi manungsa wicaksana, ahli budi, yen tembung Indonesia aran Budiman lan Gunawan.
Kabeh mau salugune mung gumantung marang karsane Gusti Allah, mula sing perlu tumrap para manungsa sumujude marang Pangeran kang Maha gesang.

ooooooooo000ooooooooo
GAMBLANGE :
Bumi, Geni, Angin lan Banyu jalaran iku kang dadi pokok anasiring urip, yen kurang pangertine kang dadi asal usule, handadekake kurang sampurnaning kawruhe ing bab kebatinan. Wondene katerangane mangkene :
Yen sira wis ngerti marang asal usule uga kudu ngerti marang tegese (karepe) awit yen ora mangkono bisa gawe kliruning panganggep (panggangone) sebab yen ora mangkono bisa gawe kurang percayane (ngandele).
Yen wis ngerti dununge kudu ngerti kanggone, sebab yen ora ngerti kanggone bisa ndadekake binggunge ing pangertene. Yen wis ngerti kanggone kudu ngerti marang kedadiane, sebab yen ora ngerti kedadiane bakal gawe gojak gajekge kawruhe.
Yen wis ngerti marang kadadiane kudu ngerti buktine sebab yen ora weruh buktine ora ana gunane tumrap ing pangertene.
Sebab sakabehing ilmu iku yen mung apal sesebutane bae ora kanti dilakoni babar pisan tanpa gawe prasasat kaja manuk bejo, bisa omong nanging ora ngerti tegese. Luwih luwih bab ilmu kebatinan, iki yen ora dilakoni dinyatakake malah nambahi dosa, sebab banjur dadi ahli umuk
durung tau weruh nyatane, omonge kaya kang wis pada weruh buktine, dadi aran batin lahir goroh. Sebab sapa iku sing ngerti temenan (apal) tumuli dilakoni, supaya sira ora dosa lahir lan batin ana ing donya tumeka ing akerat.
GAMBLANGE MANEH MANGKENE :
Bab badan iku sakbenere raga kang wis ora kanggo (mati) wondene rasaning pati iku ana patang bab yaiku :
1. Rasaning jantung, lakuning napas,
2. Rasaning weteng (waduk) lakuning pangrasa,
3. Rasaning sanubari lakuning budi,
4. Rasaning uteg lakuning Roh.
Mula patang bab iki diarani badan, jalaran asale saka bumi.
BAB ANGGOTA RAGA
Iku uga kedadian saka patang bab, yaiku :
1. Roh, kang nglakokake engetan,
2. Pangambu, kang nompa kabeh sawernane panggoda,
3. Napas, kang nglakokake getih lan rahsa,
4. Pangrasa, kang nglakokake sari sarining daging, kulit lsp, kang dadi dasaring urip.
BAB NYAWA
Kang aran nyawa iku kedadian saka telung bab, kang isih kena diowahi lan
kena gingsir yaiku :
1. Iman , manggon ana ing pulung ati,
2. Pamiarsa (pangrungu) dumunung ana ing kuping,
3. Paningal, dumunung ana ing mripat.
Mula telung bab iki diarani nyawa, sebab asale saka banyu, mongka banyu iku bisa owah gingsir, ora bisa tetep ajeg panggonane. Dadi kuwajibane uga ora tetep.
SUKSMA
Kang aran Suksma iku kedadian saka limang bab, kang ora bisa owah gingsir yaiku :
1. Roh , dumunung ana ing uteg,
2. Napas, dumunung ana ing jantung,
3. Budi, dumunung ana ing sanubari,
4. Pangrasa, dumunung ana ing waduk (weteng),
5. Pangambu, dumunung ana ing irung.
Limang bab iki diarani Suksma, jalaran asale saka angin. Nyatane angin iku kahanane kang tetep ora tau owah gingsir. Jagad iki sakisine kabeh wiwit sakdurunge dumadi wis kebekan dening angin. Mula suksma iku uga ora bisa owah lan ora bisa gingsir sebab asal saka angin.
Anane manungsa nganggo badan, anggota, nyawa, suksma jalaran deweke kanggonan pirantining urip wolung bab, yaiku : Roh, Napas, Budi, Iman, Pangrasa, Pangambu, Paningal lan Pangrungu.
Dene liyane iku klebu ing golongan kang kasar, yaiku kulit, daging, balung lsp, yaiku kang asal saka Bapa Biyung, mula diarani badan kasar (wadag) sebab katon wujude.
Yen kang asal saka Pangeran yaiku wolung bab mau, sanajan ora katon ing mripat wadag nanging ana buktine, dumunung ana ing badan (raga) nyawa lan suksma.
Dene salugune badan, nyawa lan suksma mau ora bisa lumaku, yen ora sarana obahing keteg, dene obahing keteg iku jalaran kena daya lakuning bumi, geni, banyu lan angin. Patang bab iki anggone bisa tumindak, sebab saka kenadayane Swasana, kaya kang diterangake mau, bab jagad kebekan dening angin, ya swasana kang ngebeki cakrawala iki, mula diparibasakake alus tan kena jinumput, gede ngebaki jagad.
Dadi ceta lan terang, dumadining manungsa iku kang pokok saka dayane swasana, dene swasana iki kang dadi lantaran dumadining manungsa iku dibagi dadi rong bab yaiku: swasana kang tumuju ing jaba badan, lan swasana tegese hawa kang kumpul, Swa tegese panggonan. Dadi terange tembung kumpuling hawa.
Dadi swasana kang tumuju ana ing jero badan, Swa tegese umur, Sana tegese panggonan, wutuhing tembung panggonan umur, dene umur iku dumunung ana ing Napas. Dadi uriping manungsa iku sebab nganggo Swasana kang dununge ana rong panggonan, yaiku ana ing jaba lan ana ing jero badan. Dadi ora bisa nganggo saperangan bae, kudu jaba lan jero. Yen mung nganggo sebagian bae mesti ora bisa urip banjur aran mati.
KITAB PARARATON
Mei 5, 2008 pada 11:52 am (KITAB PARARATON)
Tags: Add new tag, Pelindung dan Pengakhir Alam, Pencipta, Semoga tak ada halangan, Sudjudku sesempurna sempurnanya., Tuhan
KITAB PARA DATU
ATAU
KISAH KEN ANGROK.
Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam, Semoga tak ada halangan, Sudjudku sesempurna sempurnanya.
I. Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanja, ia didjadikan manusia: Adalah seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus – mutus tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu Tapawangkeng, ia sedang membuat pintu gerbang asramanya, dimintai seekor kambing merah jantan oleh roh pintu. Kata Tapawangkèng: “Tak akan berhasil berpusing kepala, akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh kedalam dosa, kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu.” Kemudian orang yang memutus mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup mejadi korban pintu Mpu Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga dewa Wisnu dan menjelma lagi didalam kelahiran mulia, ke alam tengah lagi, demikianlah permintaannya.
Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma, disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah mati, maka ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng. Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak bolak inti perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi. Dewa Brahma melihat lihat siapa akan dijadikan temanya bersepasang. Sesudah demikian itu, adalah mempelai baru, sedang cinta mencintai, yang laki laki bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok tanam. Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yalah: si Gadjahpara; nama sawah tempat ia: mengirim : Ayuga; desa Ken Endok bernama Pangkur. Dewa Brahma turun kesitu, bertemu dengan Ken Endok, pertemuan mereka kedua ini terdjadi di ladang Lalaten; dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada isteri itu: “Jangan kamu bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan suamimu, ia akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu: Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa”. Dewa Brahma lalu menghilang. Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara. Kata Ken Endok: “Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya ditemani didalam pertemuan oleh Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku: jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu.
Lalu pulanglah Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan ditemani didalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara. “Wahai, kakak Gajahpara putuslah perkawinanku dengan kakak, saya takut kepada perkataan Sang Hyang. Ia tidak mengijinkan aku berkumpul dengan kakak lagi.”
Kata Gadjahpara: “Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak berkeberatan saya, kalau saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali kepadamu lagi, adik, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi”. Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di seberang selatan. Belum genap sepekan kemudian matilah Gajahpara. Kata orang yang mempercakapkan: “Luar biasa panas anak didalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua laki laki perempuan sudah diikuti, orang tua laki laki segera meninggal dunia”. Akhirnja sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di kuburan kanak kanak oleh Ken Endok. Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil diambin dan dibawa pulang diaku anak oleh Lembong.
Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari.
Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri. Kata Ken Endok: “Kakak Lembong, kiranya tuan tidak tahu tentang anak yang tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak, jika kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya, jangan tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu beribu dua berayah satu, demikian persamaannya.”
Lembong beserta keluarganya semakin cinta dan senang, lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar, dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur.
Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong, habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok. Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak, menggembalakan sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang, kerbau sepasang diberi harga delapan ribu oleh yang dipertuan di Lebak, Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orang tua laki laki dan perempuan, kedua duanya: “Nah buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada yang dipertuan di Lebak”. Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orang tuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di Kapundungan; Orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh belas kasihan. Ada seorang penjudi permainan Saji berasal dari Karuman, bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang bandar judi di Karuman, ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari Karuman, berjiarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa, disuruh pulang ke Karuman lagi. “Kami mempunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu ia bernama Ken Angrok.” Pergilah Bango Samparan dari Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan.
Dia itu lalu ketempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango Samparan dilawan berjudi, kalahlah bandar itu, kembali kekalahan Bango Samparan, memang betul petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken Angrok dibawa pulang oleh Bango Samparan. Bango Samparan berbayuh dua orang bersaudara, Genuk Buntu nama istri tuanja. dan Tirtaya nama isteri mudanja. Adapun nama anak anaknya dari isteri muda, yalah Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung, bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak dapat sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak tuwan Sahaja, kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia bersahabat karib dengan Ken Angrok. Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta mencinta, selanjutnya Ken Angrok bertermpat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta diajar sastera. Mereka diberi pelajaran tentang bentuk bentuk bentuk dan penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan huruf huruf mati, semua perobahan huruf, juga diajar tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, nama nama minggu. Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua duanya pandai diajar pengetahuan oleh Guru. Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman, berupa pohon jambu, yang ditanamnya sendiri.
Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang musimnya, dijaga baik tak ada yang diijinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru: “Jika sudah masak jambu itu, petiklah”. Ken Angrok sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat dikenang kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba waktu orang tidur sedang nyenyak nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun ubun Ken Angrok, berbondong bondong tak ada putusnya, semalam malaman makan buah jambu sang guru. Pada waktu paginya buah jambu tampak berserak serak di halaman, diambil oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di halaman itu, maka rnendjadi susah.
Kata guru kepada murid murid: “Apakah sebabnya maka jambu itu rusak.” Menjawablah pengiring guru: “Tuanku rusaklah itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu”. Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam malaman. Ken Angrok tidur lagi diatas balai balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap.
Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong bondong, keluar dari ubun ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu guru, bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya, marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh guru, kira kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya. Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi, menurutlah Ken Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi paginya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Angrok senang. katanya : “Aku mengharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi kepada guru.”
Lama kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala dengan Tuwan Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di jalan, dengan Tuwan Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di hutan orang Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam pertemuan didalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia memperkosa orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung. Pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat. Rabut Gorontol. “Semoga tergenang didalam air, orang yang akan melenyapkan saya” kutuk Ken Angrok, semoga keluar air dan tidak ada, sehingga terdjadilah tahun tak ada kesukaran di Jawa.”
Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala.
Ada seorang pemikat burung pitpit, ia memperkosa orang yang sedang rnemanggil manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal pada penduduk desa, keturunan golongan tentara, bernana Gagak Uget. Lamalah ia bertempat tinggal disitu, memerkosa orang yang sedang rnelalui jalan. Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak tahu kemana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi sungai, setelah siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu, ditunggu orang Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan canang, Pohon tal itu ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya. Sekarang hi menangis, menyebut nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya, akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal, untuk didjadikan sayapnya kiri kanan, agar supaya dapat melayang ke seberang timur, mustahil ia akan mati, lalu ia memotong daun tal mendapat dua helai, dijadikan sayapnya kiri kanan, ia melayang keseberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia kedaerah Oran masih juga dikejar diburu, lari mengungsi ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak oleh yang dipertuan itu. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan, tinggal 1ima orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken Angrok, datanglah yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah: “Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi kemari.” meanjawablah penguasa daerah itu: “Tuan tuan, kami tidak sungguh bohong kami tuan, ia tidak disini; anak kami enam orang, yang sedang bertanam ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu ada orang lain disini” Kata orang-orang yang mengejar: “Memang sungguh, anak penguasa daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang.” Segera pergilah yang mengejar.
Kata penguasa daerah kepada ken Angrok: “Pergilah kamu, buyung, jangan jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang membicarakan kata kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan”. Maka kata ken Angrok: “Semoga berhenti lagilah yang mengejar, itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu. Selanjutnya ia mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag. ia semakin merusuh. Adalah seorang kepala lingkungan daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak tanah, berangkatlah ia membajak ladang, mempesiapkan. tanahnya untuk ditanami kacang, membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala Lingkungan itu, dimasukkin kedalam tabung bambu, diletakkan diatas onggokan; sangat asyiklah kepala Lingkungan itu, selalu membajak ladang kacang saja, maka dirunduk diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok, tiap tiap hari terdjadi demikian itu, kepala Lingkungan bingunglah, karena tiap tiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya, kata kepala Lingkungan: “Apakah sebabnya maka nasi itu hilang”. Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: “Terangnya, kamulah, buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu,”
Ken Angrok menjawab: “Betullah tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan..” Kata kepala Lingkungan: “Nah buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap tiap hari mengharap ada tamu datang”. Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kata kepala lingkungan kepada isterinya: “Nini batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari, meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia” diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet. Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang barang emas dengan sesempurna sesempurnanya,
sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat.
Kata ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini,”
Kata Mpu, menjawabnya: “Saya sedang bepergian dari Kebalon, buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada orang yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok”. Tersenyumlah Ken Angrok: “Nah Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir.” Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa. Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot, karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon. Ken Angrok lalu marah : “Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini,”
Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. Segera mendengar suara dari angkasa: “Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini.” Demikan1ah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala. Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: “Semoga tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas”. Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran, Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering. Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang menghasilkan berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih.
Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi. Kata ken Angrok: “Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan Daha, Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka.
Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berrapat; Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: “Saya akan membantu menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa dewa bermusyawarah.” Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu.
Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: “Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya.” Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: “Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa,” demikian pertanyaan para dewa semua. Menjawablah dewa Guru: “Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah Jawa.” Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di sebelah timur Kawi.
Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: “Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian.” Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja”. Menjawablah Ken Angrok: “Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok.”
Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja kamu pergi.”
Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: “Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan.” Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu”. Menjawablah Tunggul Ametung: “Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini”. Demikianlah kata Tunggul Ametung. Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu, Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu.
Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggu1 Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: “Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan. Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar.” Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji;
Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: “Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu”. Dang Hyang menjawab: ” Siapa itu, buyung”. Kata Ken Angrok: ” Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba”. Kata Dang Hyang: “Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja.” Ke Angrok diam, akhirnya berkata: “Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan mengijinkan.” Jawab Dang Hyang: ” Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri.” Kata Ken Angrok: “Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan.” Sang Brahmana menjawab: “Akan kemana kamu buyung?” Ken Angrok menjawab: ” Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya.”
Kata Dang Hyang: “Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung.” Kata Ken Angrok: “Apakah perlunya hamba lama disana.”
Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. “Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi.” Ken Angrok menjawab: “Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: “Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu.” Kata Sang Brahmana: “Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat menjadi maharaja.” Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang, Kata Dang Hyang: “Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri.”
Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba.” Menjawablah Bango Samparan: “Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu tusuk keris yang kurang bertuah. Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia.”
Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. kata Ken Angrok: “Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang.” Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya: “Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan datang keperluan yang harus hamba lakukan.”
Kata Mpu Gandring: “Jangan lima bulan itu, kalau kamu menginginkan yang baik, kira – kira setahun baru selesai, akan baik dan matang tempaannya,” Ken Angrok berkata: “Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya saja, hendaknya selesai didalam lima bulan.” Ken Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok: “Apakah sebabnya kamu lama di Tumapel itu.” Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada perjanjiannya, bahwa ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring.
Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan memotong motong keris pesanan Ken Angrok. Kata Ken Angrok: “Manakah pesanan hamba kepada tuan Gandring.” Menjawablah Gandring itu: “Yang sedang saya asah ini, buyung Angrok.” Keris diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok.
Katanya dengan agak marah: “Ah tak ada gunanya aku menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah belum selesai diasah keris ini, memang celaka, inikah rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan itu.” Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya ditusukkan kepada Gandring keris buatan Gandring itu.
Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang berbelah menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa, juga ini berbelah menjadi dua.
Kini Gandring berkata: “Buyung Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati karena keris itu.”
Sesudah Gandring berkata demikian lalu meninggal. Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena Gandring meninggal itu, kata Ken Angrok: “Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang.” Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel. Ada seorang kekasih Tunggul Ametung, bernama Kebo Hijo, bersahabat dengan Ken Angrok, cinta mencintai. Pada waktu itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris baru, berhulu kayu cangkring masih berduri, belum diberi perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu. Ia berkata kepada Ken Angrok: ” Wahai kakak, saya pinjam keris itu.” Diberikan oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang memakai melihatnya itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak orang Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru dipinggangnya. Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat diambil oleh yang mencuri itu. Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi kedalam rumah akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur, kebetulan juga disertai nasib baik , ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, tidak terhalang perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok, tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga. Keris buatan Gandring ditinggalkan dengan sengaja. Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja. Kata orang Tumapel semua: “Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung dengan secara rahasia, karena memang nyata kerisnya masih tertanam didada sang akuwu di Tumapel.
Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan keris buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo. Kebo Hijo mempunyai seorang anak, bernama Mahisa Randi, sedih karena ayahnya meninggal, Ken Angrok menaruh belas kasihan kepadanya, kemana mana anak ini dibawa, karena Ken Angrok luar biasa kasih sayangnya terhadap Mahisa Randi. Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken Angrok memang sungguh sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah mereka saling hendak menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa apa, akhirnya Ken Angrok kawin dengan Ken Dedes. Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, dia ini telah mengandung tiga bulan, lalu dicampuri oleh Ken Angrok. Ken Angrok dan Ken Dedes sangat cinta mencintai. Telah lama perkawinannya. Setelah genap bulannya Ken Dedes melahirkan seorang anak laki laki, lahir dari ayah Tunggul Ametung, diberi nama Sang Anusapati dan nama kepanjangannya kepanjiannya Sang Apanji Anengah. Setelah lama perkawinan Ken Angrok dan Ken Dedes itu, maka Ken Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak laki laki, bernama Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng bernama Sang Apanji Saprang, adik panji Saprang juga laki laki bernama Agnibaya, adik Agnibaya perempuan bernama Dewi Rimbu, Ken Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat orang anak. Ken Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken Umang, ia melahirkan anak laki laki bernama panji Tohjaya, adik panji Tohjaya, bernama Twan Wregola, adik Twan Wregola perempuan bernama Dewi Rambi.
Banyaknya anak semua ada 9 orang, laki laki 7 orang, perempuan 2 orang.
Sudah dikuasailah sebelah timur Kawi, bahkan seluruh daerah sebelah timur Kawi itu, semua takut terhadap Ken Angrok, mulailah Ken Angrok menampakkan keinginannya untuk menjadi raja, orang orang Tumapel semua senang, kalau Ken Angrok menjadi raja itu.
Kebetulan disertai kehendak nasib, raja Daha, yalah raja Dandhang Gendis, berkata kepada para bujangga yang berada di seluruh wilayah Daha, katanya: “Wahai, tuan tuan bujangga pemeluk agama Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan tuan tidak menyembah kepada kami, bukanlah kami ini semata mata Batara Guru.” Menjawablah para bujangga di seluruh daerah negara Daha: “Tuanku, semenjak jaman dahulu kala tak ada bujangga yang menyembah raja.” demikianlah kata bujangga semua. Kata Raja Dandhang Gendis: “Nah, jika semenjak dahulu kala tak ada yang menyembah, sekarang ini hendaknyalah kami tuan sembah, jika tuan tuan tidak tahu kesaktian kami, sekarang akan kami beri buktinya.” Kini Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan kedalam tanah, ia duduk di ujung tombak, seraya berkata: “Nah, tuan tuan bujangga, lihatlah kesaktian kami.” Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, semata mata Batara Guru perwujudannya, para bujangga di seluruh daerah Daha diperintahkan menyembah, semua tidak ada yang mau, bahkan menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel, menghamba kepada Ken Angrok. Itulah asal mulanya Tumapel tak mau tahu negara Daha. Tak lama sesudah itu Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel, negaranya bernama Singasari, nama nobatannya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, disaksikan oleh para bujangga pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi pendeta istana, adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi belas balasan atas budi jasanya, misalnya Bango Samparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak anak pandai besi Lulumbang yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa di dalam lingkungan batas jejak bajak beliung cangkulnya.
Adapun anak Kebo Hijo disamakan haknya dengan anak Mpu Gandring. Anak laki laki Dang Hyang Lohgawe, bernama Wangbang Sadang, lahir dari ibu pemeluk agama Wisnu, dikawinkan dengan anak Bapa Bango yang bernama Cucu Puranti, demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat berhasillah negara Singasari, sempurna tak ada halangan. Telah lama terdengar berita, bahwa Ken Angrok sudah menjadi raja, diberitahulah raja Dandhang Gendis, bahwa Ken Angrok bermaksud akan menyerang Daha. Kata Raja Dandhang Gendis: “Siapakah yang akan mengalahkan negara kami ini, barangkali baru kalah, kalau Batara Guru turun dari angkasa, mungkin baru kalah.” Diberi tahulah Ken Angrok, bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian. Kata Sang Amurwabumi: “Wahai, para bujangga pemeluk Siwa dan Budha, restuilah kami mengambil nama nobatan Batara Guru.” Demikianlah asal mulanya ia bernama nobatan Batara Guru, direstui oleh bujangga brahmana dan resi. Selanjutnya ia lalu pergi menyerang Daha. Raja Dandhang Gendis mendengar, bahwa Sang Amurwabumi di Tumapel datang menyerang Daha, Dandhang Gendis berkata: “Kami akan kalah, karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa.” Sekarang tentara Tumapel bertempur melawan tentara Daha, berperang disebelah utara Ganter, bertemu sama sama berani, bunuh membunuh, terdesaklah tentara Daha.
Adik Raja Dandhang Gendis gugur sebagai pahlawan, ia bernama Mahisa Walungan, bersama sama dengan menterinya yang perwira, bernama Gubar Baleman. Adapun sebabnya itu gugur, karena diserang bersama sama oleh tentara Tumapel, yang berperang laksana banjir dari gunung. Sekarang tentara Daha terpaksa lari, karena yang menjadi inti kekuatan perang telah kalah. Maka tentara Daha bubar seperti lebah, lari terbirit birit meninggalkan musuh seperti kambing, mencabut semua payung payungnya, tak ada yang mengadakan perlawanan lagi.
Maka Raja Dandhang Gendis mundur dari pertempuran, mengungsi ke alam dewa, bergantung gantung di angkasa, beserta dengan kuda, pengiring kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semuanya naik ke angkasa. Sungguh kalah Daha oleh Ken Angrok. Dan adik adik Sang Dandhang Gendis, yalah: Dewi Amisam, Dewi Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja Dandhang Gendis kalah berperang, dan terdengar, ia telah di alam dewa, bergantung gantung di angkasa, maka tuan dewi ketiga tiganya itu menghilang bersama sama dengan istananya juga. Sesudah Ken Angrok menang terhadap musuh, lalu pulang ke Tumapel, dikuasailah tanah Jawa olehnya, ia sebagai raja telah berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka : 1144.
Lama kelamaan ada berita, bahwa sang Anusapati, anak tunggal Tunggul Ametung bertanya tanya kepada pengasuhnya. “Hamba takut terhadap ayah tuan”, demikian kata pengasuh itu: “Lebih baik tuan berbicara dengan ibu tuan”. Karena tidak mendapat keterangan, Nusapati bertanya kepada ibunya: “Ibu, hamba bertanya kepada tuan, bagaimanakah jelasnya ini?” Kalau ayah melihat hamba, berbeda pandangannya dengan kalau ia melihat anak anak ibu muda, semakin berbeda pandangan ayah itu.” Sungguh sudah datang saat Sang Amurwabumi. Jawab Ken Dedes: “Rupa rupanya telah ada rasa tidak percaya, nah, kalau buyung ingin tahu, ayahmu itu bernama Tunggul Ametung, pada waktu ia meninggal, saya telah mengandung tiga bulan, lalu saya diambil oleh Sang Amurwabumi.: Kata Nusapati: “Jadi terangnya, ibu, Sang Amurwabumi itu bukan ayah hamba, lalu bagaimana tentang meninggalnya ayah itu?” “Sang Amurwabumi buyung yang membunuhnya.” Diamlah Ken Dedes, tampak merasa membuat kesalahan karena memberi tahu soal yang sebenarnya kepada anaknya. Kata Nusapati: “Ibu, ayah mempunyai keris buatan Gandring. itu hamba pinta, ibu.” Diberikan oleh Ken Dedes. Sang Anusapati memohon diri pulang ke tempat tinggalnya.
Adalah seorang hambanya berpangkat pengalasan di Batil, dipanggil oleh Nusapati, disuruh membunuh Ken Angrok, diberi keris buatan Gandring, agar supaya dipakainya untuk membunuh Sang Amurwabumi, orang di Batil itu disanggupi akan diberi upah oleh Nusapati. Berangkatlah orang Batil masuk kedalam istana, dijumpai Sang Amurwabumi sedang bersantap, ditusuk dengan segera oleh orang Batil. Waktu ia dicidera, yalah: Pada hari Kamis Pon, minggu Landhep, saat ia sedang makan, pada waktu senjakala, matahari telah terbenam, orang telah menyiapkan pelita pada tempatnya. Sesudah Sang Amurwabumi mati, maka larilah orang Batil, mencari perlindungan pada Sang Anusapati, kata orang Batil: “Sudah wafatlah ayah tuan oleh hamba.” Segera orang Batil ditusuk oleh Nusapati.
Kata orang Tumapel: “Ah, Batara diamuk oleh pengalasan di Batil, Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka 1168, dicandikan di Kagenengan.
II. Sesudah demikian, sang Anusapati mengganti menjadi raja, ia menjadi raja pada tahun Saka 1170. Lama kelamaan diberitakan kepada Raden Tohjaya, anak Ken Angrok dari isteri muda, sehingga ia mendengar segala tindakan Anusapati, yang mengupahkan pembunuhan Sang Amurwabumi kepada orang Batil. Sang Apanji Tohjaya tidak senang tentang kematian ayahnya itu, meikir mikir mencari cara untuk membalas, agar supaya ia dapat membunuh Anusapati. Anusapati tahu, bahwasanya ia sedang direncana oleh Panji Tohjaya, berhati hatilah Sang Anusapati, tempat tidurnya dikelilingi kolam, dan pintunya selalu dijaga orang, sentosa dan teratur. Setelah lama kemudian Sang Apanji Tohjaya datang menghadap dengan membawa ayam jantan pada Batara Anuspati. Kata Apanji Tohjaya: “Kakak, ada keris ayah buatan Gandring, itu hamba pinta dari tuan.” Sungguh sudah tiba saat Batara Anuspati. Diberikan keris buatan Gandring oleh Sang Anusapati, diterima oleh Apanji Tohjaya, disisipkan dipinggangnya, lalu kerisnya yang dipakai semula, diberikan kepada hambanya. Kata Apanji Tohjaya: “Baiklah, kakak mari kita menyiapkan ayam jantan untuk segera kita ajukan di gelanggang.”
Menjawablah Sang Adipati: “Baiklah, adik.” Selanjutnya ia menyuruh kepada hamba pemelihara ayam mengambil ayam jantan, kata Anusapati: “Nah, adik mari mari kita sabung segera.”, “Baiklah” kata Apanji Tohjaya. Mereka bersama sama memasang taji sendiri – sendiri, telah sebanding, Sang Anusapati asyik sekali. Sungguh telah datang saat berakhirnya, lupa diri, karena selalu asyik menyabung ayamnya, ditusuk keris oleh Apanji Tohjaya. Sang Anusapati wafat pada tahun Saka 1171, dicandikan di Kidal.
III. Apanji Tohjaya menjadi raja di Tumapel. Sang Anusapati mempunyai seorang anak laki laki bernama Ranggawuni, hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan. Mahisa Wonga Teleng, saudara Apanji Tohjaya, sama ayah lain ibu, mempunyai anak laku laki, yalah: Mahisa Campaka, hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan juga. Pada waktu Apanji Tohjaya duduk diatas tahta, disaksikan oleh orang banyak, dihadap oleh menteri menteri, semua terutama Pranaraja, Ranggawuni beserta Kebo Campak juga menghadap. Kata Apanji Tohjaya: “Wahai, menteri menteri semua, terutama Pranaraja, lihatlah kemenakanku ini, luar biasa bagus dan tampan badannya. Bagaimana rupa musuhku diluar Tumapel ini, kalau dibandingkan dengan orang dua itu, bagaimanakah mereka, wahai Pranaraja.” Pranaraja menjawab sambil menyembah: “Betul tuanku, seperti titah tuanku itu, bagus rupanya dan sama sama berani mereka berdua, hanya saja tuanku, mereka dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut tak urung akan menyebabkan mati akhirnya.” Paduka batara itu lalu diam, sembah Pranaraja makin terasa, Apanji Tohjaya menjadi marah, lalu ia memanggil Lembu Ampal, diberi perintah untuk melenyapkan kedua bangsawan itu. Kata Apanji Tohjaya kepada Lembu Ampal: “Jika kamu tidak berhasil melenyapkan dua orang kesatriya itu, kamulah yang akan kulenyapkan.” Pada waktu Apanji Tohjaya, memberi perintah kepada Lembu Ampal melenyapkan dua bangsawan itu, ada seorang brahmana yang sedang melakukan upacara agama sebagai pendeta istana untuk Apanji Tohjaya. Dang Hyang itu mendengar, bahwa kedua bangsawan itu disuruh melenyapkan. Sang Brahmana menaruh belas kasihan kepada dua bangsawan, lalu memberi tahu: “Lembu Ampal diberi perintah untuk melenyapkan tuan berdua, kalau tuan kalian dapat lepas dari Lembu Ampal ini, maka Lembu Ampallah yang akan dilenyapkan oleh Seri Maharaja.” Kedua bangsawan itu berkata: “Wahai Dang Hyang, bukanlah kami tidak berdosa.”
Sang Brahmana menjawab: “Lebih baik tuan bersembunyi dahulu.” Karena masih dibimbangkan, kalau kalau brahmana itu bohong, maka kedua bangsawan itu pergi ke Apanji Patipati. Kata bangsawan itu: “Panji Patipati, kami bersembunyi di dalam rumahmu, kami mengira, bahwa kami akan dilenyapkan oleh Batara, kalau memang akan terjadi kami dilenyapkan itu, kami tidak ada dosa.” Setelah itu maka Apanji Patipati mencoba mendengar dengarkan: “Tuan, memang betul, tuan akan dilenyapkan, Lembu Ampal lah yang mendapat tugas.” Keduanya makin baik cara bersembunyi, dicari, kedua duanya tak dapat diketemukan. Didengar dengarkan, kemana gerangan mereka pergi, tak juga dapat terdengar. Maka Lembu Ampal didakwa bersekutu dengan kedua bangsawan itu oleh Batara. Sekarang Lembu Ampal ditindak untuk dilenyapkan, larilah ia, bersembunyi di dalam rumah tetangga Apanji Patipati. Lembu Ampal mendengar, bahwa kedua bangsawan berada di tempat tinggal Apanji Pati Pati. Lembu Ampal pergi menghadap kedua bangsawan, kata Lembu Ampal kepada kedua bangsawan itu: “Hamba berlindung kepada tuan hamba, dosa hamba: disuruh melenyapkan tuan oleh Batara. Sekarang hamba minta disumpah, kalau tuan tidak percaya, agar supaya hamba dapat menghamba paduka tuan dengan tenteram.” Setelah disumpah dua hari kemudian Lembu Ampal menghadap kepada kedua bangsawan itu: “Bagaimanakah akhirnya tuan, tak ada habis habisnya terus menerus bersembunyi ini, sebaiknya hamba akan menusuk orang Rajasa, nanti kalau mereka sedang pergi kesungai.” Pada waktu sore Lembu Ampal menusuk orang Rajasa, ketika orang berteriak, ia lari kepada orang Sinelir. Kata orang Rajasa: “Orang Sinelir menusuk orang Rajasa. Kata orang Sinelir: “Orang Rajasa menusuk orang Sinelir.” Akhirnya orang orang Rajasa dan orang orang Sinelir itu berkelahi, bunuh membunuh sangat ramainya, dipisah orang dari istana, tidak mau memperhatikan. Apanji Tohjaya marah, dari kedua golongan ada yang dihukum mati. Lembu Ampal mendengar, bahwa dari kedua belah pihak ada yang dilenyapkan, maka Lembu Ampal pergi ke Orang Rajasa. Kata Lembu Ampal: “Kalau kamu ada yang akan dilenyapkan hendaknyalah kamu mengungsi kepada kedua bangsawan, karena kedua bangsawan itu masih ada.” Orang orang Rajasa menyatakan kesanggupannya: “Nah, bawalah kami hamba hamba ini menghadapnya, wahai Lembu Ampal.” Maka ketua orang Rajasa dibawa menghadap kepada kedua bangsawan. Kata orang Rajasa itu: “Tuanku, hendaknyalah tuan lindungi hamba hamba Rajasa ini, apa saja yang menjadi tuan titah, hendaknyalah hamba tuan sumpah, kalau kalau tidak sungguh sungguh kami menghamba ini, kalau tidak jujur penghambaan kami ini.” Demikian pula orang Sinelir, dipanggilah ketuanya, sama kesanggupannya dengan orang Rajasa, selanjutnya kedua belah pihak telah didamaikan dan telah disumpah semua, lalu dipesan: “Nanti sore hendaknya kamu datang kemari, dan bawalah temanmu masing masing, hendaknyalah kamu memberontak meluka lukai di dalam istana.”
Orang Sinelir dan orang Rajasa bersama sama memohon diri. Setelah sore hari orang orang dari kedua belah pihak datang membawa teman temannya, bersama sama menghadap kepada kedua bangsawan, mereka keduanya saling mengucap selamat datang, lalu berangkat menyerbu kedalam istana. Apanji Tohjaya sangat terperanjat, lari terpisah, sekali gus kena tombak. Sesudah huru hara berhenti, ia dicari oleh hamba hambanya, diusung dan dibawa lari ke Katanglumbang. Orang yang mengusung lepas cawatnya, tampak belakangnya. Kata Apanji Tohjaya kepada orang yang memikul itu: “Perbaikilah cawatmu, karena tampak belakangmu.” Adapun sebabnya ia tidak lama menjadi raja itu, karena pantat itu.
Setelah datang di Lumbangkatang, wafatlah ia, lalu dicandikan di Katanglumbang, ia wafat pada tahun Saka 1172.
IV. Kemudian Ranggawuni menjadi raja, ia dengan Mahisa Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular naga didalam satu liang. Ranggawuni bernama nobatan Wisnuwardana, demikanlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi Ratu Angabhaya, bernama nobatan Batara Narasinga. Sangat rukunlah mereka, tak pernah berpisah. Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di Canggu sebelah utara pada tahun Saka 1193. Ia berangkat menyerang Mahibit, untuk melenyapkan Sang Lingganing Pati. Adapun sebabnya Mahibit kalah, karena kemasukkan orang yang bernama Mahisa Bungalan. Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya 14 tahun, ia wafat pada tahun 1194, dicandikan di Jajagu. Mahisa Campaka wafat, dicandikan di Kumeper, sebagian abunya dicandikan di Wudi Kuncir.
V. Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki laki, bernama Sri Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertanegara menjadi Raja, bernama nobatan Batara Siwabuda.
Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa rupanya tidak dipercaya, dijatuhkan, disuruh menjadi Adipati di Sungeneb, bertempat tinggal di Madura sebelah timur. Ada Patihnya, pada waktu ia baru saja naik keatas tahta kerajaan, bernama Mpu Raganata, ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara, karenanya itu Mpu Raganata lalu meletakkan jabatan tak lagi menjadi Patih, diganti oleh Kebo Tengah Sang Apanji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di Tumapel.
Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, sedatangnya di Tumapel Sang Apanji Aragani mempersembahkan makanan tiap tiap hari, raja Kertanegara bersenang senang. Ada perselisihannya dengan raja Jaya Katong, raja di Daha, ini menjadi musuh raja Kertanegara, karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan ketepatan waktu, ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur 40 tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu, ia berteman dengan raja Jaya Katong, Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura, mengadakan hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jaya Katong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jaya Katong, bunyi surat: “Tuanku, patik baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, ketepatan dan kesempatan adalah baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau, tetapi tak bergigi.” Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jaya Katong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang orang yang tidak baik, bendera dan bunyi bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.
Batara Siwa Buda senantiasa minum minuman keras, diberi tahu bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: “Bagaimana dapat raja Jaya Katong demikian terhadap kami, bukanlah ia telah baik dengan kami.” Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang Sora, Dangdi Gajah Pangon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara itu, dikejar diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Aksa, menuju ke Lawor, mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, yalah: Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot dan Bowong. Ketika Batara Siwa Buda sedang minum minuman keras bersama sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur, Kebo Tengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur.
VI. Raden Wijaya yang diceritakan ke utara tersebut diberi tahu, bahwa Batara Siwa Buda wafat, karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba hambanya, berlari lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar, diburu oleh Kebo Mundarang, Raden Wijaya naik keatas, mengungsi di Sawah Miring, maksud Kebo Mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas di tenggala, dada Kebo Mundarang sampai mulanya penuh lumpur, ia mundur sambil berkata: “Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini.” Sekarang Raden Wijaya membagi bagi cawat kain ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba hambanya, masing masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian, yalah: Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi dan Gajah Sora, segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: “Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya.”
Raden Wijaya lekas lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang prang Daha itu larinya. Batara Siwa Buda mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya, demikianlah maksud Batara Siwa Buda itu, kedua duanya ditawan oleh orang Daha, puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas lekaslah diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata: “Nah, Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda.” Sora berkata: “Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini.” Jawab Raden Wijaya: “Justru karena itu.” Maka Sora berkata lagi: “Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil itu baik, kalau adik tuanku yang muda dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai anai menyentuh pelita.” Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga Pager. Orang orangnya ganti berganti tinggal dibelakang, untuk berperang, menghentikan orang Daha.
Gajah Pagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: “Gajah Pagon, masih dapatkah kamu berjalan, kalau tidak dapat, mari kita bersama sama mengamuk.” “masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya perlahan lahan.” Orang orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kemudian mereka kembali di Talaga Pager. Raden Wijaya masuk belukar, keluar belukar seperti ayam hutan, dan hamba hambanya yang mengiring semua, ganti berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba hambanya bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semuanya bersama sama berkata: “Tuanku, sembah hamba hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku yang masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur, hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya.”
Kata Raden: “Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu.” Jawab Sora, Rangga Lawe dan Nambi serentak dengan suara bersama: “Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku.” Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di Pandakan, menuju ke orang tertua di Pandakan, bernama Macankuping.
Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, diminum airnya, ketika dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: “Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi.” Gajah Pagon tak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: “Orang tua di Pandakan, saya menitipkan satu orang, Gajah Pagon ini tidak dapat berjalan, hendaknyalah ia tinggal di tempatmu.”
Kata orang Pandakan: ” Aduh, tuanku. itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gajah Pagon didapati disini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di Pandakan, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tad ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan tiap tiap hari.” Gajah Pagon lalu ditinggalkan, Raden Wijaya selanjutnya menuju ke Datar, pada waktu malam hari. Sesampainya di Datar, lalu naik perahu. Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri yang muda masih terus ditawan, dibawa ke Daha, dipersembahkan kepada raja Jaya Katong.Ia senang diberi tahu tentang Batara Siwa Buda wafat. Raden Wijaya menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb, bermalam di tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat, pematangnya tipis. Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri bangsawan itu duduk diatasnya.
Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke Sungeneb, beristirahat di dalam sebuah balai panjang. hamba hamba disuruh melihat lihat, kalau kalau Wiraraja sedang duduk dihadap hamba hambanya. Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang dihadap. Berangkatlah raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap, terperanjatlah Wiraraja melihat Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk kedalam rumah, bubarlah yang menghadap. Terhenti hati Raden Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: “nah, apakah kataku, saya sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu.” Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap, berbondong bondong dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama membawa sirih dan pinang. Kata Ranggalawe: “Nah, tuanku, bukankah itu Wiraraja yang datang menghadap kemari.” Maka senanglah hati Raden Wijaya. Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya. Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang puteri bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki, mengiring puteri bangsawan itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya. Setelah datang di rumah tempat Wiraraja tidur. Raden Wijaya dihadap didalam balai nomor dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat bagaimana sang batara yang gugur ditengah tengah minum minuman keras itu meninggal dunia, juga menceriterakan bagaimana ia mengamuk orang Daha.
Berkatalah Wiraraja: “Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan.” Raden Wijaya menjawab: “Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada belas kasihanmu.” Sembah Wiraraja: “Janganlah tuanku khawatir, hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan lahan.” Selanjutnya Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, semuanya dibawa oleh isteri isterinya, terutama isteri pertamanya. Kata Raden: “Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti, hendaknyalah kamu menikmati seperduanya, saya seperdua.” Kata Wiraraja: “bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja.” Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja. Luar biasa pelayanan Wiraraja terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari mempersembahkan makanan, tak usah dikatakan tentang ia mempersembahkan minuman keras. Lamalah Raden Wijaya bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja berkata: “Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi menghamba kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf dengan kata kata yang mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja Jaya Katong tak berkeberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas lekas pindah bertempat tinggal di Daha, kalau rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura yang menghadap tuanku dekat. Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat lihat orang orang raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang berani, yang penakut, yang pandai, terutama juga hendaknyalah tuan ketahui sifat sifat Kebo Mundarang, sesudah itu semua dapat diukur, hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirubah menjadi desa oleh hamba hamba Madura itu, masih ada perlunya lagi, yalah: “Jika ada hamba hamba tuanku yang berasal dari Tumapel ingin kembali menghamba lagi kepada tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun hamba hamba dari Daha juga, jika mereka ingin mencari perlindungan kepada tuan, hendaknyalah tuan lindungi, jika semua itu sudah, maka tentara Daha tentu terkuasai oleh tuanku. Sekarang hamba akan berkirim surat kepada raja Jaya Katong.”
Berangkatlah orang yang disuruh mengantarkan surat, menyeberang ke selatan, menghadap raja Jaya Katong, mempersembahkan surat itu. Adapun bunyi surat: “Tuanku, patik baginda memberi tahu, bahwa cucu paduka baginda mohon ampun, ingin takluk kepada paduka baginda, hendaknyalah paduka baginda maklum, terserah apakah itu diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh paduka tuan.” Kata Raja Jaya Katong: “Mengapa kami tidak senang, kalau buyung Arsa Wijaya akan menghamba kepada kami.” Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata katanya. Setelah utusan datang lalu menyampaikan perintah. Surat telah dibaca dimuka Raden Wijaya dan dimuka dimuka Wiraraja. Wiraraja senang. Segera Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya, dihantarkan oleh orang orang Madura, dan Wiraraja juga enghantarkan kembali di Terung. Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram dapat menghadap raja Jaya Katong, sangat dicintai.
Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, hamba hambanya disuruh oleh raja untuk mengambil bagian didalam pertandingan, menteri menteri Daha sangat heran, karena orang orang itu baik semua, terutama Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama sama lari ketempat pertandingan di Manguntur negara Daha. Bergantilah menteri menteri Daha lari, diantaranya yang merupakan perjurit utama, yalah: Panglet, Mahisa Rubuh dan Patih Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya kalah cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Sora. Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk menusuk, “Puteraku Arsa Wijaya, hendaknyalah kamu ikut bermain tusuk menusuk, kami ingin melihat, menteri menteri kamilah yang akan menjadi lawanmu.” Jawab Raden Wijaya: “Baiklah tuanku.” Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian, orang yang melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong sering kali terpaksa lari.
Kata raja Jaya Katong: “Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta, siapakah yang berani melawan tuannya.” Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar mengejar, kemudian Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan Nambi menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari menteri menteri Daha itu menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada yang mengadakan pembalasan, lalu bubar. Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri menteri Daha dikalahkan oleh orang orangnya. Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja, selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan, agar Raden Wijaya memohon hutan orang Terik.
Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan orang Terik. Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar karena kurang bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja, merasa pahit, semua dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal ada buah maja pahit rasanya, tempat itu lalu diberi nama Majapahit. Raden Wijaya telah dapat memperhitungkan keadaan Daha. Majapahit telah berupa desa. Orang orang Wiraraja yang mengadakan hubungan dengan Daha, beristirahat di Majapahit.
Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya, bagaimana caranya memohon diri kepada raja Jaya Katong. Sekarang Raden Wijaya meminta ijin pindah ke Majapahit. Raja Jaya Katong memperkenankannya, lengah karena rasa sayang dan karena kepandaian Raden Wijaya menghamba itu, seperti sungguh sungguh.
Setelah Raden Wijaya pindah ke Majapahit, lalu memberi tahu kepada Wiraraja, bahwa menteri menteri Daha telah dapat dikuasai olehnya dan oleh hamba hambanya semua. Raden Wijaya mengajak Wiraraja menyerang Daha, Wiraraja menahan, berkata kepada utusannya: “Jangan tergesa gesa, masih ada muslihat saya lagi, hendaknyalah kamu wahai utusan, bersembah kepada tuanmu, saya ini berteman dengan raja Tatar, itu akan kutawari puteri bangsawan, hendaknyalah kamu utusan, pulang ke Majapahit sekarang. Sepergimu saya akan berkirim surat ke Tatar. Ada perahuku, itu akan saya suruh ikut serta ke Tatar, agar supaya menyampaikan ajakan menyerang Daha. Jika raja Daha telah kalah, maka seluruh pulau Jawa tak ada yang menyamai, itu nanti dapat dimiliki oleh raja Tatar, demikian itu penipuanku terhadap raja Tatar. Hendaknyalah kamu memberi tahu kepada Sang Pangeran, bahwasanya ini agar supaya raja itu mau ikut serta mengalahkan Daha.”
Utusan pulang kembali ke Majapahit, Raden Wijaya senang diberi tahu semua pesan Wiraraja itu. Sesudah utusan kembali, Wiraraja lalu berkirim utusan ke Tatar. Wiraraja pindah ke Majapahit, seisi rumah dan membawa tentara dari Madura, yalah semua orang Madura yang baik dibawa beserta senjatanya.
Setelah utusan datang dari Tatar, lalu menyerang Daha. Tentara Tatar keluar dari sebelah utara, tentara Madura dan Majapahit keluar dari timur, Raja Katong bingung, tak tahu mana yang harus dijaga. Kemudian diserang dengan hebat dari utara oleh tentara Tatar. Kebo Mundarang, Panglet dan Mahisa Rubuh menjaga tentara dari timur. Panglet mati oleh Sora, Kebo rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang bertemu dengan Rangga Lawe, terpaksa larilah Kebo Mundarang, dapat dikejar di lembah Trinipati, akhirnya mati oleh Rangga Lawe, Kebo Mundarang berpesan kepada Rangga Lawe: “Wahai Rangga Lawe, saya mempunyai seorang anak perempuan, hendaknyalah itu diambil oleh Ki Sora sebagai anugerah atas keberaniannya.” Raja Jaya Katong yang bertempur ke Utara, bersenjatakan perisai, diserang bersama sama oleh orang orang Tatar, akhirnya tertangkap dan dipenjara oleh orang Tatar.
Raden Wijaya lekas lekas masuk kedalam istana Daha, untuk melarikan puteri bangsawan yang muda, lalu dibawa ke Majapahit, sedatangnya di Majapahit orang orang Tatar datang untuk meminta puteri puteri bangsawan, karena Wiraraja telah menyanggupkan itu, jika Daha telah kalah, akan memberikan dua orang puteri bangsawan yang berasal dari Tumapel, kedua duanya semua. Maka bingunglah para menteri semua, mencari cari kesanggupan lain, Sora berkata: “Nah, saya saja yang akan mengamuk bilamana orang orang Tatar datang kemari.” Arya Wiraraja menjawab: “Sesungguhnya, wahai buyung Sora, masih ada muslihatku lagi.” Maka dicari dicarilah kesanggupan kesanggupan. Itulah yang dimusyawarahkan oleh menteri menteri. Sora menyatakan kesanggupannya: ” Tak seberapa kalau saya mengamuk orang orang Tatar.” Pada waktu sore hari, waktu matahari sudah condong ke barat, orang orang Tatar datang meminta puteri puteri bangsawan. Wiraraja menjawab: “Wahai, orang orang Tatar semua, janganlah kamu kalian tergesa gesa, puteri puteri raja itu sedang sedih, karena telah cemas melihat tentara tentara pada waktu Tumapel kalah, lebih lebih ketika Daha kalah, sangat takut melihat segala yang serba tajam. Besok pagi saja mereka akan diserahkan kepada kamu, ditempatkan kedalam kotak, diusung, dihias dengan kain kain, dihantarkan ke perahumu, sebabnya mereka ditempatkan didalam peti itu, karena mereka segan melihat barang barang yang tajam, dan yang menerimanya puteri puteri bangsawan itu, hendaknyalah jangan orang Tatar yang jelek, tetapi orang orang yang bagus jangan membawa teman, karena janji puteri puteri bangsawan itu, kalau sampai terjadi melihat yang serba tajam, meskipun sudah tiba diatas perahu, mereka akan terjun kedalam air, bukankah akan sia sia saja, bahwasanya kalian telah mempertaruhkan jiwa itu, jika puteri puteri bangsawan ini sampai terjadi terjun kedalam air.”
Percayalah orang orang Tatar, ditipu itu. Kata seorang Tatar: “Sangat betul perkataan tuan.” Sesudah datang saat perjanjian menyerahkan puteri puteri bangsawan itu, orang orang Tatar datang berbondong bondong meminta puteri puteri bangsawan, semua tak ada yang membawa senjata tajam. Setelah mereka masuk kedalam pintu Bayangkara, orang orang Tatar itu ditutupi pintu, dikunci dari luar dan dari dalam, Sora telah menyisipkan keris pada pahanya. Sekonyong konyong orang orang Tatar diamuk oleh Sora, habis, mati semua. Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang berada di luar balai tempat orang menghadap, dikejar sampai ketempat kemana saja mereka lari, kemuara Canggu, diikuti dan dibunuh. Kira kira sepuluh hari kemudian, mereka yang pergi berperang, datang dari Malayu, mendapat dua orang puteri, yang seorang dikawin oleh Raden Wijaya, yalah yang bernama Raden Dara Pethak, adapun yang tua bernama Dara Jingga, kawin dengan seorang Dewa, melahirkan seorang anak laki laki menjadi raja di Malayu, bernama Tuhan Janaka, nama nobatannya: Sri Warmadewa alias Raja Mantrolot. Peristiwa Malayu dan Tumapel itu bersamaan waktunya pada tahun Saka: Pendeta Sembilan Bersamadi atau 1197. Raja Katong naik diatas tahta kerajaan di Daha pada tahun Saka: Ular Muka Dara Tunggal atau 1198. Setelah Raka Katong datang di Junggaluh ia mengarang kidung: Wukir Polaman, selesai mengarang kidung ia wafat.
VII. Sekarang Raden Wijaya menjadi raja pada tahun Saka: Rasa Rupa Dua Bulan atau 1216. Kemudian ia mempunyai seorang anak laki laki dari Dara Pethak, nama kesatriyannya: Raden Kalagemet. Adapun dua orang anak perempuan Batara Siwa Buda, yang dibayang bayangkan kepada orang Tatar, keduanya itu juga dikawin oleh Raden Wijaya, yang tua menjadi ratu di Kahuripan, yang muda menjadi ratu di Daha. Nama nobatan Raden Wijaya pada waktu menjadi raja: Sri Kertarajasa. Didalam tahun pemerintahannya ia mendapat penyakit bisul berbengkak. Ia wafat di Antapura, wafat pada tahun 1257.
VIII. Raden Kalagemet menggantikannya menjadi raja, nama nobatannya: Batara Jayanagara. Sri Siwa Buda dicandikan di Tumapel, nama resmi candi: Purwa Patapan. Berdiri candi itu berselat 17 tahun dengan peristiwa Ranggalawe. Ranggalawe akan dijadikan patih, tetapi urung, itulah sebabnya maka ia mengadakan pemberontakan di Tuban, dan mengadakan perserikatan dengan kawan kawannya. Telah terjadi orang orang Tuban di gunung sebelah utara dimasukkan didalam perserikatannya , mereka itu semua menaruh perhatian kepada Ranggalawe. Nama orang orang yang menyetujuinya, yalah: Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya Sidi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, Ra Tati, mereka itu teman teman Ranggalawe pada waktu berontak. Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit itu, merebut kedudukan, Mahapati menjalankan fitnah dengan bahan kata kata Ranggalawe: “Jangan banyak bicara, didalam kitab Partayadnya ada tempat untuk penakut penakut.” Setelah terdengar, bahwa Ranggalawe berontak, Mahapatih-lah yang memberi memberi tahu hal itu, maka raja Jayanagara marah, semua teman teman Ranggalawe didalam pemberontakan itu mati, hanya Ra Gelatik yang masih hidup, karena ia disuruh berbalik hati. Peristiwa Ranggalawe itu pada tahun saka: Kuda Bumi Sayap Orang, atau 1217.
Wiraraja memohon diri untuk bertempat tinggal di Lamajang, yang luasnya tiga daerah juru, karena Raden Wijaya telah berjanji akan membagi dua Pulau Jawa, dan akan menganugerahkan daerah lembah Lumajang sebelah selatan dan utara beserta daerah tiga juru. Telah lama itu dinikmati oleh Wiraraja, Nambi masih menjadi patih, Sora menjadi Demung dan Tipar menjadi Tumenggung. Tumenggung pada waktu itu lebih rendah dari pada Demung. Wiraraja tidak kembali ke Majapahit, ia tidak mau menghamba. Setelah berselat tiga tahun dari peristiwa Ranggalawe maka terjadilah peristiwa Sora. Sora difitnah oleh Mahapati, dan Sora ini dapat dilenyapkan, dibunuh oleh Kebo Mundarang, pada tahun saka: Baba Tangan Orang atau 1222.
Juga Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa jasa perangnya tidak diperhatikan, pada waktu ia melihat saat yang tepat dan baik, ia memohon diri untuk meninjau Wiraraja yang menderita sakit. Sri Jayanagara memberi ijin, hanya saja tidak diperkenankan pergi lama lama. Nambi tak datang kembali, menetap di Lembah, mendirikan benteng, menyiapkan tentara. Wiraraja meninggal dunia. Sri Jayanagara menjadi raja, lamanya dua tahun. Ada peristiwa gunung meletus, yalah gunung Lungge pada tahun saka: Api Api Tangan Satu atau : 1233. Selanjutnya terjadi peristiwa Juru Demung, berselat dua tahun dengan peristiwa Sora. Juru Demung mati pada tahun saka: Keinginan Sifat Sayap Orang, atau: 1235. Lalu terjadi peristiwa Gajah Biru pada tahun saka: Rasa Sifat Sayap Orang atau: 1236. Selanjutnya terjadi peristiwa Mandana, Jayanagara berangkat sendiri untuk melenyapkan orang orang Mandana. Sesudah itu ia pergi ke timur untuk melenyapkan Nambi. Nambi diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah mati, demikian pula patih pengasuh, Tumenggung Jaran Lejong, menteri menteri pemberani semua sudah mati, gugur di medan perang.
Nambi berkata: “Kakak Samara, Ki Derpana, Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Ki Wirot, Ra Windan, Ra Jangkung, jika dibanding banding, orang orang disebelah timur ini, tak akan kalah, apalagi setelah mereka sudah rusak itu, siapa lagi yang menjadi teras orang orang sebelah barat, apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng atau Ikal Ikalan Bang, saja tak akan gentar, biar selaksa semacam itu didepan dan dibelakang, akan kuhadapi pula seperti perang di Bubat.” Setelah orang orang Majapahit datang, dan Nambi pergi ke selatan, maka Ganding rusak, piyagamnya dapat dirampas, Nambi dikejar kejar dan didesak, Derpana, Samara, Wirot Made, Windan, Jangkung mulai bertindak, terutama Nambi, ia mengadakan serangan pertama tama. seakan akan tercabutlah orang orang Majapahit, tak ada yang mengadakan perlawanan. Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ikal Ikalan Bang lalu bersama sama menyerang Nambi, Nambi gugur, demikian pula teman teman Nambi yang menyerang tadi gugur semua, patahlah perlawanan di Rabut Buhayabang, orang orang disebelah timur itu mencabut payung kebesarannya, daerah Lumajang kalah pada tahun saka: Ular Menggigit Bulan, atau: 1238. Peristiwa Wagal dan Mandana itu bersamaan waktunya. Berselat dua tahun Peristiwa Wagal dengan peristiwa Lasem. Semi dibunuh, ia mati dibawah pohon kapuk, pada tahun saka: Bukan Kitab Suci Sayap Orang, atau: 1240.
Sesudah itu terjadi peristiwa Ra Kuti. Ada dua golongan Darmaputra Raja, mereka ini dahulunya adalah pejabat pejabat yang diberi anugerah raja, banyaknya tujuh orang, bernama: Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca dan Ra Banyak. Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh, karena difitnah oleh Mahapati, akhirnya Mahapati diketahui melakukan fitnahan, ia ditangkap, dan dibunuh seperti seekor babi hutan, dosanya akan pergi sendiri ke Bedander. Ia pergi pada waktu malam, tak ada orang tahu, hanya orang orang Bayangkara mengiringkannya, semua yang kebetulan mendapat giliran menjaga pada waktu raja pergi itu, banyaknya 15 orang, pada waktu itu Gajah Mada menjadi Kepala Bayangkara dan kebetulan juga sedang menerima giliran menjaga, itulah sebabnya ia mengiring raja pada waktu raja pergi dengan menyamar itu. Lamalah raja tinggal di Bedander. Adalah seorang pejabat, ia memohon ijin akan pulang kerumahnya, tidak diperbolehkan oleh Gajah Mada, karena jumlah orang yang mengiring raja hanya sedikit, ia memaksa akan pulang, lalu ditusuk oleh Gajah Mada, maksud ia menusuk itu, yalah: “jangan jangan ia nanti memberi tahu, bahwa raja bertempat tinggal dirumah kepala desa Bedander, sehingga Ra Kuti, sehingga Ra Kuti dapat mengetahuinya. Kira kira lima hari kemudiannya Gajah Mada memohon ijin untuk pergi ke Majapahit.
Sedatangnya di Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh para Amanca Negara tentang tempat raja, ia mengatakan, bahwa raja telah diambil oleh teman teman Kuti.
Orang orang yang diberi tahu semuanya menangis, Gajah Mada berkata: “Janganlah menangis, apakah tuan tuan tidak ingin menghamba kepada Ra Kuti.” Menjawablah yang diajak berbicara itu: “Apakah kata tuan itu, Ra Kuti bukan tuan kami.” Akhirnya Gajah Mada memberi tahu bahwa raja berada di Bedander, Gajah Mada lalu mengadakan persetujuan dengan para menteri, mereka semua sanggup membunuh Ra Kuti, dan Ra Kuti mati dibunuh. Raja pulang dari Bedander, kepala desa ditinggalkan, selanjutnya ia menjadi orang yang terkenal pada waktu itu. Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tak lagi menjadi Kepala orang orang Bayangkara, dua bulan lamanya ia mendapat cuti dibebaskan dari kewajiban, ia dipindah menjadi Patih di Kahuripan, dua tahun lamanya menjadi patih itu. Sang Arya Tilam, patih di Daha meninggal dunia, Gajah Mada menggantinya, ditempatkan menjadi patih di Daha, patih Mangkubumi Sang Arya Tadah menyetujui, ialah yang menyokong Gajah Mada menjadi patih di Daha itu.
Raja Jayanagara mempunyai dua orang saudara perempuan, lain ibu, mereka tak diperbolehkan kawin dengan orang lain, akan diambil sendiri. Pada waktu itu tak ada kesatriya di Majapahit, tiap tiap kesatriya yang tampak lalu dilenyapkan, jangan jangan ada yang mengingini adiknya itu, itulah sebabnya maka kesatriya kesatriya bersembunyi tidak keluar. Isteri Tanca menyiarkan berita, bahwa ia diperlakukan tidak baik oleh raja. Tanca dituntut oleh Gajah Mada. Kebetulan raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi keluar, Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji, ia menghadap didekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji sekali dua kali, tidak makan tajinya, lalu raja diminta agar supaya meletakkan jimatnya, ia meletakkan jimatnya didekat tempat tidur, ditusuk oleh Tanca, tajinya makan, diteruskan ditusuk oleh Tanca, sehingga mati ditempat tidur itu.
Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah Tanca. Berselat sembilan tahunlah peristiwa Kuti dan peristiwa Tanca itu, pada tahun saka: Abu Unsur memukul Raja atau: 1250. Raja dicandikan di Kapopongan, nama resmi candi itu: Srenggapura, arcanya di Antawulan. Pada waktu itu para kesatriya menginjakkan kaki di Majapahit lagi. Raden Cakradara dipilih pada sayembara menjadi suami seri ratu di Kahuripan. Raden Kuda Merta kawin dengan seri ratu di Daha. Raden Kuda Merta menjadi raja di Wengker, Sri Paduka Prameswara di Pamotan, nama nobatannya: Sri Wijayarajasa. Adalah anak Raden Cakradara, menjadi raja di Tumapel, nama nobatannya Sri Kertawardana.
IX. Sri Ratu di kahuripan menjadi raja pada tahun saka: Sunyi Keinginan Sayap Bumi, atau: 1250. Seri Ratu di Kahuripan itu mempunyai tiga orang anak, yalah: Batara Prabu, panggilannya Seri Hayam Wuruk, Raden tetep, sebutannya jika ia bermain kedok: Dalang Tritaraju, jika ia bermain wayang dan melawak: Gagak Ketawang, di kalangan pemeluk agama Siwa: Mpu Janeswara, nama nobatannya Seri Rajasa Nagara, sebagai Prabu: Seri Baginda Sang Hyang Wekasing Suka. Adiknya perempuan kawin dengan raden Larang, yang juga disebut Baginda di Matahun, tidak mempunyai anak, adiknya yang bungsu, yalah: Seri ratu di Pajang, kawin dengan Raden Sumana, yang juga disebut Baginda di Paguhan, ini adalah saudara sepupu Seri Ratu di Kahuripan. Isteri Baginda di Gundal, dicandikan di Sajabung, nama resmi candi itu: Bajra Jina Parimita Pura. Selanjutnya terjadi peristiwa Sadeng. Tadah yang menjadi patih Mangkubumi menderita sakit, sering sekonyong konyong tak berkuasa menghadap, memajukan permohonan kehadapan Paduka batara untuk diijinkan berhenti, tidak dikabulkan oleh Seri Ratu di Kahuripan, Sang Arya Tadah kembali pulang, memanggil Gajah Mada, mengadakan pembicaraan di ruang tengah, Gajah Mada diminta menjadi Patih di Majapahit, meskipun tidak berpangkat Mangkubumi: “Saya akan membantu didalam soal soal yang luar biasa,”
Gajah Mada berkata: ” Anaknda tidak sanggup jika menjadi patih sekarang ini, jika sudah kembali dari Sadeng, hamba mau menjadi patih, itupun jika tuan suka memaafkan segala kekurangan kemampuan anaknda ini.” “Nah, buyung, saya akan membantu didalam segala kesukaran, dan didalam soal soal yang luar biasa.”
Sekarang besarlah hati Gajah Mada, mendengar kesanggupan sang Arya Tadah itu. kini ia berangkat ke Sadeng. Para menteri araraman dibohongi, juga patih Mangkubumi juga kena tipu, bahwasanya Kembar telah lebih dahulu mengepung Sadeng. Mangkubumi marah, memberi perintah kepada menteri luar, banyak mereka yang berangkat lima satuan, dikepalai oleh bekel, masing masing satuan terdiri dari lima orang. Kembar dijumpai didalam hutan, mereka berdiri diatas pohon yang roboh, berayun ayun seperti orang naik kuda sambil melambai lambaikan cambuk kepada mereka yang menyuruh agar Kembar kembali dan tidak melanjutkan perjalanan. Disampaikanlah pesan dari para menteri semua, terutama juga dari gusti patih Mangkubumi, menyuruh agar Kembar kembali, karena dikhabarkan mendahului mengepung orang orang Sadeng. Dicambuklah muka orang yang menyuruh kembali, tidak kena karena berlindung dibalik pohon, Kembar lalu berkata: “Tidak ada orang yang diindahkan oleh Kembar ini, didalam perang saja tidak mau mengindahkan tuanmu itu.” Pergilah yang mendapat perintah untuk menyuruh kembali tadi, dan memberi tahu semua yang dikatakan oleh Kembar.
Gajah Mada diam, merasa sangat diperolok olok, orang orang Sadeng dikepung, Tuhan Waruju seorang Dewa Putera dari Pamelekahan, jikalau membunyikan cambuk, terdengar di ruang angkasa, terperanjat orang Majapahit. Segera Sang Sinuhun tadi datang, mengalahkan Sadeng. Peristiwa Tanca dan Sadeng itu berselat tiga tahun, pada tahun saka: Tindakan Unsur Lihat Daging, atau: 1256. Setelah Kembar kembali dari Sadeng, lalu menjadi bekel araman, Gajah Mada menjadi Angabehi, Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang, Gagak Nunge, Jenar dan Arya Rahu mendapat pangkat, Lembu Peteng menjadi Tumenggung. Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi, tidak mau mengambil istirahat, Gajah Mada berkata: “Jika pulau pulau diluar Majapahit sudah kalah, saya akan istirahat, nanti kalau sudah kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya menikmati masa istirahat.” Pada waktu itu para menteri sedang lengkap duduk menghadap di balai penghadapan. Kembar memperolok olok Gajah Mada dengan menyebut kesalahan kesalahan dan kekurangan kekurangannya, dan menumpahkan telempak, Ra banyak ikut serta menambah mengemukakan celaan celaan. Jabung Terewes, Lembu Peteng tertawa. lalu Gajah Mada turun mengadukan soal itu kehadapan batara di Koripan, baginda marah, kemarahan dan penghinaan ini disampaikan kepada Arya Tadah.
Dosa Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan, tak dikatakan pada Kembar, mereka mati semua.
X. Selanjutnya terjadi peristiwa orang orang Sunda di Bubat. Seri Baginda Prabu mengingini puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan permintaan kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan pertalian perkawinan. Raja Sunda datang di Majapahit, yalah Sang Baginda Maharaja, tetapi ia tidak mempersembahkan puterinya. Orang Sunda bertekad berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat, karena Patih Majapahit keberatan jika perkawinan dilakukan dengan perayaan resmi, kehendaknya yalah agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan. Orang Sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang orang Sunda. Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan: “jangan khawatir, kakak Baginda, sayalah yang akan melawan berperang.” Gajah Mada memberitahu tentang sikap orang Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul, mengepung orang Sunda. Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh bangsawan bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di Bubat, tak akan menyerah, akan mempertaruhkan darahnya. Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada fihak Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak. Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh. Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama sama dengan Tuhan Usus.
Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa orang orang Sunda masih banyak yang belum gugur, bangsawan bangsawan, mereka yang terkemuka lalu menyerang, orang Majapahit rusak. Adapun yang mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Semua menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak ada yang ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: 1279. Peristiwa Sunda itu bersama sama dengan peristiwa Dompo. Sekarang Gajah Mada menikmati masa istirahat, sebelas tahun ia menjadi Mangkubumi. Berhubung dengan puteri Sunda itu mati, maka Batara Prabu lalu kawin dengan anak perempuan Baginda Prameswara, yalah: Paduka Sori, dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan, yalah Seri Ratu di Lasem Sang Ayu, dari perkawinannya dengan isteri lain, lahirlah baginda di Wirabumi, yang diambil menjadi anak angkat Seri Ratu di Daha.
Seri ratu di Pajang mempunyai tiga orang anak: Seri Baginda Hyang Wisesa, nama kesatriyannya Raden Gagak Sali, namanya sebagai Raja Aji Wikrama, kawin dengan Seri Ratu di Lasem yalah: Sang Ayu, lalu mempunyai seorang anak, yalah: Seri Baginda Wekasing Suka, anak yang kedua perempuan, yalah: Seri Ratu di Lasem Sang Alemu, kawin dengan baginda di Wirabumi, adapun anak yang ketiga juga perempuan, menjadi Seri ratu di Kahuripan. Ada lagi anak Baginda di Tumapel, nama kesatriyannya Raden Sotor, menjadi hino di Koripan, lalu pindah menjadi hino di Daha, selanjutnya menjadi hino di Majapahit, ini mempunyai seorang anak laki laki, yalah: Raden Sumirat, kawin dengan Seri Ratu di Kahuripan dan menjadi raja dengan sebutan Baginda di Pandan Salas. Lalu terjadi peristiwa upacara selamatan roh nenek moyang yang dinamakan Srada Agung, pada tahun saka: Empat Ular Dua Tunggal, atau: 1284. Sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun saka: Langit Muka Mata Bulan, atau 1290, tiga tahun lamanya tak ada yang mengganti menjadi patih. Gajah Enggon menjadi patih pada tahun saka: Sifat Sembilan Sayap Orang, atau: 1293. Seri Ratu di Daha wafat, dicandikan di Adilangu, nama resmi candi itu Gunung Purwawisesa.
Seri Ratu di kahuripan wafat, dicandikan di Panggih, nama resmi candinya Gunung Pantarapura. Selanjutnya terjadi peristiwa gunung baru pada tahun saka: Ular Liang Telinga Orang, atau: 1208. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, pada minggu Madasia, tahun saka: Pendeta Sunyi Sifat Tunggal, atau: 1307. Baginda di Tumapel wafat, ia wafat di Suniyalaya pada tahun saka: Gajah Sunyi Tindakan Ekor, atau” 1308, dicandikan di Japan, nama resmi candi itu Sarwa Jaya Purwa. Baginda Hyang Wisesa mempunyai anak,
(1) Seri Baginda di Tumapel.
(2) Perempuan, yalah: Seri Ratu Prabu-stri, yang lalu mempunyai nama nobatan: Dewi Suhita.
(3) Bungsu laki laki, yalah: Baginda di Tumapel alias Sri Kerta Rajasa.
Baginda di Pandan Salas mempunyai anak.
(1) Baginda di Koripan, alias Baginda Hyang Prameswara, nama nobatannya Aji Ratna Pangkaja, kawin dengan Seri Ratu Prabu-stri, tidak berputera.
(2) Perempuan, Sang ratu Ratu di Mataram, yang kawin dengan Baginda Hyang Wisesa.
(3) Perempuan, Sang ratu di Lasem, yang kawin dengan Baginda di Tumapel.
(4) Perempuan lagi, Sang Ratu di Matahun.
Baginda di Tumapel mempunyai anak laki laki, menjadi raja di Wengker, kawin dengan Seri ratu di Matahun, anak kedua menjadi raja di Paguhan, anak ketiga lahir dari isteri muda, perempuan, yalah: Seri Ratu di Jagaraga, kawin dengan Baginda Parameswara, tidak beranak, anak kelima, yalah: Sang ratu di Pajang, juga kawin dengan Baginda di Paguhan, jadi dibayuh sama sama saudara, tidak mempunyai anak.
Baginda di Keling kawin dengan Seri ratu di Kembang Jenar. Anak laki laki Baginda di Wengker, yalah Baginda di Kabalan. Baginda di Paguhan mempunyai anak dari isteri kelahiran golongan kesatriya, perempuan yalah: Sang ratu di Singapura, kawin dengan Baginda di Pandan Salas. Baginda Prameswara di Pamotan, wafat pada tahun saka: Langit Rupa Menggigit Bulan, atau: 1310, ia dicandikan di Manyar, nama resmi candinya Wisnu Bawana Pura. Seri ratu di Matahun wafat, dicandikan di Tiga Wangi, nama resmi candi itu Kusuma Pura. Paduka Sori wafat. Sang ratu di Pajang wafat, dicandikan di Embul, nama resmi candi Girindra Pura. Baginda di Paguhan wafat, dicandikan di Lobencal, nama resmi candi Parwa Tiga Pura. Baginda Hyang Wekasing Suka, wafat pada tahun saka: Bumi Rupa Ayah Ibu, atau 1311.
XI. Baginda Hyang Wisesa dinobatkan menjadi raja. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Prangbakat, pada tahun saka: Muka Orang Tindakan Ular, atau : 1317. Selanjutnya Gajah Enggon meninggal dunia pada tahun saka: Sunyi Sayap Tindakan Orang, atau: 1320. ia menjadi patih 27 tahun lamanya. Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah Manguri menjadi patih. Baginda Hyang Wekasing Suka wafat, ia wafat di Indra Bawana, pada tahun saka: Orang Mata Api Bulan, atau 1321, dicandikan di Tanjung, nama resmi candi Parama Suka Pura.Baginda Hyang Wisesa menjadi pendeta pada tahun saka: Mata Sayap api Bulan, atau: 1322.
XII. Seri Ratu Batara Isteri dinobatkan menjadi Raja. Sang ratu di Lasem wafat di Kawidyadaren, dicandikan di Pabangan, nama resmi candi: Laksmi Pura. Sang Ratu di Kahuripan wafat. Sang Ratu di Lasem yalah Sang ratu Gemuk wafat. Baginda di Pandan Salas wafat, dicandikan di Jinggan, nama resmi candi Sri Wisnu Pura. Baginda Hyang Wisesa bercekcok dengan Baginda Wirabumi, mereka segan bersama sama berbicara, saling diam mendiamkan, akhirnya berpisah sampai itu terjadi pada tahun saka 1323. Tiga tahun kemudian lalu terjadi lagi huru hara. Kedua duanya mengumpulkan orang orangnya, Baginda di Tumapel dan baginda Hyang Prameswara diminta datang. “Siapakah yang harus kami ikuti.” maka terjadilah perang malang. Ia masgul dan bertekad akan pergi.
Baginda “jangan tergesa gesa pergi, sayalah yang akan melawan.” Baginda Hyang Wisnu menurut dan mengumpulkan orang orangnya lagi, dihulubalangi oleh Baginda di Tumapel. di daha diambil oleh baginda Hyang Wisesa, dibawa keatas perahu, dikejar oleh Raden Gajah yang mempunyai nama nobatan Ratu Angabaya, baginda Narapati. Terkejar didalam perahu, dibunuh, dipenggal kepalanya, dibawa ke Majapahit, dicandikan di Lung, nama resmi candinya Gorisa, pada tahun saka: Ular Sifat Menggigit Bulan, atau: 1328, pada tahun itu terjadi huru hara ini. Empat tahun kemudiannya Gajah Manguri meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Sifat Tindakan Orang, atau : 1332. Gajah Lembaga menjadi patih, lamanya 12 tahun.
Selanjutnya terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Julung Pujut, pada tahun saka: Tindakan Kitab Suci Sifat Orang, atau: 1343. Gajah Lembana meninggal dunia pada tahun saka: Api Api Tindakan Bumi, atau: 1335. Tuhan Kanaka menjadi patih lamanya 3 tahun. Seri Ratu di Daha wafat, Seri Ratu di Matahun wafat, Seri Ratu di Mataram wafat. Selanjutnya terjadi masa kekurangan makan yang sangat lama pada tahun saka: Ular Jaman Menggigit Orang, atau : 1348. Baginda di Tumapel wafat pada tahun saka: Sembilan Jaman Tindakan Orang, atau: 1349, dicandikan di Lokerep, nama candinya Asmarasaba. Baginda di Wengker wafat, dicandikan di Sumengka.
XIII. Tuhan Kanaka meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Luka Sifat Orang, atau : 1363. Tujuh belas tahun lamanya menjadi patih. Seri ratu di Lasem wafat di inggan. Baginda di Pandan Salas wafat. Raden Jagulu, Raden Gajah dilenyapkan, karena dianggap melakukan dosa, yalah: memenggal kepala Baginda di Wirabumi, pada tahun saka: Unsur Memanah Telur Tunggal, atau: 1355. Seri Ratu di Daha menjadi raja pada tahun saka: Sembilan lima api bulan, atau 1359. Baginda Parameswara wafat, ia wafat di Wisnu Bawana, pada tahun saka: Ular Golongan Api Bulan, atau tahun: 1359, dicandikan di Singajaya. Baginda Keling wafat, dicandikan di Apa Apa. Seri Ratu Prabu-stri wafat pada tahun saka: Sembilan Rasa Api Bulan, atau: 1369, dicandikan di Singajaya.
XIV. Lalu Baginda Tumapel mengganti menjadi raja. Baginda di Paguhan melenyapkan orang orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit. Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka: Sayap Golongan Menggigit Bulan, atau: 1372. Baginda di Paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara. Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri. Baginda di Jagaraga wafat. Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di Pajang Wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara. Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu Kuningan, pada tahun saka: Belut Pendeta Menggigit Bulan, atau: 1373. Baginda Prabu wafat pada tahun saka: Api Gunung Tindakan Ekor, atau: 1373, nama resmi candinya Kerta Wijaya Pura.
XV. Baginda di Pamotan menjadi raja di Pamotan menjadi raja di Keling, Kahuripan, nama nobatannya Sri Rajasawardana. Sang Sinagara, dicandikan di Sepang pada tahun saka: Keinginan Kuda menggigit Orang, atau: 1375.
XVI. Tiga tahun lamanya tidak ada raja.
XVII. Lalu Baginda di Wengker menjadi raja, nama nobatannya Baginda Hyang Purwa Wisesa, pada tahun saka: Pendeta Tujuh Api Menggigit Bulan, atau: 1378. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Landep, pada tahun saka: Empat Ular Tiga Pohon, atau: 1384. Baginda di Daha wafat pada tahun saka: Golongan Pendeta Api Tunggal, atau: 1386. Baginda Hyang Purwa Wisesa wafat, dicandikan di Puri, pada tahun saka: Pendeta Ular Api Bulan, atau: 1388. Lalu Baginda di Jagaraga wafat.
XVIII. Baginda di Pandan Salas menjadi raja di Tumapel, lalu menjadi Baginda Prabu pada tahun saka: Pendeta Ular Tindakan Tunggal, atau: 1388. Ia menjadi Prabu dua tahun lamanya. Selanjutnya pergi dari istana. Anak anak sang Sinaraga yalah: Baginda di Kahuripan, Baginda di Mataram, baginda di Pamotan dan yang bungsu yalah: baginda Kertabumi, ini adalah paman baginda yang wafat didalam kedatuan pada tahun saka: Sunyi Tidak Jaman Orang, atau: 1400. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, didalam minggu Watu Gunung pada tahun saka: Tindakan Angkasa Laut Ekor, atau: 1403.
Demikian itulah kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela Penek, pada tahun saka: Keinginginan Sifat Angin Orang, atau: 1535.
Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal dua, tengah bulan menghitam, bulan kedua. Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan kelebihan huruf hurufnya, sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang rusak, memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap luap berhubung baharu saja belajar.
Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga selamat bahagia, juga sipenulis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar